Desa Apuan, Baturiti, Tabanan, Bali. Petang di Hari Raya Galungan, Rabu, 10 Novemver 2021. Udara terasa segar. Semilir angin dan suara jangkrik dari sela rerumputan hijau terdengar lamat-lamat.
Gerimis seakan menciptakan suasa romantis sekaligus mistis.
Saat itulah kami (saya dan seniman Putu Sutawijaya) memasuki pintu rumah sang maestro, almarhum Made Wianta. Kami melewati gang sempit yang pada dindingnya ditempeli cermin. Sesekali kami melihat bayangan sendiri, dan membayangkan sosok maestro Made Wianta mengantar kami menuju ruang utama,
Aura rumah itu senyap dan hening sehingga tetes air yang jatuh dari langit terdengar jelas, jatuh pada kelopak bunga dan daun-daun hijau. Ada juga kupu kupu yang berkontemplasi di atas bunga anggrek bulan.
Cerita ini seakan rangkaian kebetulan. Suara cicak yang hinggap di antara dinding dan instalasi lukisan sang maestro terdengar beberapa kali, serta kunang kunang yang terbang seperti menari di halaman yang luas.
Sungguh malam yang indah. Keindahan yang seakan disuguhkan almarhum Made Wianta untuk menyambut Putu Sutawijaya, sahabatnya.
Tiba pada bangunan utama, Putu Sutawijaya terdiam sejenak, di antara lukisan-lukisan, triangle dengan ribuan titik titik yang memenuhi bidang canvas. Itu lukisan Made Wianta.
Putu Sutawijaya menyaksikan dengan takzim pilar bangunan dari batang pohon kelapa, yang dibungkus anyaman daun kelapa kering dan karya seni instalasi yang tergantung di langit-langit rumah. Di situlah kami kemudian menyeruput kopi bersama, mengenang sosok sang maestro. Selain kami berdua, ada juga Made Lun Subrata yang dikenal sebagai jurnalis dan pelukis, juga Jennni Vi Mee Yei yang merupakanj istri seniman Putu Sutawijaya. Ibu Intan Kirana, istri tercinta Made Wianta, selaku tuan rumah menemani kami ngobrol sampai malam.
***
Putu Sutawijaya menumpahkan segala kenangannya bersama Made Wianta di rumah itu. Ia bercerita bagaimana bayang-bayang tarian kuas, dan imajinasi liar yang meledak-ledak dari Made Wianta dalam mengungkapkan ekspresi berkesenian, masih membekas dibenaknya.
Yang paling ia ingat, ketika Made wianta memberikan kejutan sehari setelah pesta pernikahan Putu dengan Jenny Vi Mee Yei. Made Wianta tiba-tiba datang saat itu lalu terjadilah obrolan panjang dari pagi sampai sore. “Banyak motivasi yang diungkapkan Made Wianta saat itu dan saat ini masih terkenang,” kata Putu.
Saat ngopi bersama pada malam di Hari Galungan itu, Putu Sutawijaya mengaku merasakan seperti dejavu. Rasa wangi dan harumnya kopi yang disuguhkan dalam pertemuan malam itu beraroma sama dengan kopi yang dulu diseruput bersama sang maestro di rumah Putu Sutawijaya di Angseri, sebuah desa yang berada di sebelah barat Desa Apuan.
Ibu Intan Kirana mendengar cerita Putu Sutawijaya dalam suasan hening, seakan larut juga dalam kenangan-kenangan bersama suami tercinta, Made Wianta. Malam masih ditemani kunang-kunang yang terbang di antara hamparan rumput hijau, dan pohon-pohon pinang serta kamboja yang menjulang tinggi melambaikan kedamaian.
Kunang-kunang yang terbang bagaikan bintang yang berkelip di langit, dengan gerimis hujan, dan harumnya bunga kenanga.
***
Masa masa kecil Putu Sutawijaya, di kampungnya di Angseri, sangat akrab dengan hamparan sawah, dan capung yang terbang, serta ribuan kunang-kunang pada malam hari. Itu menandakan saat itu kampungnya amat asri dengan udara yang sehat, belum tercemar.
Ia memang anak desa. Permainannya permainan anak desa. Ban motor bekas yang digelindingkan sebagai permainan di jalan tanah yang berdebu, di depan rumah, dengan kawan permainanya, dengan membawa kapur tulis yang dicuri dari sekolah,
Putu kecil mencoret papan kayu lumbung padi rumahnya dengan lukisan wayang, dan barong, terimajinasi dari pementasan wayang dari saudara kakeknya, sambil menirukan musik gamelan wayang dengan suara mulutnya, dan menirukan gerakan tarian barong.
