Kata wayang berasal dari kata bayang atau bayangan (Simpen, 1974:1). Sesuai dengan kenyataan bahwa dalam pertunjukan wayang kulit, Ki Dalang yaitu orang yang memainkan wayang ada di balik layar yang disebut kelir diterangi dengan sejenis pelita disebut belencong. Bayangan yang ditimbulkan dapat dilihat oleh penonton dari depan kelir sehingga pertunjukan ini disebut wayang. Namun, beberapa ahli menyebutkan bahwa wayang sama dengan bayang, karena lahir dari pertunjukan bayang-bayang suatu benda. Bayang-bayang tersebut secara simbolik dan kepercayaan merupakan personifikasi bayangan roh nenek moyang (leluhur: Hyang) yang turun ke dunia.
Wayang sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali munculnya. Menurut Dr.G.A. J Hazeu yang didukung oleh Brandes, Wayang berasal dari Jawa bukan dari Hindu. Wayang sudah ada sebelum pengaruh Hindu/Budha dan merupakan kebudayaan asli Indonesia yang timbul sejak jaman Neolithik lebih kurang tahun 1500 SM (Sri Mulyono dalam Wardana, 2003:7). Setelah kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Hindu kira-kira abad ke-5 Masehi, maka terjadilah alkulturasi kebudayaan antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru yang dibawa oleh agama Hindu. Seni pewayangan mendapat pengaruh lebih luas terutama pada bentuk dan tema ceritanya. Bentuk wayang mulanya sederhana, menjadi lebih sempurna. Demikian temanya mengambil ceritera epos agama Hindu Mahabharata dan Ramayana.
Pendapat Dr.W.H. Rassers, dalam bukunya yang berjudul, Over den Orsprong van Het Javaansche Tooneel (1931), menyatakan bahwa asal dan fungsi pertunjukan wayang tidak bisa hanya dilihat dari segi filologi, tetapi harus dilihat dari segi seni drama pemain wayang itu sendiri. Rassers mengatakan bahwa di India sejak abad ke III telah ada pertunjukan wayang yang mirip sekali dengan di Jawa. oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa pertunjukan wayang di Jawa berasar dari jaman Hindu Jawa. Menurut Rassers ada unsur kesengajaan secara tradisional dan stationatis untuk menempatkan unsur-unsur falsafah dan faham kejawaan dalam cerita Mahabaratha, sehingga seolah-olah apa yang terjadi dalam pewayangan itu adalah asli Jawa atau Indonesia. Ada tiga hal pokok yang diulas pada bukunya adalah asal mula wayang, peranan kelir, dan kayonan/gunungan (Sri Mulyono dalam Saramasara, 2000: 11).
Prof. G. Schlegel dalam bukunya yang berjudul Chineesche Brauche Und Spiele in Europa, mengemukakan bahwa di Cina dikenal ada pertunjukan bayang-bayang yang diketemukan sejak pemerintahan kaisar Wu dari dinasti Han. Asal mula pertunjukan wayang ini adalah kaisar Wu sangat bersedih karena istrinya yang paling dicintainya meninggal. Pada saat itu datanglah seseorang yang mengatakan dirinya bisa memanggil bayang-bayang istrinya itu dengan cara membentangkan tabir, kemudian dibelakangnya dinyalakan sejumlah lampu, tiba-tiba sang kaisar melihat bayang-bayang istrinya muncul pada tabir tersebut. Tidak mungkin pertunjukan bayang-bayang ini berkembang ke Jawa karena istilah-istilah teknis seperti yang dikatakan Brandes sangat berbeda, serta masa kemunculannyapun baru tahun 140-86 SM. Ditemukan istilah “ringgit” dalam beberapa prasasti tembaga di Indonesia baik di Jawa maupun Bali, yang sampai saat ini masih digunakan sebagai sinonim istilah wayang. Maka Dr. Brandes dan Dr. Van Der Tuuk berkesimpulan bahwa pertunjukan wayang di Jawa dan Bali sudah cukup tua umurnya (Sri Mulyono dalam Saramasara, 2000: 10).
Di Bali pertunjukan wayang kulit telah dikenal pada tahun 818 (896 M) yaitu pada waktu pemerintahan Raja Ugrasena (Simpen, 1974:3). Hal itu dapat dibuktikan seperti yang disebutkan dalam prasasti Bali oleh Dr. Goris, turunan prasasti Bebetin M. 55 II b, isinya antara lain: pande mas, pande besi, pande tembaga, pamukul (juru tabuh bunyi-bunyian), pagending (biduan), pabunjing (penari), papadaha (juru gupek), pabangsi (juru rebab), partapukan (topeng), parbwayang (wayang).
