Kelompok Seketika meraih juara satu pada Wimbakara (Lomba) Musikalisasi Puisi Bali dalam perhelatan Bulan Bahasa Bali IV, 2022, di Taman Budaya Denpasar, Bali. Juara dua adalah Kelompok Senja di Cakrawala dan di posisi ketiga Grup Sekuni.
Kelompok Seketika tampil membawakan Ulun Danu sebagai puisis wajib menginterpretasikan suasana ketenangan alam, seperti Ulun Danu yang tenang, adem dan bahagia. Sementara untuk puisi bebas menampilkan Puisi Blabar Momo yang menggambarkan tentang banjir bandang, dan keriuhan bencana.
“Kami membawakan aransemen puisi yang diiringi suara gemericik air, dengan menggunakan batok kelapa. Sementara puisi Blabar Momo itu menampilkan beragam alat music, salah satunya kentungan music sebagai penanda tanda bahaya,” ucap Nina dan Nando dari Kelompok Seketika.
I Komang Darmayuda S.Sn.,M.Si., salah seorang juri saat mengumumkan pemenang, Jumat (11/2/2022) mengatakan, hampir semua peserta tampil bagus. Dari 14 peserta yang tampil selama dua hari (10 – 11 Pebruari 2022), hampir semua peserta mampu mengekpresikan puisi yang digarap dalam musikalisasi puisi. Menariknya, mereka juga mampu menterjemahkan tema dari puisi seirama dengan tema Bulan Bahasa Bali IV, yaitu “Danu Kerthi: Gitaning Toya Ening”.
Komang yang juga akdemisi ISI Denpasar ini menegaskan, beberapa peserta ada yang tampil sangat hebat, baik dari penataan musikalisasi puisi, dinamaika dan gregetnya yang luar biasa. Mereka mampu membawakan puisi wajib dengan olah aranseman yang tidak jauh dari tema Bulan Bahasa Bali. Di samping itu, mereka juga membuat syair sendiri untuk diaransemen yang juga tak kalah menariknya. Ini membuktikan, komunitas sastra di sekolah-sekolah telah hidup. “Tetapi, ada pula yang masih kurang, terutama mereka yang dari komunitas pemula,” ucapnya.
Kebanyakan para peserta yang tampil sangat bagus. Tak hanya dari segi penampilan, tetapi juga dari aransemen puisi yang masih mencerminkan nafas puisi itu. Mereka tampil sangat bagus, rapi, serta lengkap dengan penataan kostum, dan koreografi bagus.
Hanya saja, beberapa peserta masih perlu pengalaman untuk mengaransemen puisi, sehingga mereka menampilkan lagu yang tidak jauh dari musikalisasi. Nafas musikaliasasi puisisnya tidak tampak, sehingga ada yang mengarah ke pop Bali. “Dalam urusan aransmen puisi, memang perlu orang khusus yang memiliki pengetahuan music yang bagus baik tentang akkor, aranseman, penggarapan, permaianan alat music dan lainnya. nah, dari penampilan kali ini ada yang belum punya itu, dan kelihatan masih mencoba-coba,” paparnya.
Kalau dari segi kreatifitas, para peserta tampak kreatif, seperti memasukan musik Semarandana, Gong Kebyar, Tingklik, Selonding dan lainnya. Mereka tampak kreatif dan memasukan unsur itu menjadi terdengar enak. Tetapi, yang namanya musikalisasi pusisi harus khusus, sehingga berbeda dengan garapan music pop, dan nafasanya juga berbeda.
“Nah nafasnya beberapa peserta ada yang belum memiliki nafas musikalisasi puisis. Mereka banyak terjebak pada lagu Pop Bali dan Pop PKB. Maklum, mereka banyak pemula jadi penafsiran mereka memelodikan syair masih kurang. Musikalisasi itu ada nuansa teater, lebih bebas, dan disela-sela bait menambahkan music untuk mendukung nuansa puisi itu. Disamping juga menonjolkan harmonisasi pecahan suara yang dapat membangun greget,” ujarnya.
Hal senada juga dikatakan Juri, I Ketut Mandala Putra, para peserta mampu menyajikan karya seni yang ada peningkatannya dari tahun sebelumnya. Khususnya dalam peningkatan karya puisi untuk menjadi sebuah lagu. Mereka juga jeli menyajikan dengan tidak melepaskan makna dari puisi itu sendiri.
Memang ada beberapa peserta keliru menafsirkan arti dari sebuah musikalisasi pusisi. “Ada peserta yang mengira membaca pusi diiringi music, sehingga tidak diharmonisasikan. Padahal, salah satu poin penilaian itu melihat aransemen itu harmoni. Music dan puisi melebur menjadi satu buah seni musikalisasi puisi,” paparnya.
Namun, ia merasa bangga karena antosias peserta sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari garapan mereka yang lebih banyak memadukan alat etnik, seperti kecapi, suling, gamelam Bali dan alat lainnya. Mereka mengkolaborasikan puisi dengan alat music yang cukup berhasil. Walau ada beberapa yang menjadi perhatian, seperti vocal tidak merdu dan belum menyentuh dari puisi itu.
Ada pula yang menafsirkan musikalisasi puisis itu menjadi sebuah lagu Pop Bali, yang tampak dari penggarapan dan aransemennya. Mengaranseman puisi itu tak hanya mengharanseman, tetapi bagaimana kelihaian memadukan puisi dengan music, yang menmghasilkan unsur musikalitas. “Kalau unsur puisi tak nampak, dinamika puisi juga tak tampak, sehingga seperti lomba lagu pop PKB jadinya,” ujarnya.
Sedangkan I Made Suarsa melihat hampir 90 persen peserta sudah berpengalaman. Hanya ada beberapa komunitas yang klurang dan itu karena kurang pengalaman saja. Namun, khusus peserta lainnya sudah tampil dengan sangat bagus. Mereka sudah memahami makna danu, air dan lainnya yang dibuktikan dengan aksesoris yang mereka tampilkan.
“Kelihatan sekali mereka sudah berpengalaman. Hal itu tampak dari segi pengalaman pengucapan bahasa, lihai dalam mengaranseman puisi yang tak mengurangi isi dari puisi itu, dan mereka juga sangat memperhatikan aksara. Teks itu masih utuh dalam penampilannya. Sekali, mereka tampil sangat bagus membuktikan mereka berpengalaman,” tutupnya.[T][Ado/*]