USIA
Tetaplah setia menapaki hari ke depan
Menciptakan sejarah dan memakunya di setiap angka baru pada penanggalan
Hingga lembar kalender terlipat berulang
Telah kau iringi langkahku
Ketika ombak mendesah di dadaku
Oleh kisah masa lalu
Yang ingin kucatat
Tapi juga ingin kulupakan
Maka, tetaplah setia
Kita patahkan kutukan bersama
Yang menjadi jalan takdir ini
Andai kutukan itu menjadikan luka
Karena aku tak ingin seperti Karna
Putra Surya yang tak pernah minta dilahirkan
Senyatanya ketika besar
Ia dirudung kutukan demi kutukan
Yang mematahkannya untuk tak menjadi ksatria
Jika bermulaku hadirkan tawa gembira
Kegembiraan seperti ketika pecahnya ketuban
Hadirkan juga gembira itu dalam berakhirku
Seperti mendapat bingkisan dari tuhan
Karena menjadi pilihan
Dengan menyandang nama
Yang tertulis dalam sejarah
Yang menjadi kebaikan bagi sesama
SULUH
Gelap nan gulita
Merasuk di pandang mata
Membenamkan apa pun hingga tak berupa
Bayang diri pun sirna
Tertelan gulita
Gulita tidak selalu pada malam
Ketika tiada setitik cahaya
Ia membawa kelam
Kelam pada jagat raya
Kelam pada jagat diri
Pintaku
Hadirkan setitik terang
Untuk menjadi suluh
Berupa bintang di langit malam
Matahari di langit siang
Kesadaran di langit-langit pikiran
Karena jagat raya, jagat diri saling ada keterikatan
Urai gelap di diri ini
Dengan suluhmu
Agar langkah pasti dalam meniti kehidupan
Tak lagi tertatih apalagi terjerembab
Di dunia yang tak selalu terang
Oleh cahaya dan pikiran
KAMAR MANDI
Selayaknya hutan
Begitu rimbunnya aroma di dalam
Wangi buah dan pepohonan
Serta kicauan burung ketika penghuni datang
Anggur, strawberry, jeruk, aprikot
Sedang berbuah matang
Mawar, melati pun sedang bermekaran
Mereka serempak menguarkan wewangian
Tak lupa daun pinus, cemara, akasia
Merimbun dan tebarkan aroma harum
Namun aroma tubuh lebih mendominasi
Aroma yang acapkali hadirkan sensasi
Semua aroma mengusai sebidang mini
Tempat kemerdekaan diri
Tempat memerdekakan diri
Untuk menjadi apapun, siapa pun
Tidak ada yang peduli
Ini panggungku ketika aku beraksi
Malaikat dan tuhan yang menjadi saksi
Ini ruanganku
Hinga seluruh lekuk dan rahasiaku terbuka
Dinding, plafon, shower, semua melihatnya
Namun mereka tetap menjaga rahasia
Di dalamnya
Aku melepas daki di badan
Membaluri dengan aroma wangi hutan
Daki rontok dari sekujur badan
Menuju got pembuangan
Namun got tak ikut seharum ruangan
Meski segudang wewangian telah digelontorkan
TUDUNG SAJI
Yang senantiasa terdiam
Tak pernah murung atau nundung
Meski saban hari ia diiming – imingi
Tak pernah tertarik untuk mengincipi
Pepes ikan, gulai, rendang
Selera manusia pun seperti ditendang – tendang
Sesudahnya berucap
Rasanya nendang
Sayur lodeh, pecel, urap
Meruap ingin
Liur membajir
Sup, soto, bakso
Hadirkan kepul
Mengepul – ngepul
Bangkitkan liur
Tudung saji termakan sumpah
Untuk tak memakan yang di bawah
Hanya jadi saksi
Atas berlakunya jagat pati
Dengan seribu lapar
Seribu keinginan
Yang tak pernah selesai
KELIR SUNYI
Alangkah lapangnya kesunyian
Tak terdengar riak apalagi ombak
Bahkah kerisik yang disuarakan hati
Tak ada kata tanya
Apalagi prasangka
Mungkin, serupa itu janin
Ketika rahim menjadi selubung
Menjadi rumah yang tanpa rongga
Hingga tak merasakan panas atau dingin
Hanya haru dan haru
Pada altarnya
Sunyi yang purba
Tak ada perlawanan
Selain penyerahan
ZIARAH ANGIN
Yang hadir pagi ini
Menyentuh kebekuan jam angin
Melahirkan denting juga dentang
Yang tak pernah lelah
Mengeringkan yang basah
Membawa lari tissu penyeka air mata
Ketika luka bersembunyi di dalamnya
Angin, menziarahi sudut-sudut tak bernama
Dan menitipkan sebait pesan
“meski tak saling mengenal
Cinta diantara kita begitu dalam”
Sebelum ia meniupkan jiwaku entah ke mana