SILATURRAHMI KUPUKUPU – 1
(Muhono Atmojo, alm)
Pada lukisan mataangin : Darimana datangnya arah bah
Dan seorang ibu mengumpulkan segalanya
Pada setiap ceruk raupan tangannya
Hingga cuaca memperjelas warna kupukupu
dalam bentangan taman
Serta dalam telaga yang memuati banjir itu!
(Lalu siapa mengeringkan tetes airmata di telapak tanganmu
yang dipenuhi nektar bungabunga)
Sawah katakata (Kalimusadha + Gelap Sayuto)
Pendakian katakata (Selimut kabut + Sosro banyu)
Membangun kemah di jiwa
Ruang sunyi. Mendirikan senyap di setiap jerajak
Hamparan dzikir
(Undakan batu
Titian air
Jejak angin)
Kau lukis lukaku di kelopak mawar merah
Penuh warna dadu
Berwujud kupukupu!
Langit penuh adzan + burungburung gereja
Seorang perempuan (seorang ibu) merenda taman
Serupa gubuk ilalang dengan kampung halaman
Seluas cangkang
Dari seekor penyu
yang parau:
“Aku kehilangan rindu sanakkadang
Pertalian keluarga
Payau air, aroma pudak + pohon kelapa
yang memberi batas pesisir
Susu moyang tanah kelahiran
Air ketuban + tembuni
Penetasan yang indah!”
Rumah ini berbelatan dengan kuburan
tempat orang menimang lakubaik + lakuburuk
Kita menanam kamboja
Dan seorang perempuan menyamak taman
di dalam airmata:”Teratai itu menjadikan warna langit
lebih biru seperti dzikirmu
Merebahkan ilalang di ladang pendakian
serupa sujud!”
Kubuat telaga
Selimut kabut
Kulukis kupukupu + pelangi
bergayut di putik bunga
Tetesan madu
Dan rindu anakanak bermain lepas
melepas jukung tanpa buritan
Haluan
terlunta lunta dalam ulakan!
Bakau tanpa air berakar di dalam jantung
Pejalan: Berjalanlah sebelum subuh tanpa panas matahari!
Lalu siapa menghapus airmata itu?
Pada hutan lukisanmu: Burungburung bertelur
Dan mengeram
Di mataair lukisanmu: Mereka terusir!
Di bawah cahaya yang pecah:
Terbang terjauh kupukupu sampai pada jantungmu
Terdekat hanya di kedalaman telapak tanganku
Namaku : Kupukupu
Bimasakti
Bunga pandan
Kutangkap/kubeternak: Gerhana!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 2
(Adhy Ryadi, alm)
Di pusaran airmata lahir sajak serupa taman
tumbuh bungabunga (kantil kuning, kantil putih,
Mawar merah, mawar putih, melati)
Dipenuhi kupukupu yang menjadikannya sempurna!
Di dalam mataair: Jukungmu mengalir
Ke suluk kata
Kekedalaman sumsum tulang
Ke ceruk sungai
Ke pelepasan laut lepas. Dan angin menangkap
geriat pohon, hingga memuai pada dingin
suhu tubuhmu
Burung burung nampak di bawah kabut
Menjangka bimasakti
dengan ketinggian terbangnya
Dan pulau tanpa peta. Jalan air + jalan angin
Tempat kau berkemah. Membangun senyap
Seorang diri!
Hutan yang jelas di kaki langit: Punggur
Kupukupu. Wangi Pudak. Taman landai. Batas pesisir
Jalan setapak. Curam bersilang tanpa dasar
Di telapak tangan
Tangis yang kering anak anak + istri
(Aku menunggu seperti air)
Rumah hunian tumbuh ilalang
Hujan yang saban waktu
Tidak sampai menggenang halaman
:Sumur barang sedepa dalamnya
Di dalam sedekapan. Sanak kadang. Sujud.
Dzikir. Puasa
Khimar yang dalam seluas cakrawala
Bimasakti
Cahaya Sajadah!
Tumbuh seperti air. Segalanya! Perjalanan seperti air
Kudus seperti cinta
Titian adzan
Undakan kabut
Bagi setiap tempuhan yang berlalu!
Pelayaran seperti kasih sayang
Siapa mualim pembaca kiblat
setiap sujud
Tatapan mana memberinya batas!
Beranda luas sebuah lembayung
Jendela tanpa bingkai sebuah rumah kampung halaman
Silsilah leluhur
Jalan ke tanah suci
Jalan ke tanah suci
Ada di hening hati. Illahi!
Tafakur di tanah suci
Tafakur di tanah suci!
“Jalan selalu basah oleh warna ini
Putih. Dadu. Merah. Pucat. Airmata
Seakan terapung ke dalam fatamorgana
Kucitra selalu ke relung hakikat Dzikir
Dan tampak cinta!”
Kau menunggu di mana
Sambil membangun hutan kata
Serupa sunyi. Hening!
Jalan Karma
Titian Tadarus
Undakan Cinta
Sejengkal dari sini!
Telapak tangan
Jejak diri sendiri
Bungabunga. Kupukupu. Sebuah taman yang asri
Seakan tumbuh seperti air
Kekedalaman laut kalbu!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 3
(Agus Vrisaba, alm)
Yang alot itu ternyata patah juga
seperti air patah tertebas
Rumah rantauan. Kampung halaman
Hilang dalam peta
Kau terjaga di Tawangmangu
Menjaga laut + langit + hutan hutan
Dan diri sendiri.
Aku silau oleh panas subuh dan terhalang harum bunga
Di sebuah air terjun. Grojogan Sewu.
Ada mata angin + undakan halimun
Menuju rumah panggung dari bambu
Hati ini menjadi tiang pancang
salah satunya adalah kaki langit:
Di situ kutulis sajak kupukupu
Kau memberi sayap berwarna teduh daun kapukapu
dengan rekatan getah pinus!
Dan semuanya berlalu seperti desis angin di telan adzan.
juga hawa dingin.
Tidak ada yang berubah di sini
Lautan kabut. Cemoro Sewu. Gumpalan embun
Puncak Sarangan
Pejalan kaku
Pendaki angin
Di hati sendiri
Panas menjadi sejuk oleh desiran angin
Petilasan leluhur. Candi seperti puing setelah gempa
Undakan lumut
Patung telanjang
Sisa bukit kapur tandus di dalam hatiku
dikedalaman hidupku
Dan sungai mengalir dari sela perbukitan
Tumbuhkan pinus. Semak. Perdu
Buluh perindu. Ilalang. Pringgondani. Sarangan
Rumput rumput dan kampung
Kupukupu saling lewat di antaranya: Tawangmangu dan bungabunga!
Nakhodalah, kau. Nakhoda tanpa dayung
taklagi melaut/membuat garam
Dan siapa menambat gelombang di arah angin
seperti terumbu yang tereklamasi
Pada pikiran. Pada sajak sajak
(Katakata menjadi serupa sawah
disiangi + dialiri
airmata subak)
Pada ikan ikan terjala di telapak tanganmu
Terpukat di dalam tatapanmu!
(Ricik air di muara taklagi payau
Petani garam yang ngungun
Menyiangi ladang dengan air laut
Rembesan peluh
:Menjadi bonggol singkong
Rembulan sembunyi di situ!)
Cinta yang dititipkan angin kepada pohon untuk tanah
Katakata apakah menjadi kupukupu: Munculkan madu!
Katakata apakah menjadi luka: Tumbuhkan mawar!
Mitos tentang kebaikan + kebijaksanaan
Hanya mimpi
Mengasini ladang sajakmu
Matahari redup di sayut kabut
Kau semaput. Aku kusut
dimanakah letak area sujud?
Bahan cerita lama. Dua belas tahun lebih masa kanak kanak
Menjadi remaja
Tidak ada berganti
Tawangmangu seperti selalu subuh
Bakulan sajaksajak. Jagung bakar
Angin laut yang sampai
ke gunung. Hatimu menjadi pancang
Rumah panggung
Kremasi. Panas garam
Kosmis Dzikir
Tinarbuko. Serah diri
: Kupukupu saling lewat diantaranya!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 4
(Indayano Sukardi)
“Batas tinggi ilalang adalah jarak tatapan
Panjang bayangannya adalah batas langkah
Maka melangkahlah sejangkau langkah ke dalam hening
untuk memahami jiwa”,
Katamu, aku ngungun seperti pohon yang meleleh
di antara nyala lilinmu.
Mataair sepanjang sungai ini akan sampai ke laut
Menjadi sebuah dunia di dalam hati kita yang kerdil
Batasnya adalah sejauh tatapan
Setianya adalah pikulan jejak.
Suara ilalang mengalir. Membisiki diri! Ulakan hio
Menjadi telaga mawar. Gerakan ikan
menyerupai arus. Kau menjadikannya apa di telapak tanganmu
Kita nyekar di mana
Pusara menjadi rata
di hati kita. Penuh burungburung
kupukupu Mawar dan melati
Maka, di sana sebuah suara mengalir
lebih hening sampai ke sanubari
Menjadi sujud
(Taksu + jejak)
Sebuah sajak tergurat
lebih dalam menakik kalbu!
Penyadap getah ilalang: Rekatkanlah di antara dinding
ke dinding sebuah rumah. Sebuah taman
Hingga menjadi bungabunga
(harum + madu)
Semaianmu adalah kupukupu.
Peladang kata: Dirikanlah rumah panggung bambu
di sebuah desa Senden Danguran
Membata Parita + Dzikir.
Pekarangan kata di sebuah semak sanubari
Dengan kereta angin mengantarku
sampai ke situ: Namo Buddhaya.
Burungburung. Kupukupu. Kunangkunang
Bintangbintang. Serangga malam masuk ke dalam Borobudur
ke dalam nyala lilin. Ke dalam harum hio
Ke dalam ricik air Parita
Ke dalam hati: Kekasih yang setia menanti!
Serpihan awan. Jalanan berembun. Subuh menjadi sederhana
Siapa memukat sinar matahari di ranting itu
Pohon randu punggur di tepi kuburan
Kamboja dan alangalang di sebuah petilasan
menjadi wasiat. Menjadi silsilah
Silaturrahmi bersama siapa?
Bungabunga. Kesetiaan. Kupukupu
Gerhana yang menjadi cahaya
“Aku memeta jalan di dalam kalbu”
“Ini pohon lilin di seluas Wihara
Meditasi di dalam cahayanya
Tafakur ke dalam diri: Di mana hening kita dekap!”
