Artikel ini disampaikan pada kegiatan Diseminasi Terjemahan Karya Sastra Daerah di Provinsi Bali, Hotel Inna Sindhu Beach, 1-3 Oktober 2021. Penulis sebagai reviewer dalam acara tersebut.
Penerjemahan yang dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali tahun 2021 mempekerjakan para sastrawan setempat, baik yang berkarya dalam sastra Bali modern maupun sastra Indonesia. Hal ini didasari oleh sebuah pertimbangan. Buku-buku yang diterjemahkan adalah karya sastra Bali modern, dari periode sebelum perang hingga periode Hadiah Sastra Rancage. Wajar kiranya buku sastra diterjemahkan oleh sastrawan.
Karena itu, yang terlibat adalah Oka Rusmini dan Made Adnyada Ole, Carma Citrawati, serta puluhan sastrawan yang sudah sangat dikenal. Untuk menerjemahkan karya sastra tersebut dipandang lebih tepat jika menggunakan tenaga para sastrawan yang sudah berpengalaman ketimbang praktisi penerjemah pada umumnya. Jika menggunakan praktisi pun akan timbul persoalan. Jumlah praktisi penerjemah mungkin sangat sedikit dan apalagi yang menguasai bahasa sumber (BSu) bahasa Bali.
Penerjemahan yang dilakukan oleh sastrawan menarik didiskusikan. Hal ini terkait dengan kreativitas dan aspek artistik mereka. Asumsi yang dapat diajukan adalah begini. Para penerjemah yang sastrawan tidak sekadar mengalihkan makna dari BSu ke bahasa sasaran (BSa). Karena itu mereka bekerja mencipta berdasarkan karya yang sedang diterjemahkan. Pola kerja ini sama hanya dengan “menaklukkan” mereka dan membatasi kebebasan imajinatif dan artistik.
Mungkin sedikit menyerempet bahaya jika menerjemahkan karya sastra melibatkan sastrawan karena mereka tidak sepenuhnya tunduk pada teks bahasa sumber (TSu). Untuk itu, memandang kerja penerjemahan ini sebagai pertanggungjawaban budaya, para sastrawan dapat bekerja (bukan berkarya) dengan baik.
Penerjemahan kali ini adalah penerjemahan penugasan yang ada unsur “pemaksaan”. Pasti ada di antara para penerjemah yang tidak sepenuhnya tertarik dengan karya yang dibagikan. Karya ini diterima tanpa pilihan lain. Namun demikian, penerjemahan tetap berjalan walaupun terjadi secara mekanik. Penerjemahan yang terjadi adalah tidak hanya pada tataran bahasa. Aspek-aspek penciptaan karya sastra dalam perspektif proses kreatif para penerjemah yang semuanya adalah sastrawan ini, tidak banyak terlibat.
Ide penerjemahan yang dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali tahun 2021 adalah mengindonesiakan sastra Bali modern. Ide ini tidak terwujud dengan baik pada karya sastra yang menjadi TSu dengan muatan persoalan-persoalan umum atau nasional, seperti korupsi. Pada karya ini lokalitas tidak tampak dan setelah diterejemahkan dalam bahasa Indonesia, karya ini benar-benar menjadi karya sastra Indonesia. Lokalitas atau aspek Bali-nya diperoleh atau ada pada bahasa yang digunakan sejak karya ini diciptakan.
Sebaliknya, untuk karya TSu yang memiliki muatan dominan pada unsur kebudayaan Bali, ide penerjemahan yang dijadikan landasan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali, tercapai karena setelah diterjemahkan ke dalam BSa (bahasa nasional) lokalitas Bali masih kuat dan hal itu hadir dalam BSa dan TSa. Pada kasus ini kembali muncul persoalan. Bagaimana cara penerjemah memperlakukan istilah yang lokal dalam TSu setelah menjadi TSa? Apakah tetap mempertahankan bahasa Bali dengan memberi daftar panjang catatan kaki atau glosarium? Atau dipilih cara lain, seperti menyajikan deskripsi dalam bahasa nasional?
Sehubungan dengan masalah ini, jalan keluar yang ditawarkan adalah dengan memberi deskripsi yang kuat dan proporsional sehingga tidak bertele-tele. Dengan begitu, penggunaan istilah lokal bisa sedikit. Jika pun harus dipertahankan, didasari oleh pertimbangan yang sangat kuat. Sejalan dengan hal itu, terjemahan yang banyak mempertahankan istilah Bali dengan menyusun catatan kaki yang banyak dan glosarium yang panjang, perlu mempertimbangkan kembali ide dasar kegiatan penerjemahan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali.
Ada keunggulan penerjemahan karya sastra yang melibatkan sastrawan. Karya mendapat penghargaan khusus karena diperlakukan secara terhormat sebagai karya sastra. Nama besar sastrawan yang menerjemahkan itu ada pada karya terjemahan. Hal inilah yang akan terjadi pada karya terjemahan ini. Telah lahir karya sastra berbahasa nasional yang diterjemahkan dari sastra Bali yang dilakukan oleh para sastrawan. Karya-karya sastra Bali yang belum dikenal luas akan dikenal luas setelah diterjemahkan dan semakin mendapat perhatian ketika yang menerjemahkan adalah sastrawan yang ternama. Mungkin hal ini merupakan dasar pertimbangan panitia Balai bahasa Provinsi Bali memilih penerjemah para sastrawan.
Secara teknis, di bawah ini dikemukakan dengan singkat tiga catatan untuk tiga karya terjemahan. Catatan ini ditulis sebagai tanggapan pembaca pertama yang terjadi secara terencana. Pembacaan yang terjadi dipengaruhi oleh pikiran bahwa ini bukanlah pembacaan karya yang alamiah. Pembacaan ini dengan kesengajaan untuk tujuan nonestetik yang menghasilkan respons atau resepsi yang berbeda.
