Untuk membuka tulisan ini mungkin saya sedikit kebingungan memulainya dari mana, mencoba mencari titik terbaik untuk memulai. Ada sedikit perasaan berhati-hatian ketika ingin mengulas satu band yang sangat ternama ini.
“Rollfast” adalah sebuah kelompok band yang dikenal dengan Rock Psycdhelic di mata pendengar setianya. Sepak terjangnya dalam dunia musik tidak lagi diragukan, mungkin naif atau klise membaca kalimat tersebut di awal tulisan. Tapi memang begitu adanya. Sebagai seorang yang berdiri memakai kacamata ketiga tentu harus bersikap netral sesuai dengan pembacaannya melihat objek.
Mendengar cerita sejarah panjang “Rollfast” tentu adalah hal yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan, saya sedikit merasa beruntung bisa mengobrol ngalor-ngidul dengan salah satu personilnya, Bayu Krisna, yang memang lihai menceritakan bagaimana sejarah panjang “Rollfast”.
Dari awal terbentuk, atas dasar benang merah teman nongkrong dan teman kampus, di salah satu universitas negeri di Denpasar. Ketiga personil “Rollfast” adalah mahasiswa jebolan arsitektur yang kemudian iseng-iseng membentuk band dan akhirnya berjalan dengan serius hingga saat ini.
Sebagai mahasiswa jebolan arsitektur membentuk sebuah band bukanlah hal yang menjanjikan untuk mengaplikasikan lintas disiplin ilmu yang dimiliki, bukan begitu secara logika? Tapi jangan terlalu cepat untuk mempertanyakan apakah ilmu arsitektur mereka memiliki pengaruh yang besar dalam proses kreatifnya. Itu seolah kita melangkahi bagian anak tangga terbawah dan langsung memanjangkan langkah menggapai anak tangga kelima, atau bahkan langsung melompat ke puncak.
Mari kita mencoba lebih sabar dan sadar membaca sebuah band bukan hanya sebuah fashion dalam tanda kutip bisa dikatakan bukan hanya sekedar “trend”. “Rollfast” bisa kita pakai sebagai objek untuk observasi sebagai salah satu band yang patut dijadikan laboraturium dalam eksploratif melihat proses kreatif sebuah band.
Tapi sebelumnya, perlu digaris bawahi bahwa saya bukanlah tim sukses atau sengaja menciptakan dramaturg sebagai penulis kondang yang mengaggungkan Rollfast sebagai salah satu band yang sukses dalam kacamata saya. Kesadaran menulis ini hadir atas dialegtika yang saya bangun setelah beberapa pertemuan yang berulang dengan salah satu personilnya. Dan saya tidak akan mengatakan bahwa tulisan ini adalah informasi yang valid dan benar. Jangan-jangan hanya sebagai dasar bersama untuk membaca ulang, apa yang paling relevan dilakukan dalam nge-band hari ini?
Mari kita mencoba menggunakan “Rollfast” sebagai pusat objek. Memandang dan membayangkan nama “Rollfast” sebagai sebuah ruang. Sebagai sesuatu yang dapat kita pegang, mengelusnya, bahkan mengetahui detailnya secara permukaan.
Ketika album pertama mereka keluar dengan judul “Lanes Oil, Dream is Pry” pada tahun 2015, apa yang teman-teman lakukan pada tahun itu? Pada tahun itu saya sedang menjadi anak racing di kota kelahiran. Mereka telah mengeluarkan album perdananya dan langsung mempromosikannya dengan tour beberapa kota di Jawa seperti; Semarang, Jogjakarta, Solo dan tentunya di rumah mereka sendiri di Bali.
Band yang hari ini beranggotakan Agha Praditya (vokal), Aan Triandana (Bass), dan Bayu Krisna (gitar). Pada awal terbentuk band ini beranggotakan lima orang. Tapi hari ini tersisa tiga. Ya, namanya juga ngeband, siapa sih yang tahan berlama-lama dan berharap lebih?
Setelah album perdana mereka keluar, beberapa tahun kemudian mereka sempat juga mengeluarkan mini album berjudul “Skets – Live at Puri Agung JRO Kuta”. Teman-teman mungkin bisa mengaksesnya di Spotify atau platform musik lainnya agar lebih mudah.
Pada album “Skets” ini saya menemukan sebuah bentuk yang mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah eksplorasi bagi Rollfast. Mau kemana mereka sebagai sebuah band yang dikenal bergenre Rock Psycdhelic, seperti mempertanyakan ulang makna yang mereka usung.
Sebagai sebuah band Rock Psychedelic, “Rollfast” menemukan makna yang begitu luas dalam mengartikannya. Saya sendiri bingung ketika mempertanyakan ulang juga soal genre musik dalam sebuah band itu sendiri. Dengan kerasnya arus media sosial kali ini, ketika orang bebas berslancar kesana kemari.