“Pohon hening di lapang meditasi
Tumbuhkan madu: Jiwa kupukupu di dalam manisnya
Apa yang di tempa di ceruk
telapak tangan. Bimasakti itu!
Hidup sederhana ini. Serumpun ilalang
menopang rembulan
Di pematang menyemai diri. Serumpun ilalang
mewarnai gerhana
Kita bersama bersiap. Ibadah benda mati
Kita bersama merayakan
:Waisak tiba. Jalan penuh matahati
Bungabunga mawar
Memasuki Mendut. Melewati Pawon
Kau mengelilingi Borobudur
Aku menanti di dalam hatimu yang teduh!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 5
(Bpk Rustamadji, alm)
Menjadi bunga di taman kupukupu. Siapa memberi warna pada setiap kelopak
Tangan yang memintal. Tangan yang menjangkau
Tangan yang menemu sunyi tetesan embun. Bulan dan angin
memberi tanda pada malam
yang sempurna menenggelamkan senja.
Engkau menggambar, ada matahari di sini
Selalu dingin. Selimut kabut. Irama gesekan daun di dahan
Siapa menari seperti bayang Illahi
Engkau menggambar telapak tangan yang terbuka, ada kubah gurun di sini
Jejak yang mengental di guratan pendakian
Lebih menggurat ke dalam detak jantung
Jukung bertaut di kalbu: Tidak berlayar kemana dan dimana!
Kita sampai di sini
Di sini kita sampai!
Jalan landai. Titian. Puncak yang memberi batas ketinggian
Tak untuk di daki. Tak untuk di jelajah
Perjalanan hati untuk sendiri memahami.
Aku mencari seperti air tercerap pada pasir
Rantauan yang kubangun, tak cukup untuk berlindung
Katakata sajak: Siuman hati nurani
Katakata sunyi: Tanda yang takpernah selesai memberi isyarat
:Kemana harus mencari jalan pulang
Tersesat oleh tatapan sendiri!
Ajari aku memcari kampung halaman dalam putaran mataangin
dan dalam detak ke detak jam yang limbung
Takjuga lahirkan rindu kembali ke relung sanakkadang!
Tercatat pada airmata: Angin yang tenggelam dalam desirnya
melewati suhu dingin. Gurat tangan yang panas
memuaikan nasib baik+nasib buruk
Kuburan perjalanan awal hidup agung . Melati, harum kubersaksi!
Juga sungai yang melayar dalam arus aroma bungabunga
Siapa mencatat dalam muara: Rasa payau. Warna lukisan. Laut
kepak kupukupu. Rindu yang terlunta oleh harap sendiri.
Di pusaran bungabunga menjadi madu di nektar kupukupu: Engkau menyulingnya
Perjamuan: Rasa tulus berbagi
Serah diri: Pengabdian dan kembali!
Ada matahari terbagi di taman. Di daun daun yang melunturkan
biru langit. Di ujung ilalang bintang bintang membentuk rasi
untuk menandai penyamaran di mulai
Di sebuah penungguan, janji yang memcair oleh guncangan waktu
yang luruh seperti tretesan embun karena dingin halimun
Di sebuah gelombang demi gelombang, jukung memecah angin
hingga terdampar di jantungmu
Jantungku berdarah. Tidak memercik kemana dan dimana!
Hingga aku bertemu dengan pencarian: Selaksa jalan. Tak selalu menanjak
atau menurun. Jalan lurus yang kadang menyesatkan, katamu
Membaca mataangin: Balingbaling yang menandai arah angin berhembus
Dalam pencarian ini aku bertemu: Sedepa jalan. Hati nurani
Hutan jasmani rokhani. Binatang buas yang hidup di hatiku
Jiwa yang kerdil
Anak anak yang menangis. Bulan yang tersangkut di sela daun
Juga lalat lalat yang merubung
Pada sebuah taman yang tak terawat dalam hidupku!
Di sebalik ini adalah jalan pulang: Seperti rindu
Sujud. Warna abadi dalam lukisan pohon kalbu
Jalan pulang ada di sebalik ini, katamu
Seperti ketiadaan. Ada. Tiada
Hampa adalah laku anak anak yang ceria. Anak anak yang ngungun
Menjaga Ibu. Menandai kampung dan rembulan
Pohon yang ditandai tapak dara: Tidak kemana dan dimana
Memainkan bimasakti
Di pusaran hati. Di telapak tangan ini!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 6
(Elsa Suryo)
Sebutir pasir tidak akan mampu menambal lubang telapak
sebuah tangan. Sebuah kaki Sebuah luka
Sebuah kata dalam suara! Kadang, sebutir pasir akan mampu
mengganjal rotasi bimasakti
Menutupi kealpaan dari sujud. Juga sobekan sajadah
Seperti kehendak yang kau ikhlaskan
Berkehendak memperjelas jejak jejak pencarian/
pendakian di senyap udara
Menggambar aroma mawar dari warna merah yang kau bayangkan
Juga bening melati dari hening matahari
Dan tafakur untuk mewujud kupukupu. O, pemahat patung bunga
Sewujud Bunda Maria. Sewujud Isa
Titian pelangi
Hujan tak akan kuasa menyembunyikan biru warna langit!
Penangkar patung bunga. Mengukir rembesan air
dari denyut nadimu!
Siapa melepas katakata yang tersamak dalam muaian halimun?
Tak juga terjawab. Seberapa khusuk rindu bungabunga ilalang
untuk menjunjung cakrawala: Dalam pukatmu terjala
Kupukupu. Lebah. Cidukan kalbu
Bianglala. Tarikan nafas. Kelindan rindu
Matahari. Dingin yang mencairkan panas tubuh ini!
“Ini peram! Bahasa yang terjemah. Gerak laku bumi
Sandiwara dilakoni badanmu. Semacam jasmani
Rokhani sewujud tetes kalbu Illahi, menjadi pencarian!”
Pohon itu tidak akan menjadi punggur di lahan yang subur
Sebidang mataair dan sebentang sungai: Sebuah alur
menuju jantungmu. seperti pelangi dari bias cahaya matahari
di daun basah. Ke mana berlabuh. Kayuh yang tersorong ke hulu
Jukung ilalang dipenuhi mawar
memuati burungburung yang bertahan di dalam hidup
membagi udara bebas dengan hembusan nafas
Tetapi siapa bersembunyi di sebalik bayang bayang dan bima sakti!
“Ini jalan. Seperti penuh katakata: Pastoral kupukupu!
Jalan yang memasuki keriuhan. Memuati suasana bising. Kota yang sengaja
ditumbuhkan dalam hati. Jakarta seperti sebuah taman
Penuh punggur. Di mana tempat bercinta sepasang kelelawar
di bawah lampu kota yang dipenuhi laron seusai hujan + bah
Pencakar kondominium yang menelan ketinggian langit
Pencahar diri yang mabuk jalanan. Persimpangan yang mengacaukan
mataangin. Atau di antara bahasa
yang mengalir lancar pada kanvas kehidupan!”
“Jangan berisik Semadi ini di dalam keriuhan orang orang
Lalu lalang dalam pikiran masing masing!”
Pemahat taman. Penangkar patung bunga. Penggali mata air
Penulis arah jalan walau tanpa denah dan mata angin
Hingga sungai mengalir padanya
Hujan. Airmata. Badai. Puting beliung
Tanpa bah dari hutan yang gundul dan sungai yang menyempit!
Diam! Sebutir pasir menghalau ombak yang pecah di pesisir
Senyap! Detak ke detak jantung
menyatu diraupan tangan. Dan bungabunga mumcul tak berwujud
Pemahat taman. Pematang terbentang padanya
Penuh semak. Bunga ilalang dan pudak
Penuh kupukupu dan cahaya matahari
Dan kau di mana
Sunyi dalam diri
Memahat hutan bunga: Bagaimana mungkin pohon besar
berlindung di sebatang ilalang!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 7
(AC Pudjantoro Dipowijoyo)
Penangkar jizim bungabunga Mengubur jizim di bungabunga. Tumbuhkan harum
Taman hati. Lukuan+semaian+muaian embun
menyempurnakan fajar: Kemana mengalir lelehan nafasmu
ke sungai/ke laut. Atau masih dalam jukung
yang mengapung menuju hulu. Mataair yang kau ramu dengan sujud!
Di tubuh kupukupu ada matahari. Biru dan teduh
Ada sungai mengalir, menandai hujan di gunung. Kabut dalam tubuh
terlindung dari gigil dingin. Juga malam yang lebih pekat
Ada pelangi. Titian cahaya yang terbias di udara
Titian udara yang mewarnai cahaya. Di kalbu tertaut!
Membentuk sungai dari gesekan angin di setiap ranting
Di mana berlabuh segalanya. Jerajak adalah detak detak jam
yang lepas dan mengambang. Menandai jalan lapang!
Berapa kayuh mata air akan melayarkan jukungku
Ke Jetis. Pertigaan. Tanda panah arah penunjuk yang setia
untuk para pejalan. Pengembara. Anak tualang yang rindu
kampung halaman hingga sampai ke Parang Kusumo
Malam ini Bulan Suro
“Kulautkan dirimu dalam alir darah. Penuh alun
Riak yang pecah menggambar arus untuk berlayar
Gelombang mana lebih bahaya dari gejolak jiwa yang lara
Juga sabana bagi penunggang kuda
dengan ringkikan yang panjang menjadi batas cakrawala
Menapak sendiri jalan, melewati sebuah mataangin
Menempuh laku sendiri, melintasi Pluneng. Penuh air. Penuh dingin
Tak nampak juga kau menggigil
Pohon beku oleh panas suhu tubuhmu!
Kupukupu kayu. Bungabunga tersandera. Harum ini sampai di mana
Tersemai dari bubuk cendana
Anak anak memgeraminya sepanjang jalan
Dan menetas. Sepasang tebing menjadi tiang penyangga langit
Selimut kabut yang memeram bahagian paling dingin
dari matahari. Sepanjang goa jepang. Lalu lalang yang tak tercatat.
Di setapak menuju Merapi. Berapa depa langkah ini dari hatinurani!
“Ini keris bertuah Dewandaru. Juga kereta kencana Ratu Selatan
Penuh kilau berlian atau bercak darah perjaka!”
Angin menjadi ombak di lautan
Siapa menepikan burungburung yang saling silang di udara
Sepasang merpati menetas dari merah delima itu: Terbang rendah!
