Apa yang mesti dihindarkan dalam hidup? Ada yang tak terhindarkan dan ada yang menghindar tanpa kita hindari – Janda dari Jirah, Trilogi Jirah (Cok Sawitri, 2021)
Membaca karya sastra dengan pendekatan mindfulness dan reader response theory adalah sebuah cara saya menjaga jarak estetika antara karya yang saya baca dengan saya sebagai manusia yang kompleks dan absurd. Saya menempatkan diri sebagai audiens yang hadir secara total. Dalam konteks pertunjukan karya seni secara keseluruhan, audiens menempati peran utama sebelum yang lain. Kehadiran audiens tidak bisa dilepaskan dari unsur yang menopang kehadirannya, yaitu background, expectation dan imagination.
Dalam buku Edwin Wilson The Theater Experience (1988), disebutkan bahwa pengalaman audiens turut menciptakan pengalaman membaca. Semakin kaya pengalaman audiens, maka semakin kaya pula pembacaannya. Semakin beragam perspektif yang ia punya, semakin beragam pula sumber interpretasinya.
Saya tentu tak bisa melepaskan diri dari paling tidak tiga hal yang merupakan bagian dari peran saya sebagai audiens karya sastra yaitu background, expectation dan imagination. Berbicara soal background, saya tumbuh sebagai pencinta karya sastra dan saat ini saya juga adalah penulis karya sastra. Dalam konteks ulasan trilogi Jirah ini, saya adalah salah seorang pembaca karya Cok Sawitri sejak awal. Saya secara personal cukup mengenal sosok Cok Sawitri dalam pergaulan kreatif seni di Bali. Saya juga perempuan Bali dan hidup di Bali dengan background budaya yang kompleks.
Berbicara soal expectation, mengingat pertumbuhan saya dalam menulis turut diperkuat oleh proses belajar setiap hari, maka tentulah saya memiliki expectation tinggi terhadap karya ini, terlebih mengingat bentangan karya Cok Sawitri sebelum Trilogi Jirah ini. Expectation ini adalah sebuah keniscayaan bagi saya mengingat kekuatan Cok Sawitri adalah membangkitkan perspektif baru dari sebuah karya. Terakhir imagination. Merespon produk imajinasi tentu memerlukan imajinasi pula. Sebagai penulis, saya punya banyak stok imajinasi yang liar. Itu adalah salah satu bekal saya membaca karya sastra. Definisi imajinasi disini adalah semua yang hadir dan saya hadirkan di kepala sebagai bekal dalam merespon sebuah karya.
Dengan tiga bekal ini saja, saya belum mampu mencerna sebuah karya. Saya perlu alat membaca yang lebih dalam lagi untuk membuat saya menemukan esensi karya, dan saya memilih mindfulness dan reader response theory dalam konteks ini.
Trilogi Jirah adalah karya Cok Sawitri yang terdiri dari tiga novel yaitu Janda dari Dirah, Si Rarung, dan Manggali Kalki (Sawitri, 2021). Membaca ketiga novel ini bukanlah hal yang mudah, perlu nafas panjang dan mindfulness yang mendalam untuk mencernanya.
Mindfulness
Mindfulness adalah sebuah pendekatan psikologi pembelajaran yang digagas oleh ahli psikologi Ellen J Langer (1989) yang berkembang hingga kini dengan pesatnya di berbagai bidang ilmu. Langer adalah seorang profesor psikologi Harvard University, memperkenalkan konsep utama mindfulness adalah pada penemuan hal baru. Dengan menemukan hal baru, kita belajar menemukan konteks, sudut pandang dan pemahaman baru. Mindfulness adalah sebuah pilihan belajar yang selalu berusaha mencari tahu kebaruan dari setiap momen yang terjadi dalam proses ‘menemukan’. Dalam proses itu, peristiwa terjadi dengan segenap “kehadiran” kita baik secara fisik, emosional, dan seluruh rasa yang terlibat.