Masihkah relevan mempertanyakan itu semua? Ya jelas jawabannya masih sebagai kepentingan lapisan kesekian, mungkin saya memang orang yang tidak tepat membicarakan itu. Maka saya mencoba pindah posisi dan melihat Rollfast pada sudut pandang lain. Kehadiran album “Skets” yang berisikan lima judul pyur tanpa lirik, tentu membuka ruang bebas intrepretasi bagi pendengarnya.
Yang kemudian ruang-ruang interpretasi itu menjadi begitu luas di mata pendengar mereka, itu adalah hal yang organik terjadi. Karena di setiap judul memang memberi ruang yang luas. Memberi bebas pemaknaan yang semu, atau bahkan mungkin tidak bermakna. “Rollfast” tidak memberi teks yang kuat di dalamnya, atau bahkan semestinya pendengar sendiri yang memberi makna dan teks itu. Begitu luas, bahkan saya sendiri tidak begitu fasih dalam membahasakannya.
Tapi saya meyakini bahwa tidak ada karya yang lahir dari kehampaan, sekalipun ada toh pada akhirnya ditempeli juga oleh intrepretasi yang dibesar-besarkan. Mungkin Rollfast memiliki pembacaan pencapaian lain dalam album mereka ini.
Kemudian pada tahun 2020 mungkin adalah tahun yang sangat fenomenal bagi Rollfast dan pendengar setianya. Di saat masa pandemi kian akrab terdengar dan terasa begitu dekat. “Rollfast” hadir dengan masalah-masalah baru yang mereka lempar ke publik. Mencoba melempar ruang interpretasi kembali, kali ini dengan ditempel bersama teks berupa lirik, bukannya memberi solusi “Rollfast” malah hadir dengan teks yang simbolis namun abu-abu.
“Garatuba” adalah album yang lahir di bawah naungan “La Munai Records”. Ketika saya mendengarkan setiap materi itu dengan berulang, seperti sebuah menemukan pondasi besar yang sedang dibangun oleh “Rollfast”. Bahwa kelompok ini sedang membangun sebuah karakter yang mereka ciptakan dengan membaca identitas dan tubuh mereka sendiri. Melihat bagaimana kondisi sosial, budaya, politik bahkan lebih jauh lagi hingga dunia percintaan hari ini.
“Rollfast” seperti melempar hal remeh temeh dalam kehidupan kesehariannya. Dengan mencoba menempelkan beberapa isu dan etnik yang begitu dekat dengan tubuh-tubuh mereka. Tapi saya tertarik untuk mempertanyakan bagaimana proses kreatif di balik layar mereka, obrolan dan observasi apa saja yang selama ini pendengar setia mereka tidak tahu. Ketika saya sering bertemu dan mengobrol seputar proses kreatif mereka bersama salah satu gitaris mereka Bayu Krisna, ternyata cukup menarik, lucu, sekaligus satir.
Bagaimana mereka berusaha mengumpulkan narasi yang sederhana dan receh untuk kemudian menjadi kesepakatan bersama dilempar sebagai sebuah masalah tanpa solusi. Sebagai sebuah narasi tanpa kesimpulan. “Rollfast” mungkin memang membentuk dirinya sebagai sebuah kelompok band yang memang tidak memberi solusi sama sekali, “Rollfast” merasa nyaman ketika apa yang dilemparnya ke publik menjadi perdebatan atau bahkan hal yang didiskusikan pada ruang-ruang kecil yang tidak terjamah. Menjadi hal yang memiliki interpretasi yang luas tanpa adanya sebuah kesimpulan.
Kesimpulan dianggap milik tiap pribadi si pendengar, pendengar mencoba diberikan hak penuh dalam mengartikan apa yang didengarnya. Tidak ada tuntutan harus begini begitu bagi Rollfast. Apa yang mendasari Rollfast mengambil sikap seperti itu? Dalam pembacaan saya hari ini, band-band kebanyakan memilih sebagai kelompok yang ekslusif yang harus didengarkan sepenuhnya. Bahkan bila perlu harus ditiru dari segi sikap atau lebih jauh lagi secara fashion. Seolah band-band yang muncul hari ini itu menganggap sebagai sebuah produk yang diciptakan bukan sebagai ruang dialegika. Melainkan sebagai sebuah produk yang tidak mau tahu ketika terjadi sebuah keresahan di lingkungannya hari ini. Masih menganggap berbeda ruang serta ada jarak antara nge-band dan apa yang terjadi di lingkungan dan tubuhnya sendiri.
“Rollfast” mencoba melempar keresahan itu dengan bentuk yang sebenarnya tidak nyaman jika didengarkan. Menempelkan isu dan narasi yang sangat dekat dengan tubuh dari tiap anggotanya. Bagaimana mereka merajut teks-teks yang begitu dekat kemudian dikemas menjadi sebuah bentukan yang baru. Menggabungkan banyak unsur yang tumpang tindih. Semisal pada beberapa lagu dalam album “Garatuba” pendengar akan akrab dengan suara musik tradisional seperti gendang dan gambelan Bali. Bahkan mereka juga menempelkan voice “Google translate”.