Hinggap di mana Meninggalkan sehelai bulu sayap
untuk rembamg petang. Memasuki senyap yang kau babar
Sepasang kupukupu terlahir dari sukud itu: Penuh madu
Di antara bungabunga siapa mencipta taman?
Selengkung pelangi menakar kaki langit: Jalanan tak akan berubah
karena tiupan angin + panas tubuh
Di tengah antara petilasan dan semak. Jalanan memberi tanda
lurus atau menelikung. Takjuga tanjakan atau turunan
membuat jiwa yang kelana berhenti
dalam pendakian ini. Kaukah, mengapa angin beku di antara gerimis?
Dan aku timbul tenggelam di setiap gelembung udara
Menera cuaca yang saban berubah Memeta panah arah ke dalam mataangin
Di mana memdirikan kemah; Terbentuk tubuh anakanakku
diselimuti kabut. Di mana membangun sujud
pada tetakan akar rumput yang mengerat tanah
dari kentalan airmata. Amis darah
Tumbuhlah jiwa pemgelana. Meluku diri. Menyemai diri
Mengubur diri di harum mawar
Berenang di seraup air. Dan perjalanan ini menakar
butir butir pasir
Jizim cahaya: Jembatan pancang ke arah taman
Menempuh masa akil baliq. Bunga bunga kudus dalam tempuhan
Serupa sebuah tatapan matahati: Ke arah mana mulai berjalan
Belajar menerka terbang kupukupu
Mencatat terang matahari. Ke wilayah gelap
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 8
(Mas Teguh, Kebonarum, Klaten)
Kaca benggala ini: Mengapa ada tubuh telanjang dengan selembar kain sewarna cakrawala
Membungkus dan kemudian menjadi bumi
Atau bercermin memandang matahari yang lampau. Cahaya seteduh fajar
membentuk gunung di timur. Laut mana menyilaukan!
Aku bercermin dan melihat taman membentang
Kupukupu yang terlahir kembali Tafakur yang diakhiri dengan bentangan sayap
terbang ke dalam hati, sepanjang detak nafas
Di mana bertani mengolah sebidang warna kembang
Ladang jiwa terbengkalai. Cangkul sedalam tapak jejak
Kayuh sejauh langkah jejak. Timba seberat noktah jerajak
Di langit, baru secerah cahaya bulan memecah pekat
dikerubungi laron. Merebut remang yang terbayang dalam saling silang
bayangan. Langkah siapa tertunda
Menapak curam tebing. Betapa tinggi sudah jalan di lalui
yang diawali dari jurang yang dalam
Bayang pandang di ujung ilalang – Kau berdiri bersedekap memandang sabana mawar. Liar margasatwa
dalam tubuh Hutan yang taklagi menampung hujan
Tetesan embun pun tidak. Memandang gersang sabana+oase
dalam kalbu. Sabana = ladang penungguan. Altar berserah
Ke kiblat mana kau layarkan jukung jiwa ini?
Angin di bayangan terhapus. Dimgin menebal dengan lembab cuaca di luar
Halaman rumah tumbuh halimun. Gerak rumput pada bumi
terdekam tanpa gerai. Kau bangun rumah. Rumah dengan dinding
Dinding ayah. Bunda. Sanakkadang. Di tembusi cahaya matahari
Rembulan+bintang bintang di sudut menjadi warna yang sederhana
Rumah dengan tiang pancang sampai menembus jantung
Penuh sarang kupukupu. Madu. Udara. Kerakap. Garam
Rumah pemulasaraan hawa nafsu. Rumah pengeraman. Dan, lahirlah api!
Di kursi tua yang kekal: Tumbuh cahaya bulan. Bintang. Kunang kunang
Dengan apa mesti kugenapi malam. Daun daun yang tertutup embun
Jejak yang dibekam dingin. Langkah dengan jejak
Mengeja taman dalamnya. Harum bunga di musim ini
Memenuhi percakapan. Sampai aku baca masa lalu
Maka kueja tanah pijakan. Tanah tualang. Jiwa yang kelana
Penuh kubangan darah. Bromocorah
Pengkhianatan nasib
Dan pencuri sekuntum merah mawar!
Dari kaca benggala: Hidup kupukupu sesingkat tarikan nafas
Siapa menera madu dengan rasa manisnya. Siapa menakik
warna bungabunga dengan harum aromanya
Siapa menyiangi taman yang tumbuh subur dalam hatimu?
Cerah langit. Wingit pendakian!
Di kursi tua yang kekal Duduklah dengan tenang. Berisik angin
akan menjadi sahabat. Dingin tak akan membeku di diri
Membekukan bilik paling sunyi: Panas hati!
Duduklah, tetesan liur perbuatan buruk
tereja menjadi sungai
Sungai yang melarung jukung kayuhan. Menenggelamkan cakrawala
Rumah ibadahku! Altar sesembahan!
Cerah langit. Jalan yang luas tempuhan
Mata angin tuntunan!
Hingga aku sempoyongan. Sebagai pemulung arah
Mata angin berkabut. Mencari arah pulang Jalan lurus
Seakan penuh kelokan. Jalan simpang
penuh tanjakan. Penuh darah. Nanah
Rasa sakit menahun. Luka kusta
Obat apa mesti di racik?
Kaca benggala. Lingkaran dengan sisi penuh duri
Aku tenggelam dalam pusaran kalbu. Tatihan langkah
Ilusi dan buah tutur yang menjadi keyakinan!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 9
(Sinduputra)
Di tempat mana kupukupu membikin sarang selain di mahkota bunga
Dikedalaman hatimu. Tanpa tersadar telapak tanganmu
menghilangkan jejak rumah tua Sanur. Seperti tempias ombak
pada bangunan pasir. Maka waktu menelannya
Hingga gurat di tanganmu memuai oleh dingin angin laut:
Dermaga dalam diri hancur tanpa kerangka
pada penggaraman ini. Cahaya tersamak
dalam serpihan cahaya yang lebih terang
Kau kan tahu, di Sanur. Pohon jati itu rela meranggaskan daunnya
agar tidak mengurangi air tanah sumurmu
dalam penguapan
Aku mengeja penungguan
seperti burungburung dari tanah usiran. Atau kupukupu yang kehilangan
madu pada setiap putik bunga. Membentuk kemah
Dan tak tahu arah berkiblat!
Di ujung ilalang dengan kepak sayap yang lelah, lebah itu tak mampu
mendengung. Seperti seorang ibu menggigul karena demam
di mana anak lelakinya tak mampu menyelimutinya
dengan kasih tulus
Lebah itu mengajari kupukupu dalam menggarami suluk nasib
anak anak mencicipi sisa peluhnya
yang tak lagi payau. Anak anak yang juga mampu menggambar langit
dengan anak tangga mencapai puncak!
Penyulingan air panas. Uap itu menenggelamkan aku
Desa rantauan di pesisir, dengan desa muasal pulau salak
Desa salak, kau akan memasuki jalan dengan angin puyuh
melumpuhkan semak semak
-Aku berlindung dengan jukung ilalang di selat Lombok-, katamu
sambil mendayung di antar kupukupu kuning
Dalam sebuah kabar, ini doa menjelang panen garam dan penggaraman
nyale. Katamu, aku telah menjadi penangkar matahari
Jadilah panasnya di telapak tangan ini
Agar uapnya menjadi airmata
Untuk menyusui anakanak
Hingga menjadi mekar bunga. Nektar madu. Taman
Membiakkan kupukupu!
Hutan katakata: Dua puluhan tahun lebih menulisi diri
Sepotong sajak lahir: Gembalaan jiwa di ladang kering
Punggur. Pohon jati yang setia menandai
Nasib baik nasib buruk
Telah dirobohkan oleh waktu yang menua
Perambah batas. Batas mana jejak bisa ditinggalkan. Sanur yang tua
di Lombok menjadi nyale. Upacara laut
Sedekah dari sisa hujan. Hidangan rangsun jagung
Guna guna apa memeletmu untuk bertahan meninggalkan
cinta pertamamu. Ibu yang melahirkan!
Pupuk apa tercerap ke dalam rahim lautan. Gelombang. Arus
Buritan. Bayang tubuh. Ludah ngengat
Laut sebagai titian. Melangkah di desir angin
Melewati batas terlarang!
Kupukupu yang lahir dari kupukupu. Berteman kupukupu sudra
Dengan sayap kulit bumi dan serat kayu
belajar terbang melewati kemiskinan
Jiwa. Menemukan banyak sajak. Katakata tentang pulau
Lombok dan buring burung yang menetas dari penangkaran
Bertapa dimana?
Penjuru terbakar dalam tubuh!
Mencari suaka ke mana?
Ke dingin. Ke gelap. Ke ruang lembab
Ke Seleparang. Ke dalam cinta yang tergadai
Semua jalan terperangkap di kedalaman tubuh sendiri!
Pelintas batas. Tualangan penyair. Jalan tempuhan
di jelajah dengan limbung
:Mendulang cahaya sedalam genggaman
Suar yang menandai kelokan setiap jalan pulang!
Siapa muncul dari sekumtum bunga
Wajah Ibu. Tak lelah menunggui taman
Membesarkan kupukupu. Mengerat madu
sisa lebah madu
Setia mengumpulkan tetes ke tetes mataair
dalam raupan itu: Untuk permata hati
yang meneduhkan!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 10
(IDK Raka Kusuma)
Bernyanyilah sendiri. Senandungan dari kaki gunung. Hutan. Mata air
Teguh bernyanyi walau semgau. Sumbang
tentang kelana jiwa. Pemcarian dalam pendakian
menempuh angin Walau akhirnya meluruh bersama embun
atau meranggas bersama batu pasir lahar
Sejuk nyanyian itu dalam panas deruan hati
Partitur kelana. Rindu yang terlalu dalam namun berjalan
pada jalanan yang melingkar
Seperti terkunci. Terkunci seperti patung kayu yang tak bisa
mengelak dari liur ngengat
Siapa kau yang mengukir halimun. Yang sekejap saja hilang
di telan cahaya
Tempat ini terlalu dingin Tak seorangpun kedinginan
Tatapan ini dibatasi oleh batas pandang dan bayangan
Waktu hanya pembatad bagi lelah perjalanan!