Dalam kitab Epigraphia Balica I door Van Colanfels, Bali Musium No. 80/V, turunan prasasti Gurun Pai Desa Pandak Bandung (Simpen, 1974: 3) tersebut seperti ini: yan amukul (juru tabuh), anuling (seruling), atapuken (tapel), abawol (babanyolan), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgit (wayang). Prasasti dibuat pada masa pemerintahan Anak Wungsu di Bali tahun Caka 993 atau dari tahun 1045-1071 Masehi. Di dalam Kitab Kekawin Arjuna Wiwaha (1036 M) jaman Erlangga Kahuripan Jawa Timur kita mendapat keterangan lebih jelas, bahwa yang dimaksud dengan kata ringgit adalah wayang kulit. Di dalam nyanyian V bait ke 9 kita temukan kalimat:
“Hana nonton ringgit menangis asekal muda hidepan, huwus wruh towin yan walulang inukir malah angucap”
Terjemahan:
“ada orang melihat ringgit, ia menangis dan merasa susah, itu bodoh jikalau dipikir, bukankah itu sudah tahu juga., bahwa yang bergerak dan berbicara itu hanya wayang kulit yang diukir (Padmopuspito, dalam Wardana, 2003: 3).
Berdasarkan data-data di atas ternyata wayang kulit sebagai sebuah seni pertunjukan telah dikenal sejak lama di Bali. Tentang bentuk wayang kulit yang ada sekarang ini terutama yang pagelarannya masih bertema klasik yakni Ramayana dan Mahabharata tidak mengalami perubahan bentuk yang berarti. Proto tipe wayang kulit Bali kita dapati pada petirtaan Jalantula berupa relief yang dipahat pada batu dari masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Bentuk yang sama kita dapati juga pada relief candi Jago tahun 1268 M, Candi Penataran tahun 1369 M, Candi Surawan dan Candi Tegalwangi tahun 1371. Pada relief Candi Penataran para punakawannya tidak jauh berbeda dengan punakawan pada wayang kulit Bali seperti: Tuwalen, Merdah, Delem dan Sangut.
Bentuk wayang tertua di Bali dapat ditemukan pada sebuah relief perunggu yang menggambarkan Semara-Ratih. Prasasti ini disimpan bersama dengan prasasti Anak Wungsu dari tahun 1071 M, dipergunakan untuk hiasan gantungan sebuah lontar. Selain itu, didapat pula lukisan Bhatara Guru yang ditorehkan pada prasasti Kehen yang sekarang tersimpan di Pura Kehen Bangli.
Dalam Prasasti Dawan (Klungkung) yang berangka tahun 975 Saka (1053 masehi) disebutkan sebagai berikut:
“… yan ana agending ihaji maranmak ngkana ku 2 pawehanya, agending ambaran ku 1 amukul sa 3 pawehanya ing satunan aringgit atali tali banjuran wehanya ku iri satuhun”
Artinya:
“Jika ada juru gending/penyanyi yang bermain di hadapan raja diberikan upah 2 kupang, juru tabuh gamelan diberikan 3 kupang, perkumpulan wayang dan atali-tali diberikan 1 kupang (Aryasa dalam Linggih, 2021: 11).
Prasasti Blantih yang berangka tahun 980 Saka (1058 Masehi) menyebutkan bentuk-bentuk kesenian antara lain:
“… mangkana yang ana abanwal, atapukan, aringgit, pirus, menmen, I haji maranmak ku 2 pawehanya I riya anuling ku 3, agending ambaran maranmak ku 2 pawehanya I riya…
Artinya:
“demikian kalau ada pertunjukan lawak, topeng, wayang, badut/pemain drama yang bermain dihadapan raja, mereka diberi upah 2 kupang, juru kidung/penyanyi 2 kupang, juru suling 1 kupang, juru tabuh gamelan 2 kupang (Simpen AB.1974 dalam Linggih, 2021: 11) ”.
Dari uraian prasasti-prasasti di atas, keberadaan wayang di Bali sudah ada sekitar tahun 896 masehi. Dibuktikan dengan sudah adanya pertunjukan wayang dengan kelompok yang sudah teratur dan keahlianya dalam mempertunjukan wayang. Kala itu juga sudah adanya bentuk-bentuk pertunjukan wayang serta keberadaan pemain gamelan (juru gender) dengan upah sesuai dengan profesinya.