Putu Sutawijaya kecil, sepulang dari belajar menari, bisa membawa tumpukan capung yang ditusuk di batang lidi, sebagai bahan makan malam. Ia biasa menarikan wayang pelepah bambu yang diiringi gender wayang dari saudara kakeknya yang seorang dalang wayang kulit.
Ayahnya Bapak Wayan Sukarja, saat itu khusuk membaca buku Pramoedya Ananta Toer, dengan seorang paman yang lagi merapikan peralatan wayang yang akan dipentaskan. Sang ayah, melihat tingkah polah anaknya, sudah membayangkan kelak anaknya besar akan bertumbuh sebagai seniman.
Putu Leong sebutan kecil Putu Sutawijaya lantas dipanggil sang ayah untuk duduk di atas bale Bali, yang mana kakinya masih belepotan pulang dari belajar menari dan mencari capung di sawah, menerobos jalan rumahnya yang belum di aspal dan berdebu.
Ayahnya menutup buku yang dibaca, dan melepas kacamatanya, lalu berkata. “Putu Leong, kalau ingin menjadi seniman, di sebelah kampung kita ada namanya I Jegeg. Dia seniman hebat, serba bisa, dari menari, menabuh dan melukis, sama gilanya seperti kamu,” kata sang ayah sambil mengelus kepala Putu Sutawijaya.
Dan ditegaskan lagi oleh sang paman juga menceritakan “Leluhur kita juga tinggal di kampung Apuan di sebelah barat rumah I Jegeg, sebelum leluhur kita hijrah ke Angseri!”.
I Jegeg yang dimaksud adalah Made Wianta. I Jegeg adalah nama kecil Made Wianta dan orang-orang-orang di daerah Apuan dan Angseri masih menyebut Made Wianta sebagai I Jegeg.
***
Berawal dari cerita sang ayah, membulatkan tekad Putu Sutawijaya untuk menempuh Pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan seni Lukis. Cerita mengenai pelukis I Jegeg yang kemudian ia kenal dengan nama Made Wianta makin jelas didengarnya ketika sang dosen Nyoman Gunarsa, menceritakan kisah Made Wianta, lengkap cara berkeseniannya, juga pergaulannya dengan seniman di Yogyakarta.
Banyak cerita mengenai kisah Made Wianta sewaktu kuliah di Asri Yogyakarta (yang sekarang menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Cerita-cerita aitu embuat Putu Muda terpacu untuk mendalami dunia kesenian.
Cara-cara Made Wianta berkesenian memberinya inspirasi, kemudian menjadi acuan Putu Sutawijaya untuk mencari jati dirinya hingga menemukan gaya lukisan sebagaimana yang ditekuninya sekarang ini.
Putu Sutawijaya juga mendengar tentang persahabatan seniman Made Wianta dengan Nyoman Gunarsa, begitu pula perbedaan pendapat mengenai konsep berkesenian di antara mereka. Meski kerap berbeda pendapat, mereka tetap saling dukung.
Masa-masa awal pacaran Wianta dengan Intan Kirana kerap dilakukan secara sembunyi di rumah Nyoman Gunarsa di Papringan Yogyakarta. Mereka kerap dibuatkan makanan untuk makan oleh istri Nyoman Gunarsa. Yang menarik, bahkan ketika Made Wianta bekerja di Belgia, ia masih aktif mengirimkan buku dan foto porno untuk sahabatnya Nyoman Gunarsa di Indonesia.
Pada masa-masa kuliah di Asri Yogyakarta jurusan seni lukis, Made Wianta muda sering diajak Nyoman Gunarsa untuk menawarkan lukisan ke Kedutaan berbekal nasi yang dibungkus daun dengan lauk seadanya. Dalam perjalanan naik kereta api ke Jakarta, mereka berdua duduk dan makan barengan dengan penumpang di depanya, yang lauknya sudah pakai ayam goring. Made Wianta dan Nyoman Gunarsa, untuk menutupi malu karena lauknya yang sederhana, saat makan, bungkusan nasi didekatkan ke mulut supaya lauknya tidak dilihat penumpang di depannya.