Istirah barang sebentar sebelum angin bertukar dengan dingin
di udara: Kau bersila, tajam ujung ilalang
menancap sangat dalam ke uluhati
Dan kedalaman sarang eraman seekor kupukupu. Kau menemu kata
di susun menjadi gunung
Jadi nyanyian orang gunung. Nyanyian yang mengagungkan semesta
Aku menulis sajak ini, katamu. Ladang jiwa garapan
Kau menggambar Gunung Agung meletus Laharnya memenuhi
ladang sajak dan meleleh sampai ke pusat kota
Betapa panasnya lahar, namun memgapa jadi dingin dalam sajak
Tak seorangpun kedinginan!
“Pohon ini sebelum berbunga sudah gugur!” Katamu kepada
matahari. Menyuling panasnya agar tetap tertahan
di telapak tanganmu. Berebut eraman. Berebut desir angin
di dalam dingin. “Aku akan memandangmu seperti matahati
Menjangkau tempat terang dan gelap sekaligus
Aku akan bercinta dengan sekuntum teratai
Yamg menyuling mataair yang bening
di dalam tubuhmu
Aku akan memeras setangkai melati yang wanginya
memenuhi bimasakti!”
Meditasi sehelai daun: Aku pohon lahar yang kental
karena suaramu. Alunan lagu. Partitur hembusan angin
Sunari yang menamdai hening
Namun seekor nyamuk menghisap darahnya, memekakkan
omong kosong seorang penyair: Membajak diri di dalam cahaya!
Meditasi sehelai daun:”Aku besarkan buah dengan kasih sayang bumi!”
Nyanyianmu. Kidung tentang bulan yang menjadi dingin dikedalaman
cahaya matahari. Kidung tentang luka
yang mengangakan perih hutan. Gunung Laut. Diri sendiri
Bernyanyilah sendiri walau sumbang tentang warna bungabunga
yang menera liur kupukupu
Tentang kupukupu yang memeta taman di jiwaku O, kidung
yang kau tembangkan seperti sebuah bentangan udara
menelusup di dalam kalbu. Tak mampu kuterjemah
dengan gelisah menemu. Tak di mana dan ke mana kau cari
Di sebatang ilalang, di sebuah pulau di mana kita bertani
dan beternak sekaligus
menjadi serumpun padi dan lenguh sapi!
Siapa memamah tubuhmu? Renta sekali di ulakan waltu
Pusaran angin dan pagihari
-Aku akan mencari ufuk Di dalam diri. Di nganga luka diri
Anacaraka yang sengau
-Aku akan mencari siang di rahsia terang. Di jejak
yang fatamorgana. Tanda anak panah sebagai arah
berputar seperti baling baling
-Aku akan mencari malam di gelap yang paling
rahsia dalam kehidupan ini
Jelaga pada sebuah suar
Tertaut dengan tetesan embun
O. Semoga kutemu sungai mengalir le dalam air yang bening
Lautan tenggelam dikedalaman air yang jernih
hingga di telapak tangan tumbuh teratai
dengan kelopak mengurai masing masing
warna yang asing
Siapa menjadi muara
Melabuhkan tawar mataair gunung
dengan asin yang sempurna di dalam cahaya matahari
Siapa menjadi muara dalam pertemuan
dari pencarian ini?
Meditasi sebatang pohon
Buah ini dari bunga yang kau serbukkan dengan cahaya matahari yang tulus!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 11
(Agung Bawantara)
Kuluku cahaya Jakarta dengan mata bajak yang tumpul
Memasang patok sepanjang Jakarta. Jangan berisik. Mata terlalu panas untuk bertatapan
oleh penguapan dari kepulan asap yang takmampu
di cerap setiap daun. Hutan kota yang selalu berpindah tempat
setiap waktu. Kau menjaganya. Seperti burung hantu
mengintip setiap gerak cerucut
Hingga kau terlelah. Pulanglah!
Menakar butir pasir pesisir seperti memghitung biji tasbih
setiap hitungan seakan gelombang mengancam. Maka kau bangun tinggi bangunan pasir
dengan taman dan membiarkan anak anak bermain pelangi
sebebas terbang kupukupu. “Jangan sejauh kanal,
tanda larangan berenang”, katamu
Tapi aku telah jauh di tengah laut dengan jukung daun madori
Upacara sedekah laut. Ini harum pudakkah?
Segelas air putih mawar merah. Akankah menenggelamkan?
Berenanglah ke tengah hatiku
Sebuah ruang lapang
Kasih sayang yang tulus
Sebersit terang yang tak kubaca gelapnya disampingmu!
Kilau bintang. Siapa membentuk mata kunang kunang yang rabun
menyihir gigil dingin. Merebahkan bayang pohon di sela lampu jalanan
Igauan tentang kehidupan malam: Berkelindan dari mimpi ke mimpi
Candaan tentang kehidupan malam: Siapa menakar tinggi hinggapan
kupukupu dalam kelopak bunga
Di sebuah taman yang kini kekal dihatimu!
Kilau bulan: Siapa membagi cahaya yang tertahan di angin
saling silang antara suaramu yang parau
Membentur dinding kondominium. Pencakar yang menyamarkan
tinggi langit dengan lengkung pelangi
Dan kau tulis dirimu setinggi bayangan monas
Pendar matahari: Aku mengerami anak anakmu. Seperti gulungan kepompong
Tafakur. Serah diri. Menggambar airmata
Memggurat cinta. Hingga lahir anak anak setulus kasihsayang
Mencintai bumi!
Lahir dengan banjir dari hulu ke hilir dipenuhi airmata
Sungai yang menyempit Menyepil di antara daun daun yang mulai
rontok. Hujan yang menandai bah
Berlindung di mana Sajak sajak menjadi basah
dijadikan jukung dan melarung sampai ke desa muasal.
Diam di sini Rantauan jati diri. Seperti pualam purbani!
Telah kutangkar Jakarta yang tambun itu
Beranak kembar: Darah dan nanah!
Telah kugambar Jakarta: Merah dan putih!
Siapa namamu? Urban. Mengelana nasib Penulis hujan. Penyihir angin
Atau segala yang memuliakan perjalanan
Penjelajah negeri asap sepanjang kemarau di Jakarta
Seperti sebatang pohon penuh benalu. Selalu merontokkan bunga
Berbuah tanpa pernah meranumkan buah. Pohon yang dikerdilkan
sebagai mainan anak anak. Menggayutkan angin sepanjang pelangi
dane menguap bersama tetesan peluhmu
Kupanen dingin yang keruh dari sebidang tegalan yang tandus
Matahari terlalu rendah sekali
Membekam telapak tanganku:” Masih ada desiran angin
dari baling baling yang berputar Pusaran yang limbung
dan tetap kutulis di hatimu yang biru!”
Pijaran bintang dan sebuah tanda dalam marka jalan:
Aku menemukan mataangin dikedalaman lubuk sanubarimu
Begiti berantakan. Arah ke Timur masih utuh, bisikku
Arah yang merujuk sebagai alamat pulang
memanggul nasib ibu!
Aku akan bertani di Jakarta Menanam kemarau
dan bah. Juga menanam melati, katamu
Kita akan lahir kembali didalamnya
menghirup asap pemulasaraan
Sekaligus mengubur harapan sedalam cakrawala!
Siapa namamu? Seorang urban
Merafal anacaraka yang gemetar
Seorang pengangon di tegalan yang tandus!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 12
(I Nyoman Wirata)
Sedalam warna kutangkar matahari: Menadah garis membangun ruang
Ruang segi 9, sehingga cahaya tumbuh sebagai pohon
pohon peneduh yang membentuk hutan dalam hidupmu
Menampung hujan. Menghalau banjir. Berbiak margastwa
Dan seekor singa mengaum
Di mana bersuaka?
Kilau matahati seperti nektar cahaya matahari
Serupa tatapan pada jerajak pengembaraan di sebidang bentangan taman,
pematang sawah kau warnai kuning padi. Lelakut
Tegalan kau gurat/luku menjadi tempat membiakkan bungabunga
yang warnanya kau suling agar kupukupu dan lebah
Lahir seindah rembulan
Seteduh apakah warna yang lekat di bidang kanvas?
Lalu selapang hati kugambar, wajah yang lebih terang di warna pucat
Garis lurus. Arah. Titik yang melengkung
Jukung. Laut. Gelombang yang menyempurnakan sinar bulan
Di layar itu, katamu, aku lupa menggurat jalan untuk pulang!
Kugambar ilalang setinggi matahari. Pohon kabut serupa gunung air
yang memcairkan tubuhnya ke dalam arus darah
Jukung kloping penuh lumut dan benalu
Dan hijau warnanya menenggelamkan cahaya mercusuar
sama seperti warna daun yang kau gores
penuh kalbu. Yang lebih rindang dari sebenarnya
Kau gambar juga telaga dengan air jernih
“Aku berenang kekedalamannya!”
-Pukatku menangkap burung burung di lautan biru, katamu
Mata kail itu tersangkut di setiap krangkarang
Menuntun ikan ikan. Layar yang terkembang
mbentangkan cakrawala yang teduh di telapak tanganmu!
Dan aku menemukan katakata seperti airmata
Memghanyutkan jukung kekedalaman warna bunga
Wangi pudak. Kupukupu tersesat di dalam gerak angin
Di mana taman yang menjadi tempat istirah?
Noktah titik Pemberhentian ini adalah awal sebuah keberangkatan
Tujuan bukanlah akhir yang harus diziarahi
Serupa membuat pusara bunga di dalam lukisan
Wajah siapa yang nampak
Menangkap singid. Menangkap wangi di dalam hatimu yang tulus
Setinggi ilalang, kudaki tingi tinggi Titian cahaya, kurunut sebagai
suar. Penunjuk tanpa arah anak panah
Di sini berkemah: Memahami mabuk cahaya
Tanpa sadar tanganmu menggores sebuah pulau:
Pulau tempat kupukupu bertelur. Kau perahkan madu
Dan kau tetaskan lapar pada pohon yang takpernah berbuah
Di sepetak sawah. Subak masih terjaga dengan aliran mataair
Di sepetak sawah. Aku menawan sekawanan burung di dalam serumpun padi
yang kugambar dengan lelehan peluh petani. Karatan mata bajak
Meluku matahari
Tersemai sanubari Seekor sapi kuternak
dibesarkan oleh kelapangan rumput sawah
Bagaimana kusapih kemesraan ini?