Mindfulness adalah sebuah versi lebih tinggi dari sekedar ‘sadar’ namun lebih masuk ke level mendalam, yaitu mengenali seluruh rangkaian proses mencerna, merabai seluruh proses memaknai, mencermati semua indra yang merespon, sekaligus menemukan perbedaan pada proses memaknai itu. Mindfulness tak hanya mengandalkan logika membaca, namun juga intuisi. Dalam konteks karya sastra, logika kadang tak cukup, sebab ia adalah produk estetika. Diperlukan intuisi untuk ‘menemukan’ makna.
Mindfulness adalah sebuah cara saya memasuki dunia karya sastra ini dengan hati-hati. Betapa tidak, begitu saya tidak hati-hati, saya bisa tergelincir dan kehilangan makna. Saya resapi kata demi kata dan saya menjalani praktik mindfulness yang sejenak membuat chaos saya berhenti lalu muncul chaos baru.
Dalam konteks psikologi, mindfulness adalah salah satu cara mengontrol chaos. Namun tidak serta merta chaos itu berubah menjadi kedamaian, atau keteraturan. Ia hanya berubah bentuk menjadi pertanyaan lain yang menyambut pertanyaan lainnya lagi. Dengan demikian meskipun kita berada dalam kondisi mindful, namun sesungguhnya chaos tidak serta merta hilang. Justru itulah yang memulai perjalanan pemahaman yang sesungguhnya. Keseluruhan ekosistem cerita di dalam Trilogi Jirah adalah jalinan mindfulness yang rapat dan ketat. Ada struktur yang ketat dijaga adalah unsur-unsur pembentuk ekosistem cerita itu, meliputi karakter, plot, dan bahasa yang membungkusnya.
Uniknya semua unsur ekosistem itu adalah unsur ‘hidup’, yang tak dapat diabaikan. Semua unsur, baik rumput, embun, daun-daun, pohon, burung, hingga seluruh saksi yang terlibat dalam cerita adalah unsur ekosistem yang hidup dan mindful. Mereka diciptakan untuk menyaksikan dan memberi pandangan bagi karakter dalam cerita, memberi makna bagi peristiwa, dan menjadi sebuah jembatan bagi cerita berjalan dengan organik.
Sekali lagi, semua unsur dalam ekosistem pembentuk cerita adalah mindfulness itu sendiri. Bagaimana pohon-pohon bercakap-cakap, bagaimana burung-burung menyuarakan pikirannya, bagaimana Cipi-cipi berdialog dengan elegan, bagaimana embun terbentuk, menjadi sebuah wacana bagi konteks cerita. Mereka menjadi bagian yang menghidupkan seluruh jalinan cerita.
Karakter juga tumbuh dalam keberagaman perspektif. Keberagaman perspektif yang menumbuhkan karakter itu memperkaya pemahaman pembaca tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada cara berpikir karakter, dan bagaimana mereka tiba pada cara berpikir itu.
Saya mencontohkan karakter Jirah yang sangat kompleks dilihat dari beragam perspektif karakter lainnya. Demikian pula Ratna Manggali. Bagaimana Ratna Manggali tumbuh, berproses sebagai pemikir, merespon konflik, menyelesaikan konflik dan berdamai dengan konflik dapat dilihat dari karakter lain yang berbicara tentangnya.
Keberagaman perspektif adalah sebuah ciri dari mindfulness dimana semua kemungkinan dapat diterima, bukan sebagai kebenaran dan kesalahan, namun sebagai sebuah data bagi penemuan makna baru. Tidak ada penghakiman yang lahir dari proses mindfulness. Yang ada adalah pemahaman baru untuk meninjau pemahaman lama. Dalam konteks trilogi ini, kita mendapatkan perspektif baru tentang Jirah, bagaimana alur berpikirnya dan bagaimana penumbuhan karakternya berkembang sedemikian rupa sehingga hampir tak dapat lagi kita menghakiminya seperti cerita yang berkembang di masyarakat bahwa dia adalah perempuan dan Ibu dengan ilmu sihir yang jahat.
