GUGATAN BISU
Pada waktu yang sedang berhenti, dunia terasa lari menjauhi. Ada jerit yang menderit-derit Dari ngarai dada tak punya gema, mengelu-ngilukan sumbang kesepian. Adakah hati sudi melirik? Adakah mata sudi menyapa? Pada perempuan bertubuh angin, terombang-ambing mencari pulang paling mungkin. Di antara kalut kata-kata yang berliaran menyesak kepala, tak ada satu pun menyusun kalimat pengantar lega. Yang berhambur, hanya caci-benci kuasai diri, membekap teriak hati dan menggesekkan nada-nada duka.
Biarlah luka-luka kupupuk bersama malam-malam mencekam. Bersama sungai yang mengalir dari hulu mataku. Biarlah mereka terbendung, dalam kapuk-kapuk bantal yang memberat menampung deru kesedihan. Biarlah kesepian mengeratkan akarnya dalam liuk-lekuk tubuhku, agar tak ada hasrat meminta, dan tak lagi hampa terlalu menyiksa.
JEBAKAN
kulihat dirimu di tiap sore yang haru
mengadu warna dan hawa
membolak-balik halaman waktu
kala saat sendu itu, dadaku seperti dadu
yang terlempar ke arena rasa tak tentu
helai-helai rambutku mengibas-ngibas daun jendela
dan dalam pangkuan kursi beranda,
ada sepintas udara yang mengerat-endurkan bayang-bayang
aroma pengembaraan mulai menjalar
ke akar kepala paling liar
dan di kedalaman rupamu
aku mulai menelisik tiap geliat mega yang samar
adakah merah atau kuning menyatu sesuai garis?
atau semua terjadi begitu saja seperti tak kuhendaki
pengelanaan tak berujung ini?
lalu ketika jeratmu telah mengikat pikiranku
segerombol ingatan datang menggurat lagi kepedihan
mataku akan berdanau bening
mungil-mungil embun bercucuran di dahan pipi
dan pecah seperti gelas yang berdenting
ke mana kau membawaku pergi?
terdengar keras detik berbunyi
apakah sunyi sepilu ini?
MAUKAH KAU?
masih maukah Tuhan menghuni tempat
yang terendam air dan tinggal semeter tanah
untuk berdoa?
berapa lagi tanggul-tanggul raksasa
mengantri menusuk perut sungai
yang meluap merampas pintu pura di pinggir
dan menenggelamkan tempat tangan memuja?
ketulusan terbuat dari apa?
kulihat kaki-kaki berjalan menginjak semak
penuh tanah yang liat, kulihat jari-jari
menyingsing kamben menyunggi banten
kulihat doa-doa beriringan menembus
rawa dan air yang kian menerkam paha
walau tubuh tak lagi nampak lutut
walau putih kebaya berubah coklat buntut
tapi doa mereka terdengar utuh bukan, Tuhan?