Aku selalu melihat orangorang telanjang di dalam kanvasmu
telanjang mata memandang hutan. Margasatwa. Gerhana
juga warna warna yang bergerak sendiri mencari ruang
Tatapan ini terlalu dalam menusuk hatiku. Tatapan yang teduh
membatas kaki langit dengan sehelai ilalang
Apakah angin memutilasi pohon pohon yang merontokkan daunnya
Tempat burung burung berlindung
Menangkap dan menelungkup bayang sendiri
Apa yang bisa di kenang
Sebelum matahari muncul lagi di atas ufuk?
Lukisan mata anginmu: Ada bulan terlunta
serendah tinggi ilalang. Seekor kupukupu
menenggelamkan dirinya ke dalam warna
bunga bunga
Dan jukung itu. Jukung masa kanak kanak
kekal tertambat. Yang karam. Setia membaca
gelombang dan musim angin!
Dan aku membawa 2 patah kata untuk pulang:
Terima kasih. Serah diri!
Di dalam lukisan aku bertani, katamu
meluku+menanam wangi dari sekuntum melati.
ILATURRAHMI KUPUKUPU – 13
(Tan Lioe Ie)
Aku telah melayari laut luas, katamu. Lautan kata kata. Lautan hio. Lautan mawar
Menyeberangi selembar daun. Seperti kalbu. Apa warna paling asing
selain dari warna hijau sebatang ilalang
Pokok pohon itu dalam jantung mengakar, serupa bumi. Apa beban paling berat
selain dari rasa gelisah sepatah kata
Kau seorang diri mabuk cahaya yang menerobos lubang kecil yang ada
di jendela hatimu. Tak akan mabuk lagi. Obat penenang itu
adalah tetesan bening airmata
Seekor cemdawan akan mampu merobohkan tiang pancang rumah
Istirahlah: kau akan merasakan kesejukan setetes air dari mata air!
Di bawah rumah kerucut Langit itu meruncing
Apa yang terkunci jika jiwa tak tergembok: Cahaya matahari?
Iusan asap hio Taman bunga di mana kupukupu tersandra
oleh petikan gitarmu
Oi, kutangkap rona bulan yang jelita, saat terlunta di dalam hatimu, katu
Jukung melayarkan desir angin ke tengah arungan gelombang
demi gelombang yang merencah di garis telapak tangan
-Siapa berdecak kagum di antara nyanyian yang kasar!
Para penziarah. Pemabuk kata. Dewi kesenian
Atau orang orang yang kehilangan matahati
untuk melihat dengan jernih
Air yang sederhana mengalir!-
Menujum bungabunga yang kembang karena cahaya matahari
Lolongan anjing kayu. Ringkikan kuda angin. Deru air bah
dalam tempayan telagamu: Tulis ikan ikan berebut udara
pada ruang hampa. Dan air berebut tempat
di ceruk yang dangkal. Oi, penyihir yang baik hati
“Kutulis bimasakti serupa debu
Apa yang di kenang padanya. Jiwa yang lara”.
Muntahan kata seperti banjir bandang. Menjejal sebuah rumah
dengan ruangan yang sudah sesak oleh polusi dan demam menahun
Pesakitan yang fasih bersuara tentang Tuhan dalam diri
Merafal nasehat bijak serupa kalimat kalimat pada kartu
bumi/kartu langit
Derunya bagai api membara!
Tentang sukma yang tenang. Matahati yang dalam
Ada-ketiadaan di dalam sajak: Lelaki penyala lampion menyamun
sinar rembulan. Menerangi di tempat yang terang di gelap hatiku
Jalan ini, jalan tanjakan menuju ke mana?
Dua anak panah saling bersilang merebut langkah selanjutnya!
Meditasi air: Aku memahami kedalaman dalam
di tempat paling rendah!
Di ujung ilalang, gerai uban rambutmu menenggelamkan awan
dan diselanya gerhana tak sempurna dengan cahaya terapung di genangan
embun. Terombang ambing seperti ombak
mempermainkan jukung penuh bunga. Hio.
Penunggang kuda tanpa sayap terbang melewati matahari:
Cahayanya memudar di tetesan peluh nelayan. Angin dari Utara
berdesir tanpa berisik.
-Anak anak siapa memyiduk malam. Nyala lampion yang temaram
sekitar altar. Tempat upacara minum teh
Dan berharap jalanan lurus ini akan tetap lurus sepanjang perjalanan
tanpa berkelok sampai ke tujuan.
Di dalam ruang rumah kerucut, kau mengail dirimu jauh ke dalam tubuhmu
yang penuh nanah dan ganggang merah yang terlepas dari terumbu
Kau pukat hatimu: Kau semai di sebidang sawah yang subur
Tumbuh melati, mawar dan kantil
Menyuling angin Agar padamu memahami seekor kupukupu
Belajar menjadi kepompong!
Setetes air, apa yang bisa dipahami: Benih kelahiran kembali
Samsara. Karma
Atau setetes air akan memcairkan lautan ke dalam air mata!
Lelaki itu, membuat jalan di setiap jerajak perjalanan ini
menyalakan lampion setiap jalanan menurun
memetakan rembulan pada jalanan menanjak
Hingga seekor burung tak pernah merasa lelah menempuh cakrawala
mengerlipkan selaksa bintang. Menjaga hujan + kabut
Siapa membuatkannya sungai dan menghanyutkan bah
ke dalam hatiku!
Meditasi air: Ada udara memuai. Panas apa yang akan membekukannya
Ada yang bergerak dalam diam. Lafadz apa yang bisa mengheningkannya
Di dalam jiwa
Di dalam jiwa
-Tapi suara yang keras kemudian hancur dalam angin
Apa yang bisa di kenang dari setitik debu-
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 14
(Mas Ruscitadewi)
Meditasi seekor kupukupu: Langit hanya segenggaman tangan. Di mana udara
berubah rupa di setiap warna bungabunga
Menjadi apa di telapak tangan. Bijih buah yamg ditumbuhkan
oleh tanah. Tunas. Kelahiran kembali
untuk mengenali kebun bunga bermekaran
berebut cahaya matahari
Meditasi seekor kupukupu: memang selalu lebih tahu
akan apa yang terjadi di dalam kungkungan kepompong!
Belajar putaran mataangin untuk memeta arah pulang
Seorang ibu yang selalu menunggu jika petang mulai tiba: Bungabunga
yang kembali. Sinar yang lamban menjadi pudar. Kadang hujan
membuyarkan semuanya
Sunyi ini disempurnakan!
Seorang ibu mengajari anaknya menggambar sebuah rumah ilalang
Di sebelah mana ruangan mesti disiapkan untuk latihan menari
Altar untuk persembahan. Meja untuk tempat
ramu ramuan obatan/parampusaka
Atur saja sendiri sendiri. Ini rumah dengan pekarangan yang sangat luas
Ke arah puri tanda suar itu mengarah Ada beringin yang dikerdilkan
di teras rumah. Di mana kupukupu bersarang
di rumah seorang sudra. Pengabdi yang selalu mengumpulkan
seonggok madu dengan cidukan tangannya
Di bale base anak anak meniru gerak kupukupu menari sebagai bunga
sambil terngungun merindukan langit biru
di kalbu seorang ibu. Siapa kau?
Siapakah namamu? Sebatang pohon yang diselimuti kabut
di terangi cahaya gerhana. Ada tempat saji dan doa
kepada bumi. Tanah yang menumbuhkannya
Juga sebatang pohon yang mengembangbiakkan sekuntum bunga
untuk menjadi buah
Tumbuh dengan subur
dikedalaman peluh sanakkadang!
Sebatang pohon tempat tanah menitipkan saripati
bagi kehidupan ini. Menarilah! Menarilah!
Gerak ini adalah rotasi. Partitur alir air
adalah irama. Menari sebagai persembahan!
Purnama di sela pandan beraroma pudak. Dan benderang di ufuk gelap
memeta jalan bintang. Angin dari barat daya bertiup
lebih dingin. Halimun lebih tebal
Tempuhan ini adalah jarak yang hanya seluas telapak tangan
Tempuhlah dengan tegar
Makna sukma yang lapang!
Seorang perempuan. Seorang ibu dengan ani ani di jari tangan
memotong rumpun padi Membangun jineng. Menyemai cahaya matahari
Sajian ini menjadikan dewasa dalam perahan susu putingmu
oi, aku menemukan lelehan madu. Dan menjadi telaga
untuk menadai sebidang taman
Sawah bagai sebuah keindahan Kau membajak katakata di situ
dan sepasang sapi menyeretku jauh melewati kampung halaman
silsilah sanakkadang dan bimasakti
Seorang perempuan bermata biru menjala cakrawala
Menjadikan dunia mungil. Penuh lumpur
Menjadikan ruangan indah. Ruang perkemahan untuk mengenali
diri dan serah diri!
Mahkota teratai biru: Seorang peri/seorang sudra menangkar matahari
di situ. Dan membuat gelombang di dalam gelora jiwa
Siapa berani mengarung? Dengan jukung kloping berbidak kekasang
lafadzkan ajianmu yang mampu menggetarkan akar akar
yang tertanam sangat dalam di tanah+di langit
oi, siapa menyembunyikan diri di sebatang ilalang. Seperti pohon besar
seperti hutan yang lebat. Sisa jalan air di sungai
Batu batu pualam yang tiba tiba berubah menjadi akik
Pusaka yang disakralkan. Bertata laku + sesembahan
untuk mengabdi
Seorang perempuan yang memuliakan sampah
dan meletakkan di dalam sastra
Aksara yang indah
Olah sebagai sukma
O, aku tidak menemukan panas dan mataangin
dalam api unggun perkemahan ini!
Kaukah, kupukupu biru. Di teratai biru. Terlindung
langit biru. Seorang ibu bagi sebuah matahari
yang terbit di ufuk
Menera cahaya
Menyuling embun
Dan melahirkan seorang anak (laki/perempuan)
untuk memeta arah pulang!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 15
(Oka Rusmini)
Menara gading atau kotak pandora adalah titian angin. Rasa ada yang
membawa ke dalam ketiadaan. Rasa aku yang membentuk sebuah gunung
yang gampang hancur, walau hanya sekedar tiupan angin
dari hembusan nafas
Di mana kau berdiri, o penari! Kalangan penuh api. Juga limpahan bah
Ngigelah seperti biasa. Menari untuk disajikan pada bumi
Juga untuk seorang lelaki yang akan meminang
Lelaki rembulan bersayap bungabunga
Lelaki, katamu. Rasa tanah yang akan menyuburkan lautan aksara
yang tumbuh di jiwa
Menarilah. Anakanak telah mulai menabuh gamelan
sebelum cahaya bulan tenggelam
-Gerakan tanganmu seperti mendayung ombak di riak gelisahmu-
Kubuat telaga berair darah seperti darah bapak yang mengalir
memenuhi hidupku, katamu. Darah biru. Kasta Brahmanakah?
