Kalau kita menyimak trend perjalanan sejarah peradaban dan kebudayaan manusia, persepsi terhadap waktu dan pemaknaan terhadap waktu akan sangat menentukan kualitas peradaban dan kebudayaan insan-insan manusia dan komunitasnya.
Berangkat dari pemikiran ini, konsepsi waktu manusia Bali yang telah mentradisi Galang Kangin, yang menjadi batu pijak dalam pengembangan ethos kerjanya menjadi pantas untuk diulas.
Galang Kangin adalah rujukan waktu yang ditandai oleh mulai bersinarnya bintang Tengala ( begitu orang Bali menyebutnya ) di ufuk timur pada ” jejer kemiri ” berbaris ke bawah, bisa 2 dan atau 3 dan bahkan lebih, sebagai waktu awal untuk memulai kehidupan.
Waktu Galang Kangin ini, sekitar pukul 4.15 Wita. Waktu awal memulai kehidupan, bisa bekerja, belajar dan bisa juga berdoa. Dalam tradisi agraris pertanian manusia Bali, lazimnya dimulai dengan bekerja: menyalakan api di tungku (paon, bahasa Bali ) yang berfungsi ganda: menghangatkan tubuh, dan penyiapan makanan ke anggota keluarga, tetapi yang paling penting, penyiapan sangu makanan sederhana (bekel, bahasa Bali ), yang akan dibawa ke kebun, sawah pada saat mentari mulai bersinar.
Berbarengan dengan itu, menyapu, membersihkan halaman depan rumah (lebuh, bahasa Bali ) dan lingkungan di seputaran rumah, Bale Dangin, Bale Dauh dan kawasan lainnya.
Tradisi kehidupan Galang Kangin ini, oleh mereka yang kemudian mulai mempelajari dan menyimak Bhagavad Gita sebagai waktu Satvika. Dan kemudian oleh mereka yang lebih mendalami Veda/Vedanta, Galang Kangin dipersepsikan sama dengan Brahma Muhurta, waktu ” terbaik ” untuk memuja Tuhan melalui bekerja, belajar dan berdoa.
Galang Kangin sebagai pijakan waktu kerja, yang kemudian diikuti oleh kerja nyata di sawah dan perkebunan, yang dilandasi oleh sebut saja sekapur sirih ethos kerja, menyebut beberapa diantaranya, Ngluku, Uma Duwi, semangat Semut Sedulur.
Ngluku, prinsip, sistem nilai kerja yang berupa: berapapun hasil yang diterima, kita harus terus merawat kebun secara berkelanjutan, dalam tampil sekarang, mirip keteguhan fisik dan hati pelari maraton.
Uma Duwi, kerja pertanian ditamsilkan dengan memasuki kebun penuh dengan duri. Budi daya pertanian untuk memperoleh hasil, penuh jebakan dan tantangan. Menyebut beberapa: iklim yang kadang-kadang tidak bersahabat, risiko hama dan potensi bencana alam. Uma Duwi sebagai basis dari ethos kerja yang ” tahan banting “.
Semangat Semut Sedulur, semangat kerja sama berkelanjutan (seperti yang dilakukan oleh kumpulan semut ), melahirkan budaya paras-paros yang menjadi basis dari kearifan sistem kehidupan subak yang telah melegenda.
Kerja tanpa henti di lahan pertanian sepanjang hari, ” ditutup ” dengan puja bhakti pada saat Sandi Kala (waktu terbaik “mengikatkan” diri dengan Tuhan) pada pusaran waktu sekitar 18.15 – 19.00 wita.
Ethos kerja di era agraris pertanian, yang rasanya tetap relevan di era industri manafaktur, industri jasa informasi dan bahkan di era ekonomi digital dewasa ini Hanya saja perlu penyesuaian, adaptasi sesuai dengan tuntutan Desa (ruang), Kala (waktu) serta Patra (manusia dan lingkungannya). [T]