hari tua sebuah kelewang
kelewang itu tergeletak di tepi sungai. telah lama
bekas darah di tubuhnya mengering. bahkan ada yang mengeras dan hitam
ia ingin membasuhnya. berharap diri kembali menjadi sediakala
kilat dan berkilau. bersih tak berlunau
tersangkut di dinding. tidak terlibat sengketa dan huru-hara
satu-satunya rindu yang kurawat adalah tentang kedamaian, gumamnya
pada air yang mengalir
tapi sungai di hadapannya tertawa. sinis dan tidak percaya
dengan perih ia ungkit ingatan itu. bila hari telah beranjak malam
rombongan menuju parak-parak tepi sungai. atau sumur di ladang tebu
perintah dengan bermacam isyarat. sergah dalam ragam bahasa
saat itu ia tak sendiri
celurit, parang, badik (dan mungkin pelor) juga telah menunggu
merih-merih pasrah tiada berdaya. merih-merih menanti ajal tiba
lalu di sepanjang sungai mayat-mayat tanpa kepala mengambang
sebagian dengan paras tersenyum. selebihnya mungkin mengumbar dendam
kemudian dari jauh terlihat api berkobar. seolah menyempurnakan sebuah pesta
begitu setiap malam. pada bulan-bulan kelam
ia pergi dan kembali dini hari
kadang tak sempat menyelesaikan airmata
karena mayat-mayat yang mengambang tanpa kepala adalah saudara
atau tetangga
sudah lama aku ingin melupakan. tapi bayangan-bayangan terus mengejar,
isaknya pada hari-hari tersisa yang tak lagi bermakna
kelewang itu tergeletak di tepi sungai. telah lama
mesin ketik
dalam sebuah gudang. di antara kardus-kardus, mainan rusak,
baju usang, dan tumpukan kertas. ia tertimbun kesunyian
melawan dingin dan jaring laba-laba. lama ia tak lagi berketak-ketik
teronggok bagai bangkai-bangkai tak berkutik
telah aku antarkan ribuan kata. bahkan bertimbun-timbun kata
bila arti tak sampai mengapa aku yang dipenjara? ucapnya satu ketika
bersamaan dengan huruf-huruf yang berloncatan. menggelembung di udara
menjelma kias. membentuk sayap-sayap
lalu menerbangkan barisan kalimat menuju bahasa
bahasa yang kemudian menjulur ke jalan-jalan. membangun poster
dan slogan-slogan. adalah kelahiran yang tak pernah ia harapkan
ia ingat satu ketika. sebelum perayaan perpisahan dengan selembar kertas
mereka pernah bersepakat pada sebuah pepatah
lalu menulisnya bersama; yang baik-baik dipegang mati,
yang buruk-buruk dibuang jauh
kata yang dicetak miring itu melambai-lambai sepanjang angkasa
menidurkan umur demi umur. mendewasakan ribuan para pejalan
tapi semenjak ia terkurung di gudang itu. semuanya menjadi liar
huruf-huruf, kata, kalimat, bahasa yang membentuk pepatah
semua berpanjatan menuju dinding-dinding
memeluk apartemen, gedung, kantor-kantor pemerintah, lalu bersekongkol
untuk menumpahkan darah dan airmata
mesin ketik itu memangil-manggil kertas
ia ingin menuliskan sesuatu: anak harimau bila sudah besar pun
tetaplah harimau
jalan tan malaka
entah sejak bila aku diberi nama tan malaka, kata plang nama jalan itu
dari simpang bunian ia bayangkan sebuah perjalanan panjang ke pandam gadang
pada satu kalender ketika tabungan demi tabungan diiurkan
maka sungai yang dilintasi akan bersaksi
batu-batu siap sebagai penarung. duri sikejut terhampar kembang kuncup
ditujulah bukittingi setelah kereta meninggalkan stasiun suliki
lalu sepanjang itu buku-buku berceceran
sepanjang itu pula berbagai ilmu dilipatkan
kamar kos. trotoar menuju kampus
hari-hari yang panjang. noni-noni bermantel dingin melintas riang
pertempuran dan kemerdekaan
sampai pada lagu-lagu orang diburu. aku hanya mendengar kisah itu
lalu mengapa namaku tan malaka, bukankah itu sebuah nama yang angkuh?