Tapi bukan kasta ini yang akan melahirkan anakanak
selanjutnya. Rahim purbani. Dan tembuni yang tetap
di jaga oleh pandan berduri
Nujum gurat tangan: Fatamorgana yang selalu tertulis
seperti bayang bayang dari keinginan
-Berjalan di jalan layang tanpa tiang pancang
goyah walau hanya sekedar desiran angin-
Katakata yang penuh birahi. Menulis cerita yang ditinggalkan
orangorang temtang angin yang memuai dalam dingin
Lahir serumpun ilalang. Kupukupu lahir tiri
Bunga perdu. Bunga bangkai. Bungabunga yang mengering dan
runtuh karena menua
Di mana kau kuburkan cahaya yang meleleh dari gerhana
menyelinap di sela mendung
Malam ini betapa sunyi, gelisahmu membakar
dingin yang ngungun!
Sepasang kupukupu bercinta: Tumbuhkan taman taman dengan
bungabunga. Kemarau. Pohon yang daun daunnya
menelan panas matahari!
Mengapa rembulan tersibak dalam air tempayan. Pohonan yang tumbuh
di situ berakar sungsang. Menukik ke awang awang
Apakah kupukupu terperangkap?
Aku ingin melahirkan anak yang menyenangi boneka, katamu
merangkai bunga untuk vas di hari ulang tahun
sepanjang usia. Tapi dariku lahir anak yang hidup
dari sebuah persabungan ayam
Seorang petajen yang mempertarungkan ibu kandungnya
dalam perjudian ini
Aku, seekor burung yang terluka di bahagian sayapnya
Merpati yang tersapih dari kawanannya
Ke mana jalan pulang. Jejak yang ditanggalkan di langit terhapus
oleh deru angin. Rasi tak terbaca di siang hari
Apa yang bergemuruh di dada? Gelisah!
Tak juga menemukan jalan pulang dalam peta dan mataangin
sampai airmata membasahi keriput pipimu dan mengering
dalam usapan telapak tangan
yang lebam membiru!
Aku telah membiarkan kastaku membusuk di situ, katamu
Apa yang diwariskan leluhur. Lebur dalam silsilah. Tapi kau tetap
belajar menari. Tarian bumi. Mengambang seperti udara
terasa dalam nafas. Dan wujud yang ditafsirkan sebagai
perempuan . Burung penyamun yang terjebak
dalam cairan madu. Berubah jadi kupukupukah? Terjerembab
di pematang sawah. Berubah jadi sapikah?
Meluku + menanam serumpun padi.
Tapi mengapa gerakan dari tubuhmu mengubah aliran subak
ke dalam peluhmu. Mengering di setiap genggaman.
Akulah penari. Tarian api. Tergagap. Kalangan luas
Rembulan menjadi penerang. Siasia kuciduk
dirimu dalam penculikan ini
Tanpa sayap kau terbang. Menggerakkan tangan bapak
yang tergolek
Menjabat kasta: Brahmana. Ksatria. Wesya
dan aku menjadi sudra dari tanah
kelahiran yang jauh
Terbang yang tidak tinggi. Setinggi jangkauan harum
bungabunga. Seperti melata
mencintai tanah muasal!
Sepetak taman
Jalan setapak
Arah penunjuk yang limbung
Gersang. Kehilangan rembulan
Kehilangan bintang bintang
Bimasakti yang sangsai!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 16
(Ida Bagus Gde Parwita)
Pematung purnama di sebuah hutan dingin. Peracik parampusaka dari dedaunan
hutan sunyi. Penuntun hening untuk pejalan yang hendak tersesat
Dan senja yang tertatah di situ dipenuhi burungburung berebut hangat
dari gigil dingin yang muncul pada bungabunga yang kuncup
Purnama terjerembab di pekarangan. Luka cahayanya!
Kau tandai juga malam yang terlunta pada perjalanan ini
Bertukar angin yang mengalir jauh ke dalam hatimu
Menggali mataair: Mengapa sungai ini mengering dalam tubuhmu
dan menghanyutkan jukungjukung ilalang jauh ke hulu
Dermaga di jaga gerhana Hutan dan sungai tak mampu menjaga+menampung
tadahan hujan
Diamlah dalam kidunganmu yang menyebar ke desa rantauan
“Aku menyemai airmata di sebuah hutan bungabunga
Siapa mengenalimu sebagai petani!”
Laron menetas dari hujan malam hari. Dan kunangkunang
muncul dari panas genggamanmu. Di luar, gelap di bagi
oleh udara dingin dan muaian embun
Kerlip siapa berubah menjadi suar. Menuju titian air
Mengantar pulang. Rumah ilalang di jaga purnama:
“Aku telah menyuling malam dengan nyala yang sederhana!”
Pada setiap jejak yang mencair akan tumbuh hutan sunyi. Pengelana
Pelintasan diperjelas oleh rambahan dan tanda panah. Mata angin
mengarah ke mana. Tempat mabuk kupukupu: Mabuk waktu
Membendung tumpahan mata air dan tetesan airmata. Subak
Kau petanikah? Lukuan sawah menanam peluh petani dan lenguh sapi
di telapak tangan membentang. Sepasang sapi, kau ajari membajak
sekuntum bunga
Dan pematung purnama itu memahat dirinya sebagai sunyi
Berperahu purnama menandai lautan. Menyeruak di teguh
gelombang. Kau tandai juga sebuah telaga
berjukung ilalang mendayung sepanjang jaman
dan usia takpernah menua. Abadi seperti kasih
yang ditinggalkan oleh senja bergerimis
dalam ingatan yang takpernah melukai masa silam!
Oi, pahatlah sebuah hutan sunyi dari malam bergerhana
taman temaram sinar itu menerangi anacaraka. Tatahan biru lontar
pusaka. Pengrupak wingit. Arca sesembahan
Wahana yang diwujudkan
Purnama penuh bungabunga. Aroma pudak
Taman bagi peternak sunyi
Kupukupu madu. Dan datanglah burungburung yang diternakkan cakrawala
memasuki petang. Berumah di ranting
menumpahkan lelah kepada dingin
dan malam. Di pohon ukiranmu. Di hutan kalbu
Sungai ini berhulu di mana? Di masa silam! Di denyut jantung!
Di sunyi gelisah!
Penyembuh luka purnama, luka yang mengangakan sinar
tak lebih terang dari kerlip kunangkunang. Juga tak lebih gelap dari pekat malam
Luka yang diwariskan oleh detak ke detak jam yang tanpa sadar
menjauhkan diri dari masa lalu
yang tak pernah berlalu dari ingatan
Seperti jalan yang dilebarkan oleh jejak ke jejak: Di mana tanda
dipancangkan. Tempat yang kau tandai sebagai kemah
yang abadi. Mengenali Tihingan. Desa di kaki gunungkah?
Atau desa sepanjang sungai
Mengalir ke dalam diri
Bermuara ke dalam kenangan!
Ada suara gamelan yang tertabuh di tanah moyang
Partitur angin. Resonansi air. Takikan logam. Berbentuk bumi
Siapa penabuhnya? Niaga tanpa tangan
Siapa penarinya? Penari tanpa tangan
Meliuk dan menggetarkan cakrawala. Hingga sunyi itu kembali
menjadi milik desa. Rumah tua yang menampung
Kenangan+bayangan+jejak yang ditinggalkan sebagai masa silam
Pemahat purnama. Cahaya itu kau reliefkan pada sebidang lukisan tua
ketika hari ulang tahunmu. Rayakan sebgai sunyi
Perayaan kupukupu kepada rangkaian bunga
Penjamuan bungabunga
Angin berbagi dengan kesendirianmu!
Di sebuah pelabuhan: Jukung kloping memuati rembulan
Membentuk mataangin
Bagi kelasi: Petakan jalan pulang!
Jalan mana mengarah ke desa, tempat di mana
kugali hening dan mengulurinya
pada lekedalaman raupan.
Meditasi setetes air: Sebeku apa hatimu, akan
melebur di tempat paling panas dari dingin
sanubari!
Tempat kupukupu terlahir
dan memunculkan sebuah hutan,
taman bunga dan belukar
Bagi perambah sunyi.
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 17
(Warih Wisatsana)
Lelaki setengah baya menunggu petang di bibir pantai
Semburat cahaya matahari pecah di daundaun yang digugurkan
oleh pohon yang mulai punggur
Bukan karena kemarau tapi oleh usia yang mulai menua
yang tak bisa di tunda. Bisakah detak ke detak
jam bergerak mundur
tanpa harus mengubankan rambutmu
Dengan suara parau, bagaimana bisa kutembangkan nyanyian ini
seperti merdu dengung kupukuou. Kesiur sunari pada gesekan angin
mencair ke sawah garapanmu
dalam hati. Nyanyian untuk menunggu petang
Menunggu matahari sempurna menenggelamkan diri, hingga bayangan
ilalang mencair ke dalam gelap
: Mengapa pohonpohon berair di telapak tanganku mengering, katamu
Batu batu berubah menjadi kekasih
seperti bulan mengambang di udara. Di mana ruang untuk berkaca
menggambar wajah. Wajah topeng
Kusam digrogoti waktu. Masa silam
Masa yang merelief setia kupukupu untuk mencintai bungabunga!
Menunggu. Selalu menunggu! Lelaki itu mencintai ombak. Tapi aku
tak sanggup menyeberangi lautan yang terbentang di kalbumu
Jukung karam dalam darah. Ke mana arah tanda panah
menunjuk dermaga. Memuai karena penggaraman.
Burungburung di langit menunjukkan jalan kembali
Dan berlabuhlah
Pada cinta yang tulus itu!
Pohon pohon besar tanpa akar. Tangan yang terlalu lembut
untuk mencengkeram cakrawala
Hasrat yang dalam. Hanya mampu kugali dirimu
sedalam sengau. Sedalam katakata!