Pada masa kerajaan Gelgel waktu pemerintahan Raja Dalem Waturenggong abad ke XV M, setelah kembali dari suatu kunjungan ke Majapahit mendapat hadiah satu gedog (peti) wayang kulit. Bentuk wayang ini kiranya tidak berbeda dengan wayang kulit Bali sekarang ini dan sama pula bentuknya seperti relief wayang yang terdapat di Pura Taman Sari Klungkung yang berasal kira-kira dari abad XVI-XVII M. Oleh karena itu, jelas kiranya bahwa bentuk wayang kulit Bali tidak banyak mengalami perubahan bentuk sejak jaman dahulu hingga sekarang.
Cerita Panji Malat Rasmin, pada jayanya pemerintahan Raja-raja Klungkung yang dimulai pada tahun 1704-1908 masehi, muncul sejumlah karya berbentuk Kidung dan Macepat (Geguritan), antara lain Anak Agung Gde Pameregan pada tahun 1810-1820 Masehi melahirkan karya-karya seperti, Geguritan Duh Ratnayu, Senepati Salya, Kidung Matutu rin Raga, Kidung Ngiket Ipian, Kidung Tetajen, Kidung Indik Daging Weda, Kidung Uwug Gianyar, Geguritan Anggastya, Tatwa Pemargin Surya, Peparikan Parwa Calonarang, Istri Sesana, dan Geguritan Boma. Sebagaian karya-karya itu menjadi lakon Wayang Kulit dan dramatari Arja yang memberi inspirasi munculnya gamelan Batel Pewayangan dan Arja (Bandem, 2013:33).
Pada Geguritan Jayaprana (belum jelas pengarangnya) memunculkan tentang istilah-istilah gamelan termasuk beberapa jenis gending yang ada pada Gender Wayang kini. Geguritan Jayaprana memuat istilah seperti, gamelan (ansambel), kukul (kentongan), pagambuhan (dramatari gambuh), wayang (wayang kulit), gelagah ketunuan (nama gending gender), preret (terompet), kendang Cina (gendrang Cina), cumangkirang (ansambel angklung), dadap, prasi, panah, cendekan, macan (berjenis-jenis tari baris upacara), kadingkling (sejenis wayang wong), solah (menari), wayang wong (dramatari dengan lakon Ramayana), jojor, jangkang, pedang (nama-nama tari baris), dan ilen-ilen (seni pagelaran) (Bandem, 2013: 34).
Di Bali, wayang sangat dihormati. Wayang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali memelihara dan mendukung kesenian Wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang hingga saat ini masih digunakan sebagai media untuk penyampaian informasi kepada masyarakat. Didalam pertunjukan wayang terdapat pesan, etika, epos, karakter, yang bisa diambil sebagai pembelajaran dalam menjalankan kehidupan. Berdasarkan waktu pertunjukannya wayang dibedakan menjadi dua, ada wayang lemah (pertunjukan wayang pada siang hari) dan wayang peteng (pertunjukan wayang pada malam hari). Ada macam-macam wayang kulit di Bali, diantaranya:
- Wayang Parwa; mengambil pokok lakon dari Mahabrarata, Sutasoma, dan lain-lain.
- Wayang Ramayana; mengambil lakon Ramayana
- Wayang Calonararang; mengambil lakon Rangda Nateng Dirah
- Wayang Cupak; mengambil lakon Cupak Gerantanf (Panji cyclus).
- Wayang Sasak; mengambil lakon Serat Menak
- Wayang Arja; merupakan pertunjukan eksperimen pada tahun 1975, dengan lakon sam dengan dramatari Arja (Panji Cyclus) (Sumandhi, 1987:87).
Sumber Referensi
- Bandem, I Made. Gamelan Bali Di atas Panggung Sejarah. Denpasar. STIKOM Bali. 2013.
- Linggih, I Nyoman. Orasi Ilmiah: Wayang Emas (Kajian Estetika Hindu). Denpasar: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Estetika Pada Fakultas Dharma Acarya Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, 2021
- Saramasara, I Gusti Ngurah. Sejarah Pewayangan I Buku Ajar. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, 2000.
- Sumandhi, I Nyoman. 1987. Pakem Wayang Parwa Bali. Yayasan Pewayangan Daerah Bali. Denpasar: Proyek Penggalian/Pemantapan Seni Budaya Klasik dan Baru.