Publik dikejutkan dengan cerita seorang perempuan pekerja pembawa acara (MC) yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari penguasa di Bali.
Pengakuannya di media sosial telah menjadi perhatian media-media nasional.
Curhat perempuan itu membuat banyak pihak geleng-geleng kepala seakan tak percaya. Kejadian yang dirasakan konyol, menggelikan, dan ironi.
Jika curhat seorang MC itu benar terjadi maka telah terjadi kembali praktik ketidakadilan terhadap perempuan di ruang-ruang publik. Telah terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Terjadi praktik-praktik ketidakadilan/ketidaksetaraan gender dalam kehidupan perempuan kekinian.
Tindakan memperlakukan perempuan di ruang publik, dengan cara-cara yang dikeluhkan oleh pekerja MC itu, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan Perempuan Bali dalam mencapai kesetaraan gender.
Di mana perempuan Bali di era modern telah berhasil mengambil peran publik. Perempuan Bali telah berani keluar dari sekadar peran-peran domestik, seperti urusan rumah tangga, mendidik, merawat anak serta memenuhi kebutuhan biologis suami. Seperti pepatah mengatakan, tugas perempuan saat ini tidak hanya lagi soal urusan dapur, sumur, dan kasur. Perempuan Bali juga berani memerankan dirinya mampu berkontribusi pada ruang publik.
Salah satu peran perempuan di ruang publik adalah mengambil peran utama atau penyokong sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Menjadi pekerja sebagai pembaca acara (MC) adalah salah satu peran publik yang dilakoni oleh perempuan.
Namun pada saat yang sama, di mana perjuangan mencapai kesetaraaan gender telah berhasil diraih, perempuan Bali kembali mendapatkan tindakan diskriminasi dan ketidakadilan di ruang-ruang publik. Perjuangan perempuan Bali mencapai kesetaraan gender kini mendapatkan sandungan. Kali ini batu sandungannya bukan main-main, seorang penguasa.
Perlakuan yang dialami seorang perempuan yang bekerja sebagai MC saat ia menjalankan tugasnya adalah bentuk perlakuan ketidakadilan gender. Ketika ia menjalankan peran publik, mencari nafkah untuk keluarga, justru penguasa menutup peran publik mereka dengan tirai kegelapan.
Beberapa pekerjaan yang ia dapatkan dibatalkan secara sepihak. Sebaliknya, saat diijinkan tetap menjalankan pekerjaannya, dengan sebuah syarat, ia tidak boleh tampil di depan khalayak sebagai pekerja MC profesional. Ia diharuskan menjalankan profesinya dari ruang tertutup.
Memandu satu per satu tahapan acara resmi pemerintahan dari balik ruang kaca tertutup. Tidak boleh ada satupun audience bahkan sosok penguasa yang hadir bisa melihatnya.
Selain mengalami diskriminasi, perempuan yang berprofesi sebagai MC yang diperlakukan tidak layak juga telah mengalami kekerasan simbolik. Ia mendapatkan perlakuan kekerasan saat menjalankan perannya di ruang publik.
Kehadirannya di sebuah even sebagai pembaca acara dibatalkan dengan alasan yang tak ia pahami dengan nalar. Ia batal tampil di ruang publik hanya karena acara itu akan dihadiri oleh serang pengusa.
“Memang sudah bukan rahasia lagi jika kami para pekerja event wanita (MC, penyanyi, penari dll) seringkali dicancel klien/EO acara H-1 ataupun beberapa menit sebelum acara dimulai,” cerita seorang MC di media sosial.
Pembatalan tanpa alasan yang jelas itu tentu sangat melukai jiwa profesionalismenya sebagai seorang pekerja MC. Pembatalan itu membuatnya bersedih, kecewa, jengkel bahkan marah.
Kekerasan simbolik lainnya, yaitu saat bekerja di ruang publik secara pembawa acara, ia harus menjalankan perannya dari ruang kaca tertutup. Ia harus dijaga oleh seorang petugas laki-laki untuk mencegahnya keluar dari ruangan. Perlakuan itu Iayaknya ia sebagai seorang tahanan .
“23 tahun pengalaman saya sebagai MC, baru kali ini saya diperlakukan layaknya tahanan atau maling yang tidak boleh tampil di panggung,” keluhnya.
Keberanian seorang perempuan pekerja MC memperjuangkan perannya sebagai seorang ibu di ruang publik patut diapresiasi. Ia telah membuka kotak pandora bahwa eksistensi Perempuan Bali di ruang publik tidak sedang dalam kondisi baik-baiknya saja.
Perlakuan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender ini mestinya segera diakhiri. Penguasa yang diduga berada dibalik praktik diskriminasi terhadap perempuan Bali segera menghentikannya. Apapun alasan perlakuan diskriminasi itu, apakah karena urusan domestiknya atau hal lain, Ia tidak boleh menjadi penghalang perjuangan perempuan Bali mencapai kesetaraan gender.
Begitupun para perempuan Bali yang selama ini berjuang untuk mencapai kesetaraan gender mesti hadir ke publik. Para pegiat sosial, aktivitas perempuan yang tergabung dalam LSM, aparatur negara yang mendapatkan amanah sebagai komisi perlindungan perempuan hadir untuk memberikan pembelaan terhadap para pekerja MC wanita yang telah mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Inilah waktunya bagi para kaum feminisme di Bali untuk mendobrak ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan. Berani melawan praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Selamat berjuang! [T]