Dalam proses pembacaan awal ini terjadi konstelasi antara sastra Bali dan sastra Indonesia. Pembacaan kali ini memang lebih banyak terjadi pada wilayah TSa. Pembacaan ulang-alik TSu dan TSa tidak dilakukan karena kendala waktu. Di samping itu juga dipandang tidak perlu karena kredebilitas penerjemahnya. Justru yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penerjemah (sastrawan) dapat bekerja dengan baik di bawah penjadwalan dan program? Hal ini bertentangan dengan karakteristik kerja kreatif sastrawan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, catatan penerjemahan ini kurang kritis karena berpijak pada wilayah pengalihan atau transfer saja. Catatan ini pun sangat pendek dan sifatnya umum juga.
Jalan-jalan ke Sasak
Novel ini berpusat pada seorang tokoh perempuan. Novel ini dibagi jadi dua: “Ampenan” dan “Mataram”. Namun pembagian “Bab” itu tak seimbang. Bab Ampenan jauh lebih banyak dan menunjukkan tempat cerita terjadi, saat ke Sasak, tepatnya mengabil dua lokasi cerita. Novel ini lebih banyak atau didominasi oleh dialog atau wacana yang sangat minim dengan kejadian. Kejadian-kejadian yang diceritakan lebih banyak terjadi di dalam ucapan para tokoh.
Ada beberapa catatan untuk naskah terjemahan ini, seperti yang dapat dilihat di dalam tubuh teks. Warna lokal sangat terasa dalam terjemahan ini karena memang naskah aslinya memang demikian. Dalam penerjemahan ini diberi catatan kaki. Sebaiknya perlu juga dikurangi catatan kakinya dan diberi deskripsi di dalam teks utama. Kata sapaan dalam berbagai ragam, iii, aduh, biihh dll. sangat sering digunakan. Tampaknya itu kata seru dari bahasa Bali dan untuk ini perlu dipertimbangkan tata tulisnya (miring) tetapi jika bisa dicari padanan dalam kata sapaan Indonesia. Banyak sekali penulis menggunakan ……………. (titik titik) seperti ini yang tidak jelas untuk apa.
Nah mengenai hal ini penerjemah harus dapat menemukan maknanya. Juga sering menggunakan banyak huruf (Ratuuuuuu, misalnya) apakah ini bermakna lisan (panjang) atau apa.
Begal
Rata-rata panjang terjemahan cerpen Komang Adnyana 1400-1650 kata (5-6 halaman). Karyanya mudah dibaca dan cerita sumber dalam bahasa Bali (cerpen berbahasa Bali ) telah dialihkan secara komunikatif ke dalam bahasa sasaran atau bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan nuansa Bali pada sebagian besar cerita tidak kuat lagi. Hal ini disebabkan oleh tema-tema cerpen yang diterjemahkan. Tema-temanya sendiri umum atau persoalan-persoalan masyarakat Indonesia. Untuk karya yang bertema umum (sebagai lawan dari tema lokal yang kental) nuasa Bali hanya bisa dijaminkan oleh bahasa yang digunakan yakni Bahasa Bali.
Setelah diterjemahkan oleh Komang Adnyana, cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen Begal karya Dewa Raka Kusuma ini, menjadi cerpen “Indonesia” yang membicarakan persoalan manusia di Indonesia (keluarga, kehidupan sehari-hari, bunuh diri, sejarah, dan cerita-cerita yang bertema sangat khusus mengarah kepada kejiwaan). Telaah yang dilakukan kemudian fokus kepada data-data teks yang menonjol, seperti perulangan yang terasa membosankan dan bukan sebagai pilihan gaya bahasa (repetisi) yang disengaja.
Karya ilmiah mudah ditelaah karena sudah memiliki aturan yang jelas dan mengingat penulis dan pembacanya. Tapi karya terjemahan tidak. Ia adalah karya sastra. Apalagi yang menerjemahkan itu adalah para sastrawan. Pola-pola kerja yang sangat pribadi dan subjektif Komang Adnyana masuk ke dalam karya terjemahannya ini. Hal itu harus dihargai oleh penelaah.
Demikianlah catatan singkat yang telah dikemukakan. Sebagai kata-kata penutup akan disampaikan hal sebagai berikut. Program penerjemahan ini tidak semata-mata dilihat sebagai kerja kreatif sastrawan tetapi juga ditempatkan dalam kerangka proyek budaya. Dalam hal ini sastrawan Bali terpanggil menyumbangkan keahliannya dalam bidang menulis karya sastra dengan terlibat di dalam program yang digagas dan didanai oleh Balai Bahasa Provinsi Bali.
Melalui keterlibatan tersebut, tahun ini Bali menyumbang 23 judul karya sastra baru yang telah menjadi karya sastra Indonesia. Tanpa program penerjemahan seperti ini, jumlah tersebut sangat sulit dicapai karena kegiatan penciptaan karya sastra tidak bisa diprediksi dan ditarget. Selain tanggung jawab moral dan kebudayaan pra sastrawan penerjemah dalam program ini, yang tidak kalah pentingnya adalah, mereka memberi nama besar masing-masing pada setiap karya terjemahan yang dihasilkan. Namanama besar itu adalah garansi bagi pembaca Indonesia untuk membaca karya terjemahan yang akan memperkaya khazanah sastra bangsa.[T]
_____
Serba-serbi Proses Penerjemahan Buku Sastra Bali Modern ke Bahasa Indonesia
_____