tanya plang nama jalan itu, kepada sejarah yang berbaris
sejarah yang kadang dicurigai juga. warnanya barangkali merah
di sebelahnya kandang oto gagak hitam dan sinar riau menyimpan gelak
melihat beban yang dipikul plang itu
kadang ada yang lewat seraya bermata sabak
kadang ada sekedar berfoto lalu menulis entah apa
kadang ada yang bermata sabak itu berfoto sambil hormat sembunyi-sembunyi
mengenang atau berbasa-basi
mestikah namamu ellias fuentes, estahislau rivera, alisio rivera
sebagaimana cerita-cerita revolusi itu
atau ilyas husein, ong song lee, tan ming sion, hasan gozali?
tanya sebuah spanduk usang yang terbentang membelah jalan
satu talinya lepas tergujai-gujai. huruf yang tertera pun sudah tergerajai
serupa nama-nama asing yang ia sebut dengan terbata
plang jalan itu bergeming
menatap jauh sejauh pandang ke pandam gadang
sebuah rumah tua, kolam, dan surau. tak ada buku-buku itu di sana
selain barisan lengang di antara tebing dan lembah
seolah segala sesuatu tak pernah ada
oto dan onda lalu begitu saja. meninggalkan bising dan desing
kenangan bunyi peluru
sungguh berat menyandang namamu, tan, kata plang itu
jam kuning gading
mengapa kau berjalan terlalu lamban, tanya jarum panjang
pada jarum pendek. suatu masa ketika hujan dan angin kencang
pintu-pintu ditutup. suara sirene
dari jendela wabah terus mengintip. tak sekalipun berkedip
jam itu berwarna kuning gading. sejak kapan jarum panjang dan jarum pendek
berumah di situ, tak ada yang tahu
aku justru merasa lebih cepat dari langkahmu. dari setiap hela napas
kita begitu saja menjadi tua dan saling menunggu
tidakkah kaulihat di udara setiap hari pesan-pesan keberangkatan berterbangan
tak menanti detak-detik kita
entah berapa lama sudah keinginan terkepung
loteng, lukisan hitam putih di dinding, karpet lembab,
dan sebuah gitar usang yang terbengkalai. semua menatap atau berharap
karena gerak kita adalah usia
sekali waktu aku ingin berhenti, gumam jarum pendek
tetapi matahari selalu terbit
semuanya tiba-tiba bergegas entah ke mana. adakah menuju abadi
atau hanya sekedar hidup yang pura-pura
sekali waktu aku ingin kita jalan bersisian, balas jarum panjang
bersama-sama membantah waktu yang memaksa
agar memberi kita jeda untuk berdoa
dan pada suatu waktu rindu mereka pun bertemu
jarum pendek dan jarum panjang itu berpelukan. berhimpitan
mereka bercerita tentang rasa cemas, hujan, dan angin kencang
tentang sirene dan wabah yang terus mengintip
tunggu aku, tunggu aku, teriak jarum pendek ketika jarum panjang
kembali meninggalkan
tapi sesungguhnya mereka sama-sama menuju kematian
sebuah buku pada hari pembakaran
bersama tumpukan yang lain ia telah diculik terang-terangan
kejadian yang berulang. barangkali telah beralaf-alaf lamanya
tembakan artileri. bom yang merubuhkan gedung-gedung
atau luas lapang tempat pembakaran. bagai kesunyian yang tersimpan
dalam brangkas dingin. di antara rak-rak yang bersedih
malam itu di sela gugu burung hantu. sebuah tempat penyelesaian
ia menekur. tanpa rasa takluk dan tunduk
mendekap kata-kata dan alinea. gambar-gambar maupun sketsa
dingin berangin-angin
di depannya hantu berseragam kekuasaan, senjata laras panjang, bahkan panser
berbaris tanpa perkabungan
lembar-lembar yang gempal. halaman ingatan yang dituduh merecoki
membuka liang-liang sejarah. gua rahasia yang menyibak aib dunia
kucatatkan semua. kusimpan sebagaimana mereka menggilai kasih sayang
jika hari ini harus bertekuk
menerima akibat dari huruf-huruf. bukankah penghancuran buku serupa menutup
payung langit. unta-unta akan berjalan di dalam kelam
katanya menatap cakrawala
ia tak berdoa. tapi ia merasa bahagia
bunga api menari-nari di angkasa
kertas-kertas menghitam juga menari
tarian yang kemudian membentuk lubang-lubang aneh
lubang di kepala-kepala yang kosong
di bumi yang kosong
pada hari yang barangkali tak perlu dicatat. seketika ia ingat kota-kota
tempat aksara demi aksara menjadi abu. menjadi beku
pelan-pelan membunuh segala masa lalu
_____