Aku budak terlahir dari seberang sana. Menggembalai gerhana. Beternak
dan berladang dalam tegalan anacaraka
Menangkap bersit cahaya yang berkilau di ujung ilalang
Juga kupukupu. Taman yang kusiangi setiap hari, maka bungabunga
menandainya. Siapa mengiris warnanya
setipis bianglala? Kutimang kau sebagai purnama
Menari. Menarilah untuk menyimpan gelisah dari burungburung.
Burung rantauan yang menemani setiap petang
pada sunyi percintaan ini!
Mencintai hembusan angin. Seringan apa kutera angin?
Setipis katakata atau seberat jejakkah kubenamkan dikedalaman hatimu?
Sambil menunggu purnama, kau menembang tentang ikan ikan
yang mengelana dalam telaga hatimu
Tak berkawan. Tak bersayap menyelinap di antara lekuk gelombang
Dan seperti nelayan
Kau menangkapnya dengan raupan tangan
Sajadah ini panjangnya selantang ucapan. Hembusan udara
beraksara. Dzikir
Selalu saja tak selesai kunikmati
Seperti pohon pohon yang menumbuh dalam kalbu
dipenuhi burung burung yang kembali menyempurnakan petang
Rindu: Asal diri yang abadi di bait puisi
Kampung halaman: Adalah bentangan biru cakrawala
dan rembulan yang tersangkut di bayangan ilalang!
Berjalan tertuntun ke wilayah yang kau tandai dengan petang
Pesisir bernyanyi. Kelindan nyiur di liuk desiran angin
Di mana berkemah. Mendirikan kiblat
Arah mempertemukan aku dengan ifrit di setiap jejak kata
Ibadah seperti bunga
Tanah yang membiru: Jejakan laku. Titian cahaya
Lembayung yang tenggelam dalam raupan tangan itu!
-Aku telah menangkar gerhana di kedalaman genggamanku,
katamu sengau. Sambil menempuh jalan yang lindap
menuju kampung halaman
Berladang dalam kata. Lukuan jiwani. Berladang dalam
terang rembulan
Berladang di sebidang cahaya: Menyuluh diri!
Burung burung bermata sebening kilau mata kupukupu
Siapa menyuling madu dari warna dan aroma kembang
menjadikan buah yang ranum
dan membenihkan kemudian!
Maka kelelawar mencecapnya dengan nikmat
Seindah kasih Illahi, dzikirmu
Lelaki penunggu petang. Memuliakan ibu seperti
Seteguh batu Diam ibadah!
Tasbih dari permata seindah kilau mata ikan
: Sedalam apa sungai itu mengalir dari lubuk hati
Sebening apa sinar matahari tertera di hati
yang kacau
Kekasih! Kekasih! Aku telah gila akan kata
yang menjadi nasib masa depan
Majenun yang menanam serumpun padi
di ladang sajak
Kekasih! Menulislan di wingit katakata yang
dicintai:”Bungabunga akankah kehilangan
warna dalam gulana jiwani
mengelana!”
Aku merambah hutan anacaraka!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 18
(Wayan Ledang)
-Nyalakan dupa 11 batang, agar seluruh penjuru terjaga terangnya-
Agar jelas merajah sinar rembulan di telapak tangan
Agar tak lebih gelap raut tubuhnya dari warna bayangannya.
Dan, aku memandang sebatang pohon, penuh rumah kupukupu
dengan setetes madu.
Lelaki itu. Setengah baya. Berlayar di pusingan mataangin. Ke arah
utara. Ke arah yang menandai hujan
Berlayar menuju hutan. Bulan demi bulan lamanya
hingga sampai pada ulakan yang menampung setetes airmata!
Di desa, di mana orangorang menjadi pengrajin bulan:”Apakah melati
pernah mengingkari baunya yang harum?”
Kau, memintal sunyi luka
Kupukupu berdatangan salingsilang dengan janji masing masing
Di langit masih ada warna kabut tipis mengiris kilau cahaya matahari
Burung kecil itu bernama manyar ataukah pipit
Mencari janjinya di setiap rumpun padi. Mencari Dewi Sri
dan tetesan peluh petani
Sepetak sawah bernama rimba jasmani rokhani: Aku belajar
mengendalikan gelisah diri mengela lenguh sapi yang membajak mataair
yang menetes dari luka subak.
Dan, aku menemukan
seseorang teman yang lahir dari percintaan bulan. Berternak bulan
Di Pejeng atau sebuah desa yang berumur panjang
sepanjang silsilah sanakkadang!
Dan aku taktahu, kau lahir dari rahim mana?
(Di antaranya bulan mengambang di sela dua kabut kembar)
Dari sekuntum bungakah? (Sebelum petang mengubur diri
dari semburat di kaki langit, masih ada sebatang ilalang
menenggelamkan bayangannya di sebalik cahaya matahari
yang memerah) Dari seorang perempuan yang menera
panas matahari di telapak tangannya.
Dan lahirmu, menerka mataamgin dan berpusing di tubuh
yang mengandung bimasakti; Aku debu yang menebal
di peluh moyang dan merelief sepanjang jalan hidup
Nasib yang kupinang. Nasib yang kuternakkan
Menggelandang di luas tegalan.
Kupukupu terbang menangkar janjinya pada sekuntum bunga:
Aku serbukkan intisari bumi menjadi buah ranum
(Tak kuingkari seekor kelelawar mencecapnya
jauh di tengah malam. Tak ada rasa bersalah)
Penyulingan ini sempurna karena cinta yang tulus
Ibadah alam. Sujud senyap
Hingga pohon tumbuh subur di relung kalbu yang gembur
Berakar ke dalam suluk sanubari
Membiakkan matahari: Berbuah matahati!
Melepas hari ke hari seperti mengiris pandan harum
Sampai menjelang malam. Siapa memungut dingin yang
mencair dari bulir embun yang menggelayut di setiap daun
yang teduh menampung temaram bulan: Kaukah?
Lelaki setengah baya. Mengubur jizim kupukupu
dalam harum bunga
Sedalam kembang setaman
Aku takkan pernah lupa akan mataangin yang menunjukku arah
pulang. Jalan setapak penuh kilau kunang kunang. Jalan yang karam
di sepanjang dingin halimun
Aku mencarimu menjadi tujuan
sebagai tatapan/pandangan yang ikhlas. Aku mencintaimu
merasai sunyi dari derit angin
juga senyap batubatu yang menghalau arus sungai
menjadi riak dalam sayup kidunganmu
Di mana kupukupu akan mencari suaka, jika bungabunga
melunturkan warna di musim kemarau ini?
Lelaki itu terpukau. Pohon jati di halaman belakang menjadi
margasatwa bagi sekawanan burung
Lebah madu membuat kungkungan. Beranak pinak
dalam debaran jantung
“Aku mencari janjiku yang terlunta di kedalaman airmata
di lekuk terumbu. Lautan. Di kedalaman nurani!”
katamu, sambil merenggangkan tangan menangkap
iusan panas yang memuai dari tetesan embun
dan fajar
Di desa bulan Bayangan pohon berkelebat dalam remang
dan gemercik angin. Adakah kau menggambar
senyap itu:”Ini sungai yang kutemukan di arus
yang menggelegak di darah
Arus menenggelamkan bekuan cahaya itu. Ini dengan kutangkar
dari panas menyekatku. Aku tak berani menanam cahaya
yang membias di kelapangan hatimu!”
Di desa penuh bulan. Nyalakan dupa 11 batang,
agar aku temukan, seorang yang membeli seekor kupukupu
dan dari hatinya kicauan burung
takhenti henti membiaskan warna
bunga. Menjadi taman penuh matahati!
Seorang menanam rembulan!
Dan seketika, rembulan tenggelam di telapak tanganmu!
SILATURRAHMI KUPUKUPU- 19
(Hartanto Yudo Prasetyo)
Kupukupu membungkus diri dalam tubuhmu dan bernafas dari detak jantungmu
seperti sebuah taman menumbuhkan kuntum kuntum bunga
jadi suaka yang indah bagi pejalan yang mabuk
membaca tanda dalam mataangin
“Mengapa memabukkan membaca tanda di jalan yang lurus?”
Jalan setapak yang terbentuk jejak jejak sunyi. Akan terlihat jelas
di setiap pemcarian, seperti menulis hujan
dalam tebal mendung. Adakah cintamu meneteskan airmata
menjadi ulakan yang dalam
mengalirlah ke detak jantungku!
Mengapa di telapak tanganmu tumbuh taman?
Dan kupukupu menyerbukkan bunga kupukupu: Menjadi apa?
Madu yang mencair. Atau menjadi sungai yang membentuk
muara di dalam hidupmu
Atau sebuah telaga yang penuh bianglala memperjelas sepetak taman
Lalu kau menjadi apa? Pematung katakata. Penatah anacaraka
Dan kupahat pematang di relung jiwamu
(Sebuah Liturgi yang melafadzkan tentang penyaliban nasib:
Burungburung mengerami telur paskah
Lahirlah Bimasakti)
Semacam penyair? Penggurat kata di telempap tangan
Penujum kata. Mantram. Sihir jiwa.
Kata berwarna darah kembar: Merah dan putih
(Sebuah amsal tentang biru cakrawala
Memuati tanpa batas ketinggian
di mana kupukupu berlindung pada warna bunga
dari sebuah taman yang dikasihi
Sebuah amsal tentang sajak yang tertangkar dalam sanubari
Lahirlah jiwa)
Seorang penarikah? Temaram rembulan membakar kalangan
Tetabuhan menempa ngigelmu. Gerak lambat menapak pertiwi
Kutarikan sebuah topeng yang terpahat dari bahan
kulit bumi. Kelupasan hatimu. Topeng dengan wajah tua
Dengan peluh garam mengasini semesta
Lahirlah cinta yang dalam!
Siapa terbang bersama kupukupu, tidak lebih tinggi dari aroma bunga
tidak sejauh nektar taman yang kau cintai
sambil kau membaca tentang orang orang yang hilang
di ceruk katakata Serupa lembah
yang lebih dalam dari jurang
securam hatiku.
Kau menanam pohonpohon madu dan cara mengingkari tanpa
ada rasa bersalah. Menyuling susu lembu yang lenguhnya
meluku nektar tanah. Sawah!
