Pada sebagian kalangan intelektual yang menyenangi filsafat, dikenal ungkapan populer: ” Kita memerkukan sepotong roti untuk bisa berfilsafat “.
Sedangkan di kalangan Gandhian (pengagum dan pengikut pemikiran Mahatma Gandhi) sering dibicarakan korespondensi Gandhi dengan Rabinranath Togore tentang relasi teologi, filsafat dan kemiskinan.
Gandhi menulis: persepsi tentang Tuhan bagi orang-orang miskin yang perutnya lapar, hanya sebatas itikad baik yang dianggap ada pada orang-orang baik yang memberikan mereka makanan, sehingga tidak kelaparan hari itu. Pesan moral dari ungkapan dan juga tulisan Gandhi di atas, arti penting pemenuhan kebutuhan dasar manusia, untuk bisa “naik” berpikir tentang filsafat dan juga teologi.
Tetapi kemudian timbul pertanyaan yang sedikit filosofis, kenapa di tengah-tengah masyarakat yang relatif berkecukupan secara ekonomi dan bahkan berkelebihan, pendidikan dan pengetahuan cukup dan bahkan berkelimpahan pengetahuan di era internet is every things, yang marak terutama di medsos: kebohongan, berita palsu, hoax dan bahkan ujaran kebencian?
Mengapa terjadi kedangkalan berpikir, bahkan telah lahir sebuah era yang disebut sebagai berakhirnya kepakaran, the end of expertise era?
Untuk menjawab pertanyaan ini menarik disimak pendapat akhli filsafat F B Hardiman dalam orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat pada Universitas Pelita Harapan Rabu (8/12/2021 ), sebagaimana diberitakan Kompas, Kamis, 9 Desember 2021.
Dalam orasinya Prof.Hardiman mengatakan: “Industri kebohongan telah sampai di ruang privat kita. Mengkhianati akal sehat, memancing kebencian timbal balik. Padahal, apakah bisa disebut komunikasi jika tidak saling mengerti. Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusaknya “.
Menurut akhli filsafat ini, filsafat diperlukan dalam komunikasi digital. Filsafat mengajak orang berpikir, bertanya dan mempersoalkan segala sesuatu. Hal itu tetap relevan dalam kehidupan modern karena filsafat juga mempersoalkan mitos.
Pemikiran yang menghentak dan menggugah di tengah industri kebohongan yang begitu meluas, pendangkalan pemikiran yang begitu meluas tidak saja dibidang iptek, tetapi hampir pada seluruh relung-relung kehidupan kita, termasuk di kehidupan keagamaan.
Motto dan spirit dari: ” Aku Berpikir, maka Aku Ada “, untuk melawan realitas populer di medsos: selfito ergosum, aku ada karena aku berselfie ria, semestinya terus digemakan, untuk merawat kecerdasan dan kedalaman berpikir, kejernihan intelektual, melahirkan sikap dan laku hidup yang menghargai proses, kedalaman dan prestasi kehidupan yang otentik.
Menjauhi sikap mental: menerabas, aji mumpung, njplak (bahasa Jawa, asal bunyi), yang menurunkan kualitas keadaban, peradaban dan juga kebudayaan.[T]
_____