Single parent?
Sebuah peran yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dulu aku selalu berpikir masih cukup banyak waktu yang kumiliki untuk berbagi, bersama-sama membesarkan anak-anak, atau untuk mempersiapkan diri sebelum tiba saat aku atau suamiku lebih dulu dipanggil ke hadirat-Nya. Skenario Tuhan memang sangat tak terduga.
Siap atau tidak, peran ini sudah mulai kujalani, sangat asing dan sulit awalnya. Segala pertimbangan, keputusan, tindakan dan pengeluaran tak terduga semua bermuara kepadaku, termasuk urusan perbaikan di rumah tangga dengan segala tetek-bengeknya.
Seperti siang ini, sudah dua kali aku beli lem pvc, dua kali pula aku sekuat tenaga menarik ulur tali ravia, gara-gara ledeng jebol. Entah siapa yang usil. Bukannya aku menuduh sembarangan, tapi beralasan kok, karena di sebelah pipa ledeng yang jatuh itu, ada sebatang tangkai kamboja yang cukup besar, cukup untuk membuat sang pipa terkapar.
Sudah kering belum ya lemnya? Aku harus menyambungkannya dengan pipa satu lagi.
Aku bergegas ke belakang dapur,menengok pipa itu. Eh, ternyata sudah kering, aku mengolesi pipa satu lagi dengan lem isarplas dan menggabungkan keduanya, menekan dengan sekuat tenaga kemudian membubuhinya lagi dengan lem beberapa kali.
Kira-kira dua jam kemudian aku menghidupkan kran, cuur…, air mengalir perlahan, cukuplah.
“Ibu sedang apa?” tanya Candra anak lelaki bungsuku.
“Sedang menyambung pipa ledeng yang terputus.”
“Kok bisa putus, Bu, bukankah pipa ini keras dan tebal?!” tanyanya lagi
“Bisa sajalah , kan sudah lama sekali kita menggunakan pipa ini, sekitar lima tahun yang lalu.“
“Wah waktu Papa masih ada ya, Bu. Bukankah waktu itu Papa yang memperbaiki kran, tapi saat itu karena bocor bukan putus. Ternyata serupa pohon juga ya, yang bisa tumbuh besar, berbunga, berbuah, gugur, layu hingga akhirnya mati. Kekuatan pipa pun ada waktunya.”
“Wah anak Ibu makin pintar ya. Tapi ada perbedaan antara pipa dan pohon. Pipa adalah benda mati dan buatan manusia, sedangkan pohon adalah makhluk hidup dan merupakan ciptaan Tuhan.”
“Ya, Adik tahu.”(si bungsuku ini seringkali menyebut dirinya Adik bila diajak bicara oleh anggota keluarga, karena kakak-kakaknya memanggil demikian).
“Guru IPA Adik menjelaskan bahwa makhluk hidup ciptaan Tuhan ada tiga yaitu manusia,hewan dan tumbuhan. Guru agama juga menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi karena dibekali budi pekerti, yang harus menjaga kelangsungan hidup hewan dan tumbuhan, karena mereka telah berjasa pada kita. Apakah itu sama artinya dengan yang Ibu lakukan, memperbaiki pipa agar masih bisa digunakan? Bagaimana jika nanti putus atau bocor lagi?”
Aku tersenyum sebelum menjawab, ”Ya jika kita memiliki barang-barang, apalagi itu bermanfaat, tentulah harus kita rawat, karena hubungannya timbal-balik, keadaannya yang baik akan memberikan kita bantuan atau kemudahan dalam kegiatan-kegiatan kita.”
Aku melihat kilau di matanya mendengarkan penjelasanku. Aku yakin berikutnya pasti akan muncul pertanyaan baru berkali-kali dari bibir mungilnya yang dia warisi dari ayahnya. Aku menoleh sekilas ke arahnya, dia menatapi pipa yang kulapisi, sekali lagi dengan sisa lem terakhir.
“Nah selesai sudah. Yuk kita ke dalam!”
Kami melintasi ruang makan sebelum sampai ke kamar, tiba-tiba Candra menghentikan langkahnya di depan televisi.
“Bu televisi kita rusak karena petir, apakah karena Adik terlalu lama menonton dalam sehari, sehingga petirnya jengkel, sama seperti ibu jengkel jika Adik masih nonton TV, dan menolak mengerjakan PR?”