Aku semai jasmani rokhaniku di situ
Tumbuhlah janji. Aku ternakkan jiwaku di sana
Terkembanglah cahaya: Di sebuah pulau. Aku berkemah di situ
Mengenali malam. Memahami siang. Mencintai mataamgin
Selalu ditandai oleh terbang rendah burungburung
dan lindap di pohon yang tak pernah menjanjikan dingin
kepada siapa saja
yang menggambar malam.
Tumbuhlah janji untuk menera cinta bagi kupukupu
kepada bunga: Warna yang elok itu selalu memeram madu
yang memabukkan
Kepada hatimu yang tulus; serupa gumpalan mendung tandai
hujan untuk curah pada jejak yang tertanam dari perjalanan
Bulan mengambang rendah di kaki langit
Masih ada rerumputan menahan bukit yang akan longsor
ke dalam hatiku
Siapa tersamak dikedalaman perasan warna kembang?
Rembulan. Rembulan. Rembulan
Rimbunan kalbu. Hutan rindu.
Kutangkar matahari yang berkembangbiak di setiap mahkota bunga
katamu. Dan kupukupu menyerbukinya sebagai bakal buah
dan kelak kau sajikan untuk perjamuan
(Cinta kepada perambah yang selalu menandai
jejakmu yang tanda anak panah yang mengarah ke jantungmu)
Kudera jukung ke dalam dayungmu, tekadmu
Dan kelak, setiap dermaga melabuhkan
kerinduan yang terlunta lunta
menempuh arus! Arus sebagai gejolak hati!
Kuluku bimasakti, suara yang keluar dari keciprat air menjadi
partitur air. Bernyanyilah
Dan mabuk pada setiap irama
Lagu yang tak pernah selesai selesai dinyanyikan, seperti detak
waktu. Dentang jam ke jam
Lagu yang serupa layar terkembang di kedalaman sanubarimu
yang tulus menerima, niatmu
Dan abadi pada setiap irama!
Lelaki yang menua karena waktu ditandai oleh burung
dengan tanda tapak dara di paruhnya
Terbang melintasi pematang
Tegalan jasmani rokhani penuh kata yang berserak
bersama lenguh sapi dan airmata Dewi Sri
Maka di mana kau tanam jiwa
agar Pertiwi menumbuhkan!
Menyeberangi sungai
semacam aliran darah yang gemercik
sepanjang telapak tangan. Menjadi telaga penuh janji
dan sumpah serapah
Tenggaklah. Secawan madu yang memabukkan
Kalbu yang merindu!
Burung dan kabut. Lelaki dan kupukupu. Taman dan udara
yang menebal di warna bunga
Berapa taranya dengan keinginan itu
(Kau menimang berat angin yang berdesir di telapak tangan
hingga darah mengucur
menyubur semak+onak dan belatung)
Lelaki yang menua. Seorang bangsawan dari kasta sudra
Terpajang di dinding: warna daru sekeliling!
Berkemah di sebuah istana atau gubuk
Menyisir mataamgin, hingga jalan pulang
Saling menyilang!
Seorang yang sudah tua menjadi kanakkanak
masih juga meramu parampusaka
sambil menetek dari puting perempuan: Seorang ibu
yang melahirkan semesta!
Seekor kupukupu mengentalkan perasan madu
di ceruk paruhnya dan menjadikan bunga
lebih semerbak
Taman yang selalu melelhkan malam ke dalam
tetes ke tetes embun
Berata taranya dengan keindahan ini
semacam senyawa siangmalam
Berganti tanpa kerlip kunangkunang
(Pemintal kata belajar menari
Bagaimana ngigel tanpa merusak kalangan
Tempat untuk sebuah peperangan
Kemenangan untuk membunuh diri sendiri)
Penari katakata
Tanda itu membawamu untuk tidak tersesat
Dan berkemahlah dalam ladang anacaraka
Meluku diri
Tidak siapasiapa
Untuk tidak bertanya akan ada
Bagi seorang ibu yang melahirkan!
SILATURRAHMI KUPUKUPU – 20
(Umbu Wulang Landu Paranggi, alm)
Adalah burungburung kecil menambat angin di setiap dahan. Adalah
kupukupu kuning menangkar madu di setiap kuntum bunga
Adalah dirimu mencangkul cangkul semesta
dalam jiwa kecil yang dalam
Dan pertiwi menjadikan setangkai padi menguning!
Di lahan mana menanam pohon lontar agar perasan getahnya
tidak memabukkan. Di lahan puisi? Di lahan puisi sudah
didirikan istal, maka mengembaralah
jauh ke dalam diri. Membajak bajak sajak kecil seluas bimasakti
di darah telapak tangan
yang mengapal. Mengeras sekeras sanubari
Sanubari sunyi.
Di daerah yang terbiasa dengan panas kemarau, ada lautan melati
di tengah sabana. Lelaki pemahat akar bahar
Akulah gembala kata: Aksara bumi
bagi anakanak yang menggembalakan dirinya di hampar ilalang
agar tak terlunta
tersesat dalam diri sendiri!
Harum ilalang + hutan kupukupu masih terkenang di kedalaman derap kuda
amis darah yang menganak sungai di tanah kering
yang kembar menerima cahaya: Panas menyilaukan
Dingin menyengat
Burungburung menyiangi rembulan yang redup di sebuah halaman.
Aku tarikan sebuah kata: Pengembaraan! Katakata yang membangun
hutan jasmani rokhani. Sukmawi kata adalah kemah
untuk bertumbuh. Memahat katakata untuk menumbuhkan
tempat terindah bagi bungabunga
di sebuah taman kupukupu: Pemahat kata ataukah penujum
aksara. Kadang, di sebuah taman, pohonpohon tumbuh
tanpa kambium
Pohonpohon yang tidak lebih tinggi dari ketinggian desing
puting beliung
Pohon yang memberi batas untuk wilayah luas seluas nurani
seluas bimasakti
Di sana seekor kupukupu mengeraminya.
Maka lahir sajak! Serupa lautan melati. Teduh dan hening
Ada selantang jalan setapak penuh jejak
Jerajak dan bayang diri
Tanda api. Suar sunyi yang memencar di langit
terbaca sebagai rasi: Mengembaralah!
Maka, tanah yang ditinggalkan telah menjadi istal
Ringkik yang sampai sampai
Seekor kuda hutan liar tunggangan sanakkadang
Leluhur yang rindu menyemai di tegalan yang basah oleh peluh
Aku tanam jiwaku
Aksara tanah. Udara tanah
Di pengembaraan sukma: Maka lahir sajak!
Di selantang langkah, lelaki itu menari menunggu petang di setiap detak
jam. Dalam agem tarian itulah ruh pengembaraan
Seperti pohon yang selalu tahan memeram panas dan dingin
Takakan menjadi punggur
Dan burungburung menandainya sebagai sarang jika senja
menjelang dan saling silang di antara dahan
:”Aku bercengkrama tentang indahnya terracota sawah di lubuk hatinya
Juga desir angin memghalau sunyi dan sunari memainkannya
Pesona bergelayut di ranting padi
Mematuk peluh petani dan orangorang sawah
memandang dengan tatapan yang asing
Paruhku menerima hasrat alam
Maka lahir sajak!”
Lautan melati di tengah sabana. Rembulan berwarna tembaga
menjelang gerhana mengambang di sela malam
dengan angin yang melewati dingin
melewati sanubari: Mengembara jauh ke ceruk kalbu
Lelaki itu berkendara kuda. Menunggangi keliaran hutan tropis
Membentuk pasola. Larilah sekencang mait
Kuda itu berkasta apa?
Berkelindan di dalam semak sajaksajak
stepa dengan pohon lontar. Mabuklah!
Dan asam cuka yang kita tenggak
Ini perjamuan kesekian di malam ini. Mabuk puisilah!
(Hingga siapa menjadi ibu hari ini. Melengkapi malam dengan rembulan
Melahirkan segumpal sajak dengan seamis tembuni
dan lebur dilarunglan ke laut
Siapa menjadi anakanak. Dan menaki naki segumpal sajak
dengan tetesan susu dari payudara
yang tersembul dari bumi. Cecaplah madu Illahi!
Siapa menjadi perjaka? lajang seumur hidup, hingga
usia membunuh waktu pelan pelan
Seorang perempuan menunggi untuk menjadi istri
menunggu untuk menjadi mataangin
memberi anak panah untuk arah pulang; Mendayung takakan
berhenti karena gejolak laut
Pulau yang tertera di hati
Berkemah di gubuk ilalang
Pohonpohon stepa penyimpan labirin!)
Aku melihat kida membaca tanda dari gesekan rumput rumput
sambil memamah debar jantungmu yang meluntur
di antara terik. Berpelana dan dengan tombak di tangan
hujam tanah bajakan
untuk menera cahaya matahari
dan menan sunyi di setiap jeda perjalanan
jauh ke barat, untuk menjemput agar tidak terbenam
seperti petang
di sepanjang usiamu.
Lautan melati. Kaukah harumnya! Di antara anacaraka
Lahir ratusan kupukuou
Ada yang sampai ke matahari
Pun menggelepar di manis madu
Juga terkubur pada galian dangkal
Dan tak ada yang merasa menang ataupun kalah
Kau menjadikan simpul temali yang kokoh
(Kau dengan siapa berbagi kata!)
Di rumah tanpa atap dan tak bocor di tempa hujan
Maka lahir sajak: Di dalam rumah ada sungai mengalir
melaju jukung tanpa layar dan kupukupu tanpa sayap
berwarna, terkayuh dan terdekam dalam darah
Didalamnya aku menulis tentang rindu kampung halaman
Tentang lombok hijau yang pedas. Seekor ulat bulu
mengerang dalam terik sabana
Debur laut dengan penyu hijau tanpa cangkang
mengeja jejak nenek moyang
dan mata kail yang tersangkut di sulur akar bahar
Tentang seekor kuda hutan liar akan kembali
ke istal
Menjadi tunggangan yang jinak
Memuati rindu sanakkadang
Memuati diri sendiri:
“Kutulis dengan hening
Ruang sunyi
Ruang kudus
Semesta sunyi
Semesta kudus
Isa
Isa
Kristus
Kristus
Illlahi, jadikanlah kudus dalam ziarahku!”
———-
Celuk, Sukawati 2004 – 2005
Singapadu, Juni 2014
Sipta Umadika Juni, 2021.
Silaturrahmi kupukupu
20 sajak kenangan. Aku tulis dengan ketulusan persahabatan
Jika terjadi kekhilafan: Maafkanlah dengan tulus!