Romansa pertemanan Made Wianta dan Nyoman Gunarsa, sebagaimana diceritkan Ibu Intan Kirana, memang susah dilupakan. Mereka sangat melekat, saling bantu. Made Wianta disuruh menenteng lukisan, dalam perjalanan menuju Kedutaan, ketika sampai di Kedutaan Made Wianta disuruh menunggu diluar, selang beberapa waktu menunggu akhirnya lukisan yang dibawanya itu terjual.
Walaupun banyak perbedaan dalam konsep berkesenian, namun persahabatan mereka tetap terjaga sampai menjelang akhir hayat. Nyoman Gunarsa sempat menengok Made Wianta saat sakit.
***
Bagi Putu Sutawijaya sosok Made Wianta adalah sosok yang selalu memotivasi dengan karya-karyanya. Motivasinya adalah seniman untuk bekerja keras dengan daya kritis dan penuh pertimbangan, bukan pertimbangan untung rugi, tapi pertimbangan untuk mencapai target demi “menjadi seperti apa kelak”.
Putu Sutawijaya mempelajari manajemen berkesenian dengan kematangan reset melalui Made Wianta. Ia belajar keberanian untuk mendobrak memakai ilmu Nyoman Gunarsa.
Putu Sutawijaya mengaku sangat bersyukur mengenal sosok Wianta dan Nyoman Gunarsa, seakan dua tokoh itu membuatkan jalan tol dalam ia berproses di dunia kesenian. “Kini tinggal melanjutkan dengan daya kreatif yang kita miliki,” katanya.
Walaupun Putu Sutawijaya tidak belajar secara langsung dengan sosok Made Wianta, namun cara belajarnya mengumpamaka dirinya dengan cara belajar Ekalawya dalam kisah Mahabarata. Ekalawya diceritakan memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dari segi memanah, dengan belajar melalui patung Guru Drona, sebagai guru imajinasinya
Dengan dibantu sang istri yang selalu mengumpulkan buku-buku mengenai seni rupa, dibelinya dari luar negeri, untuk oleh-oleh buat Putu Sutawijaya, semenjak pacaran. Salah satunya mengenai buku dan artikel seniman Made Wianta yang rajin dibacanya untuk mendukung sang suami dalam mencari ide berkesenian. Dengan cara ini Putu Sutawijaya belajar mengenai cara berkesenian Made Wianta dengan literatur yang dikumpulkan sang istri.
Akhirnya sang istri, Jenni Vi Mee Yei, terinspirasi juga oleh Made Wianta dalam pendukomentasian sketsa yang puluhan ribu banyaknya. Setiap dua minggu Putu disodorkan sketsa dan kotak kayu untuk merapikan setiap sketsa Putu Wijaya. Itulah cara Jenni Vi Mee Yei melanjutkan jejak Wianta untuk pendokumentasikan jejak berkesenian suaminya Putu Sutawijaya.
Di setiap lukisannya yang terjual setengahnya dibelikan bahan untuk melukis, dan uang saku harian 50 ribu rupiah buat Putu Sutawijaya untuk beli rokok dan es dawet kesukaan Putu Sutawijaya.
Manajemen keuangan dan kebutuhan berkesenian Putu Sutawijaya semua di atur secara ketat oleh sang istri, juga mendokumentasikan karya seni yang dihasilkan dengan rapi, dibantu oleh staf Sangkring Art Space kepunyaan Putu Sutawijaya di Yogyakarta. . Sama halnya yang dilakukan Ibu Intan Kirana untuk mendukung suaminya Made Wianta dalam perjalanan berkesenian.
Sebagai penghormatan kepada seorang guru, Putu Sutawijaya membuatkan pameran tunggal karya Made Wianta di Sangkring Art Space dengan tema “Dry Rain” dalam acara Yogyakarta Annual Art #6. Manajemen acara itu adalah sang istri bersama staf Sangkring Art Space.
Putu Sutawijaya dalam obrolan malam di rumah Made Wianta di Apuan pada Hari Galungan itu menyampaikan kesaksian, “Seniman siapa pun harus berani jujur tentang siapa yang menginspirasi kita. Nah, dalam kontek sekarang, itu yang banyak kehilangan di banyak anak muda!”.
Bagaimana anak muda menyikapi dunia digital yang sangat mendukung, dalam proses olah kreatif diharapkan kerja kreatifnya tidak terbatas lagi, sangat beda dengan masa masa dulu. Di masa lalu, walaupun banyak kekurangan dalam segi finansial, total berkesenian dan kenekatan dalam menciptakan karya seni tetap terjaga. [T]
Jimbaran 15 November 2021