Pemangku merupakan rohaniwan Hindu “Ekajati” di Bali yang sudah menempuh penyucian diri mawinten yang dipimpin oleh Pendeta Hindu. Ada Pemangku yang ngemong Pura. Ada juga Pemangku yang tidak ngemong Pura.
Pemangku yang ngemong Pura memiliki kewenangan nganteb upakara dan memimpin upacara agama yang dilaksanakan di Pura yang diemong. Pemangku yang ngemong Pura juga berkewenangan memberikan pelayanan kepada warga nganteb upakara memimpin upacara Panca Yadnya sampai tingkat tertentu menurut tatwa apabila diminta oleh warga Hindu yang melaksanakan upacara.
Pemangku yang tidak ngemong Pura tidak memiliki kewenangan nganteb upakara dan memimpin upacara di Pura. Namun, Pemangku yang tidak ngemong Pura memiliki kewenangan memberikan pelayanan kepada warga nganteb upakara memimpin upacara Panca Yadnya pada tingkat tertentu sesuai tatwa apabila diminta oleh warga Hindu yang melaksanakan upacara.
Dengan kewenangan yang dimiliki, tugas dan fungsi Pemangku di masyarakat penganut Hindu di Bali sangat penting dan strategis. Pemangku merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan dan pembinaan agama Hindu kepada masyarakat. Pemangku menjadi tempat bertanya paling awal bagi warga Hindu di Bali berkaitan dengan tatwa, susila dan acara agama Hindu. Karena itu Pemangku sangat perlu memiliki kapasitas dan kompetensi dalam melaksanakan kewenangan, tugas dan fungsi agar tidak di-Bungkling-i oleh warga yang kritis seperti Pendeta Hindu dalam cerita Pan Bungkling. Kalau Pendeta yang sudah dwijati bisa di-Bungkling-i, oleh warga yang kritis apalagi Pemangku yang ekajati.
Cerita Pan Bungling
Cerita Pan Bungkling adalah cerita rakyat yang mengandung kritik terhadap kehidupan beragama Hindu di Bali. Tokoh sentral cerita Pan Bungkling adalah Pan Bungkling sendiri dan Ida Gede Gangga Sura.
Pan Bungkling merupakan tokoh yang kontroversial. Ia seorang tukang kritik, suka berdebat, dan sangat kritis. Segala sesuatu diperdebatkan, mulai dari Tuhan, takdir, sorga, praktik agama, upakara-upacara agama Hindu, sampai pernak-pernik bahan upakara beserta maknanya.
Ida Gede Gangga Sura adalah Pendeta Hindu terhormat tempat warga Hindu bertanya tentang segala hal kehidupan. Ida Gede menguasai seluk beluk upakara-upacara agama Hindu. Pasih berbicara dan memberi Dharma Wacana tentang jalan menuju Tuhan dan menjadi kaya raya karena keahliannya itu.
Suatu ketika Pan Bungkling datang ke Griya menemui Ida Gede Gangga Sura mengabarkan kematian ibunya serta memohon Ida Gede Gangga Sura untuk memimpin upacara berkaitan dengan kematian ibu Pan Bungkling.
“Ida Gede, ibu hamba baru saja meninggal, hamba mohon dibuatkan upakara yang layak sekaligus Ida yang ‘muput’ memimpin upacara agar arwah ibu hamba bisa menyatu dengan Tuhan, dan kalau harus kembali agar lahir sebagai manusia sempurna, tidak cacat”. Demikian Pan Bungkling memulai percakapan sekaligus permohonan.
Ida Gede mendengar permohonan Pan Bungkling, si kritis tukang debat, merasa berbangga dan berujar, “Urusan membuat upakara memang di sini ahlinya, Pan Bungling bisa memilih tingkat upakara yang diinginkan asalkan memiliki biaya, dan urusan “muput” memimpin upacara terkait kematian agar roh Sang Lina menyatu dengan Hyang Widi serahkan kepada Ida”. Demikian Ida Gede Gangga Sura menjawab permohonan Pan Bungling sembari mempersilahkan Pan Bungkling melihat contoh upakara yang ada dan memilih tingkatan upakara yang diinginkan.
Pan Bungling kemudian menelisik secara cermat isi upakara, dan kembali menemui Ida Gede seraya berkata, “Mohon ampun Ida Gede hamba tahu itu upakara penyucian jenasah itu berisi: cermin, besi baja, umbi Gadung, dan sebagainya tapi hamba bingung, apa makna semua itu”.
Ida Gede, Ahli Dharma Wacana, merasa tertantang oleh pertanyaan si tukang debat, Pan Bungkling, dan menjawab, “Pan Bungkling ada saja pertanyaan kamu, ke sini bawa biayanya akan Ida buatkan upakara yang mampu mengantarkan roh ibumu kembali menyatu dengan Hyang Widi”. Demikian jawaban Ida Gede sembari menjelaskan, cermin pada upakara itu dimaksudkan agar jika roh sang lina lahir kembali memiliki mata yang jernih terang seperti cermin, besi baja dimaksudkan agar memiliki gigi yang kuat dan tajam seperti besi baja, dan umbi Gadung maknanya agar memiliki kulit yang halus mulus seperti kulit umbi Gadung.
Menyimak penjelasan Ida Gede yang panjang kebar, Pan Bungkling tertawa terpingkal-pingkal seolah mengejek seraya berkata, “Mohon ampun Ida Gede, hamba pernah menyaksikan warga menanam bangkai sapi tidak disertai dengan cermin, besi baja dan sebagainya, tetapi hamba belum pernah melihat anak sapi yang matanya muram. Dan itu Putra Anda saya lihat matanya “picek”, apakah berarti pemakaman leluhur Anda dahulu tidak berisi cermin, ataukah cerminnya buram?”
Mendengar jawaban mengejek Pan Bungkling seperti itu, Ida Gede Gangga Sura marah besar dan nengusir Pan Bungkling. Haruskah Pendeta ahli upakara dan ahli Dharma Wacana marah besar dan mengusir orang yang mengejeknya?
Semoga Program Pelatihan Pemangku PHDI Kabupaten Buleleng mampu menghasilkan Pemangku yang sabar, tidak pemarah, dan mampu memberikan penjelasan atas pertanyaan warga terkait dengan tatwa, susila, dan acara agama Hindu. [T]
- Singaraja 05-07-2021 — Resum materi Pelatihan Pemangku dan materi Jagra Winungu di RRI Singaraja.