Aku belum sempat menjawab ketika dia melanjutkan pertanyaannya?
“Tapi petir kan bukan manusia, masa bisa jengkel. Kalau Adik kecewa karena tidak bisa nonton dunia air, Si Bolang, Tom and Jerry, filem kartun yang adik dan Papa selalu tonton bersama dan acara lain yang menarik kan pantas, ya kan, Bu?” Candra anak lelaki bungsuku yang kini duduk di bangku SD kelas 3 mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Hmm…begini ya Pangeran Cilik, dengarkan baik-baik Ibunda Ratu akan menjelaskannya. Kami memang sering menggunakan istilah-istilah kerajaan yang diambil dari dongeng yang kami baca bersama menjelang tidur.
“Kalau menonton TV terlalu lama tentulah bukan hal yang baik. Disamping melelahkan mata, tugas-tugas kita bisa jadi ikut terbengkalai. Begitu juga televisinya,terlalu lama menyala menjadi panas dan aus, lama kelamaan manjadi rusak tidak bisa dinyalakan lagi.”
Si bungsu mendengar dengan kusyuk.
“Kalau tersambar petir,itu kejadian yang berbeda, petir adalah peristiwa alam yang sering terjadi saat cuaca mendung kadang dibarengi suara guruh, karena adanya unsur energi listrik maka yang disambar pun adalah tempat yang cenderung mengandung unsur energi listrik tinggi. Makanya kita perlu mengawasi peralatan listrik dalam keadaan aman pada saat ada petir atau kilat. Biasanya rumah dan bangunan-bangunan dipasangi penangkal petir “.
“Oh …jadi begitu,, ya. Baiklah Adik janji kalau nanti Ibu sudah bisa membelikan lagi TV baru, Adik akan menonton sesuai dengan waktu yang Ibu perbolehkan, akan mencabut kabelnya jika cuaca mendung, dan mematikan TV, walaupun sedang asyik menonton jika ada petir. Jadi kalau Adik kangen sama suara tertawanya Papa,,saat menonton Tom and Jerry setidaknya Adik bisa mengingatnya. ”
Si bungsu nampak bersungguh-sungguh mengucapkan janjinya.
“Baiklah, anak baik, Ibu akan gunakan tabungan kita untuk beli TV yang baru, tapi tidak sebesar yang dulu, tidak masalah kan? Nah sekarang karena sudah sore, kamu mandi dulu, jangan lupa gosok minyak kayu putih sebelum pakai baju agar tubuh tetap….?”
“Segar dan sehat “ potong Candra dengan sigap.
“Tapi, Bu…?”
“Apa lagi ya?”
“Sebelum Adik mandi maukah Ibu menjelaskan, kapankah setelah upacara megeseng selesai Papa kembali?“
Aku terperanjat, sejenak memang, tapi cukuplah untuk membuatnya membelalakan mata dengan sorot tak paham. Aku berdehem kecil sebelum memutuskan untuk menjawab dengan cara bagaimana yang kira-kira biar bisa ia pahami.
Dia mengucapkan kata megeseng dengan fasih seolah paham dengan apa yang terjadi pada saat prosesi di kuburan atau setra Buleleng, karena memang saat itu si kecil tekun mengikuti setiap tahapan yang berlangsung.
Dia juga sempat bersilat lidah dengan sanak famili tentang panggilan Papa terhadap ayahnya, bukan Atu, Ajung ataupun Aji seperti kebiasaan kami dalam keluarga besar.
Suamiku, ayah anak- anak ini sebenarnya saat beliau meninggal tanggal 30 Juni 2007, diprosesi pada tanggal 3 Juli tahun yang sama dengan upacara megeseng yaitu upacara pembakaran mayat tapi dengan sesajen dan tahapan yang belum selengkap ngaben.
Suatu saat nanti jika tersedia biaya dan waktu yang tepat, berdasarkan ala ayuning dewasa dalam perhitungan Pawukuan Bali, dapat dilanjutkan dengan upacara ngaben.
Aku menghela napas perlahan lalu tersenyum. “Anaknya ibu ini…, kalau ada pertanyaan tidak bisa disimpan lama-lama ya. Baik Ibu akan menjelaskan tapi janji ya, nanti tidak boleh menjadi sedih.”
“Ya, Bu. Adik janji.”