Reader Response Theory
Melalui pendekatan reader response theory dari Rosenblatt (1978) saya menemukan juga bahwa dalam konteks membaca, pembaca adalah entitas yang berinteraksi langsung dengan karya dengan total, penuh, utuh. Reaksi pembaca terhadap hasil bacaannya adalah hasil totalitas bergelut dengan karya itu. Seperti pelibatan mindfulness yang sudah saya paparkan, pelibatan respons ini adalah sebuah keniscayaan dalam membaca karya sastra.
Menurut Rosenblatt (1978) dalam pandangan transaksional, pembaca adalah pembentuk pengalaman baru dan teks adalah stimulus yang berperan sebagai penuntun jalan bagi tercapainya tujuan pengalaman itu. Lalu apa yang membedakan pembaca satu dengan lainnya? Tentu pengalaman pembaca itu, bahwa semua pembaca beranjak dari pijakan awal yang membantunya memahami peristiwa dalam karya sastra. Jika ia memiliki pijakan pengalaman yang kokoh, maka responnya terhadap karya sastra akan menghasilkan makna yang penting. Tentunya respon lahir dari mindfulness pula. Pembaca tidak serta bisa mengalami jika ia tidak masuk secara utuh ke dalam karya yang dibacanya. Kualitas pembacaan sangat bergantung kepada background, expectation dan imagination pembaca. Maka inilah mengapa interpretasi karya sastra sangat beragam dan sangat tidak dapat dihakimi sesederhana benar-salah atau hitam-putih.
Menurut Rosenblatt ada dua cara merespon karya yaitu asthetic reading dan efferent reading. Aesthetic reading dicapai dengan jalan mencari estetika karya dari segi bahasa, intuisi dan emosi. Sementara efferent reading dicapai dengan jalan menemukan hubungan antara peristiwa di dalam karya dengan pengalaman nyata.
Saya membaca Trilogi Jirah dengan respon estetika ketika menyadari secara mindful bahwa ekosistem bahasa dalam karya ini adalah bahasa yang didominasi oleh metafora, personifikasi, dan imagery. Metafora karena saya menemukan simbol-simbol bahasa untuk mewakili makna. Demikian pula personifikasi, dimana benda-benda menjadi ‘manusia’ karena diberi ‘suara’ dan ‘pilihan’. Lalu imagery karena ia memberikan sebuah gambar peristiwa yang imajinatif namun realis dalam konteks cerita.
Sedangkan secara pengalaman, saya mencoba mengaitkan peristiwa tertentu di karya dengan pengalaman saya yang terkait dan relevan. Meskipun tidak serta merta saya mendapatkan relevansi dengan pengalaman nyata, namun saya dapat menghadirkan pengalaman imajinatif dan spiritual dalam mencerna peristiwa di karya.
Intinya saya simpulkan, membaca Trilogi Jirah ini adalah sebuah pengalaman menikmati perjalanan ke dalam diri. Inward journey ini adalah praktik mindfulness dan reader response theory yang saling melengkapi. [T]
References
- Langer, E.J. (1989). Mindfulness. A Merloyd Lawrence Book. Perseus Books.
- Rosenblatt, L.M. (1978). The Reader, the Text, the Poem: The Transactional Theory of the Literary Work. Carbondale, IL: Southern Illinois University Press.
- Sawitri, C. (2021). Janda dari Jirah. Penerbit Lingkup dan Self-Love Bali.
- Sawitri, C. (2021). Si Rarung. Penerbit Lingkup dan Self-Love Bali.
- Sawitri, C. (2021). Manggali Kalki. Penerbit Lingkup dan Self-Love Bali.
- Wilson, E. (1988). The Theater Experience. McGraw-Hill Book Company.
BACA jUGA: