Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Livin’ life in peace
You
(Imagine, John Lennon, 1971)
Tepat 50 tahun sudah, sang maestro John Lennon mempopulerkan hits legendaris berisi pesan perdamaian itu. Dan sepanjang waktu itu pula, orang-orang tidak mau belajar soal perdamaian. Sebelum ataupun sesudahnya. Maka hari-hari ini, di berbagai kota-kota besar dunia, peringatan 50 tahun Imagine dirayakan tetap dengan penuh harapan. Harapan untuk kita mau belajar dari tema-tema penting seperti Tatmadaw atau Taliban.
Jika itu masih terlalu jauh, ada yang lebih dekat bagi kita yaitu Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Bulan September ini, bangsa kita selalu diingatkan pada seberkas hitam sejarah bernama Gestapu atau secara resmi pemerintah menyebutnya dengan G30S-PKI. Sesungguhnya belum ada versi yang cukup jernih dan dapat diterima semua pihak terkait peristiwa mengerikan itu.
Sejarah yang ditulis pemerintah secara gamblang menyebutkan PKI melakukan kudeta berdarah dengan maksud merebut kekuasaan. Adakah klaim ini nyata ataukah ada teori konspirasi yang lain di sekitarnya? Kita tak pernah tahu pasti. Yang jelas, sejujurnya misteri masih menganga hingga kini dan masih ada anak bangsa berada di pengasingan. Sebuah rekonsiliasi nasional selalu menjadi harapan seperti lirik-lirik dalam lagu Imagine dan kita terus bertanya kapan itu akan terjadi. Kita memang masih sulit untuk mengakui dan saling memaafkan.
Ambisi politik kekuasaan memang dapat menjelma dalam berbagai wajah. Prahara Gestapu adalah bentuknya dalam wajah ideologis pengusung semangat revolusi Rusia. Revolusi Rusia oleh kelompok Bolshevik berfaham Marxis yang memuncak pada tahun 1917 sukses menghepaskan otokrasi Tsar Nicholas II yang bertangan besi. Dan ini menjadi referensi gerakan-gerakan ambisius ideologi sosialis komunis di berbagai belahan dunia. Entah itu demikian persis terjadi di tanah air atau dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah konspirasi untuk menghabisi Soekarno, kita belum tahu pasti.
Yang pasti, tak kurang setengah juta jiwa anak bangsa direnggutkan sebagai pelengkap ambisi politik kekuasaan saat itu. Ratusan ribu nyawa harus dibasmi untuk menciptakan sebuah drama menjadi nyata. Begitu pula, sebuah entitas yang telah dibangun dengan bilah-bilah pedang kekerasan dan agresi, bernama Uni Soviet pada akhirnya roboh sendiri. Kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lain. Demikianlah runtuhnya Uni Soviet diikuti serangkaian kekerasan antar etnis yang telah terpecah hingga kemudian melahirkan 15 negara-negara baru di kawasan Eropa Timur.
Tatmadaw adalah ambisi politik kekuasaan yang lain, berwajah militer. Namanya ambisi, ia memang tak pernah dikaruniai rasa malu. Tatmadaw, sebutan untuk penguasa junta militer di Myanmar tak pernah belajar dari sejarah. Pernah berkuasa dengan penuh kekerasan selama tahun 1962-2011, membuat junta sulit menerima hasil pemilu demokratis yang telah menghantarkan Aung San Suu Kyi ke tampuk kekuasaan. Padahal pemilu tersebut diyakini paling bebas dalam 25 tahun terakhir.
Kepongahan junta militer ini telah medorong Myanmar ke jurang perang saudara yang dalam dan curam. Itu terjadi, saat Duwa Lashi La, salah seorang tokoh pemerintah bayangan Myanmar menyerukan perlawanan nasional terhadap Tatmadaw. Sejak itu korban telah berjatuhan sedikitnya 800 orang, namun ini diyakini jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya dan akan terus bertambah. Kelakuan keji junta militer Myanmar, sedari dulu telah menjadi sorotan dunia internasional karena melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Namun mereka selalu berkilah, pemerintahan sipil tak mampu menerapkan stabilitas dan keadilan.
Taliban, tak sama, namun serupa. Ia ambisi politik kekuasaan berwajah agama. Tak sulitlah memahami ini. Karena saat ini Taliban telah merebut kekuasaan di Afghanistan dan membentuk pemerintahan baru. Melihat ribuan warga Kabul berlomba hendak meninggalkan negerinya, jelas sebuah paradoks. Bagaimana bisa, wajah agama telah membuat umatnya sendiri ngeri dan ketakutan?
Meski sebuah paradoks, dunia toh sudah maklum bagaimana para mullah itu menerapkan ajaran agama sebagai dasar bernegara, kepada warganya. Itu telah tercatat dalam sejarah, saat Taliban berkuasa sebelumnya, selama tahun 1996-2001. Kaum wanita adalah pihak yang paling sengsara dan dirugikan oleh sistem pemerintahan yang diterapkan Taliban. Mereka tidak boleh bersekolah, bekerja dan jika ke luar rumah mesti mengikuti syarat yang sangat ketat.
Seorang gadis bernama Malala Yousafzai yang suka bersekolah dan tentu saja itu salah, oleh penguasa yang memergokinya tanpa ragu-ragu menembak kepala si gadis. Ajaibnya, ia selamat lalu melarikan diri meninggalkan negerinya. Tak berapa lama kemudian, ia dihadiahi penghargaan prestisius Nobel Prize sebagai simbol perlawanan penguasa yang kejam. Hal paling fenomenal yang menyulut kemarahan seluruh warga dunia adalah, tentu saja kejahatan arkeologis terbesar dalam sejarah, yaitu saat Taliban menghancurkan patung Budha kuno di lembah Bamiyan.
Patung-patung mencengangkan itu adalah salah satu mahakarya peradaban manusia pada abad ke-4 yaang memiliki tinggi 55 dan 38 meter. Semuanya harus dihancurkan karena berhala. Indonesia hari ini, sebagai bangsa jamak, harus selalu menyanyikan lagu sang maestro Imagine, tentunya dengan penghayatan yang dalam. Sembari menyelami dengan kesadaran intelektual yang jernih, betapa kelamnya sejarah Gestapu, Tatmadaw hingga Taliban. [T]