“Begini, sebenarnya dalam kehidupan kita ini ada yang disebut dengan dunia dan akhirat, dunia adalah tempat dimana kita hidup sekarang,bersama makhluk hidup lainnya sedangkan setelah meninggal jasadnya dikubur atau dibakar sesuai dengan ajaran agamanya, dan arwahnya menuju akhirat, saperti Papa, jasad beliau telah dibakar dengan tata cara agama Hindu, dan setelah melalui prosesi yang lengkap sesuai tatanan upacara agama, ruhnya kembali ke akhirat.”
“Apakah Papa bahagia di sana tanpa kita, Bu? Adik sendiri merasa sedih dan kangen karena Papa tidak ada di sini lagi. Seperti tadi, adik ingin juga dijemput sepulang sekolah oleh Papa, sama seperti teman -teman Adik yang lain.”
Pada situasi seperti ini aku kadangkala sering berandai-andai, kalau saja ayahnya masih ada pastilah akan menjadi bangga karena si bungsu sudah mulai bisa bersikap cermat dalam bertanya maupun mengamati kejadian di sekitarnya, bukan tidak mungkin jika kemudian dia tumbuh besar dan tertarik untuk menulis sama seperti ayahnya. Tapi memang aku percayai bahwa kelahiran, perjodohan, kehidupan dan kematian memang ada di jari-Nya. Aku percaya pula bahwa Beliau selalu menyiapkan hikmah di balik semua ini, Tuhan tak pernah mencoba manusia di luar batas kemampuannya. Semoga memang begitu adanya. Karena sebesar-besarnya kepercayaanku padaNya, lebih besar lagi kepercayaan Beliau kepadaku dengan adanya enam jiwa yang dianugrahkannya pada kami, yang membuatku mencoba untuk bertahan berperan sebagai ibu sekaligus pengganti ayah bagi anak-anak kami.
“Anak pandai, wajarlah jika kita merasa sedih dan kangen karena kita saling menyayangi, Papa pastilah akan bahagia jika kita bahagia,akan sedih jika kita sedih.walaupun kita tidak melihatnya tapi kita bisa rasakan. Tugas kita sekarang adalah berbuat hal-hal yang baik,yang menyenangkan orang-orang sekitar kita, pasilah Papa ikut merasa senang. Jika kita merasa kangen, sebaiknya kita berdoa, memohon ampunan dari Tuhan terhadap kesalahan yang pernah Papa lakukan dan semoga kebaikan-kebaikannya semasa hidupnya dulu akan menjadikan Papa seseorang yang baik dan dikasihi. Karena jika Tuhan berkenan, ada yang disebut dengan reinkarnasi yaitu penitisan kembali ke dunia, yang kita yakini dalam ajaran agama kita. Pada saat itulah kemungkinan Papa kembali kedunia ini.”
Aku menolehkan wajah ke arahnya karena tak kudengar suara sahutan.
”Apakah penjelasan ibu bisa kamu pahami?”
“Hm… ya, Bu. “
Untuk beberapa saat kami terdiam. Mungkin sebenarnya aku sendiri yang sedang menata hatiku untuk bisa memahami penjelasan yang aku upayakan bisa dipahami oleh cara berfikirnya.
“Bu..?“ Candra memecahkan kediamaan kami.
“Ayo…ada apa lagi ya?“ tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
“Jadi, setelah kita meninggal, barulah bisa bertemu Papa ya. Kalau begitu, pada saat bersembahyang bersama nanti, bisakah kita tambahkan permohonan agar bila tiba saatnya kita reinkarnasi nantinya Papa akan tetap menjadi suami Ibu dan menjadi Papa kami?”
“Oh ..eh.. ya, ya, tentu saja bisa, anakku. Kita akan memohon bersama.“ Aku menjawab terbata- bata seakan tersedak sesuatu.
“Terimakasih, Bu.” jawabnya dengan senyum penuh di bibir dan matanya.
Aku merasa ada tetes jatuh dari mataku yang menyelusup ke relung hati, ketika aku menatapinya melenggang ke kamar mandi.
“Apakah engkau melihatnya, bukan hanya aku yang mencintaimu. Suamiku, ayah anak- anakku. Beristirahatlah dengan damai di sisi-Nya. Sampai hari ini masih hanya engkaulah ayah mereka.” [T]
Puri Gohbraja, 21 Maret 2011
_____