Bagaimana pendengar membaca itu sebagai sebuah hal yang sengaja dibangun? Apa tujuan dan maknanya kemudian? Sebagai pendengar pasti bebunyian itu sangat memberi efek berkelanjutan ketika didengar, setidaknya memberi keresahan kecil. Belum lagi jika misal bebunyian itu dikuatkan oleh teks lirik yang ditulis. Pun teks-teks yang mereka tulis juga bukan sebuah teks yang mengkerucut dan memiliki makna tunggal.
Perlu cocokologi abal-abal untuk membantu pendengar mencoba mengerti teks tersebut. Yang kemudian lagi-lagi saya curiga, apakah memang itu yang ingin dicapai oleh Rollfast? Menghasilkan banyak interpretasi dari tiap pendengarnya, jika iya untuk apa kemudian itu? Apakah akan ada dialegtika panjang antara pendengar dan penciptanya? Atau dibiarkan menjadi blur begitu saja?
Ini menjadi hal yang menarik ketika ternyata Rollfast katakanlah jika berbicara agak berat sedikit, mereka menganggap dirinya adalah bagian dari perkembangan budaya di tanahnya sendiri. Bahwa hal yang kaku dan adiluhung itu mungkin sepantasnya harus diakrabi oleh realitas hari ini. Sekali lagi, itu jika dibaca sebagai hal yang agak berat dan serius. Padahal nyatanya jangan-jangan mereka hanya sekedar melempar hal-hal sederhana nan receh? Kebebasan dan kesimpulan adalah milik pendengar mereka semua.
Kemudian beberapa waktu lalu Rollfast kembali merilis album berbentuk fisik kaset, berjudul “operasi;sen(sar)” yang berisi rekaman live perform mereka pada tahun 2018 di Cush-Cush Gallery, Denpasar. Rollfast memberi kutipan tentang performnya ini dengan narasi “Interpretasi suasana Denpasar selama 24 jam”. Yang diterbikan oleh “La Munai Records” berisi 10 rekaman track yang isinya hanya bebunyian noise tanpa arti.
Dibanding “Skets: Live at Puri Agung JRO Kuta”, “operasi;sen(sar)” jauh lebih sangat tidak memiliki makna. Jika album “Skets“ masih bisa enak didengar sebab masih ada nuansa musik yang harmoni untuk didengar, dalam “operasi;sen(sar)” jangan pernah teman-teman berharap ada nada yang harmoni yang dapat didengarkan. Pertama kali saya mendengar dan memutar kaset itu, saya tidak bisa berkata apa-apa. Sebagai sebuah band yang sudah memiliki power sekelas “Rollfast” kenapa merilis materi yang seperti ini untuk dijadikan rilisan fisik?
Saya tidak berhenti bertanya-tanya, saya buka cover kasetnya dan melihat artworknya yang sangat sederhana dengan potongan foto yang dicrop berbentuk seperti karet yang ditarik dengan 6 sisi. Dengan warna yang identek berwarna orange, hitam dan putih. Mendengarkan “operasi;sen(sar)” membuat saya tidak bisa meyakini bahwa apa yang saya dengarkan sudah sampai mana dan bagian apa? Sebab jika dilihat juga judul tracknya hanya berisi bilangan waktu, bilangan waktu yang penting dalam jam kehidupan masyrakat Bali.
Berisi 10 track dengan judul 06:00, Lemah, 02:46, 05:30, 12:00PEAK, 03:29, 05:39, SANDIKALA, 01:01, 05:59. Saya tidak tahu pasti bagaimana Rollfast membaca waktu yang dijadikan judul tersebut. Judul dalam track tersebut mendukung wacana perform live yang saya katakan tadi, “Interpretasi suasana Denpasar 24 jam”. Tapi ketika saya mendengarkannya bahkan kali ini sudah lebih dari 7x, saya masih belum menemukan titik pijakan yang kuat untuk menandakan bahwa saya sudah sampai pada bagian track yang mana. Karena ini pyur hanya eksplorasi Rollfast terhadap apa yang mereka geluti.
Apalagi menurut cerita dari salah satu personilnya bahwa dalam performnya kali itu mereka tidak ada saling bertemu sebelumnya. Jangankan untuk saling latihan, bertemu saja mereka satu sama lain hanya waktu di acara. Karena ada beberapa kepentingan antar individu tiap anggotanya. Mendengarkan “operasi;sen(sar)” saya seperti sedang dipaksa menikmati indahnya caruk-maruk kota Denpasar hari ini. Bising, polusi, macet.
Saya seperti sedang berada pada sebuah parjalanan menuju suatu tempat yang sunyi, ditemani bebunyian musik gendang yang ditepak barang sekali dua kali. Kemudian semakin lama ketika saya sudah semakin jauh, muncul suara-suara aneh dalam track tersebut. “Rollfast” menempel potongan suara berita, sirene ambulance, kemacetan kota, bunyi klakson, suara warga, dan kenalpot brong menjadi sebuah satu kesatuan yang tumpang tindih. Kemudian ada beberapa bunyi gitar yang harmoni tetapi tidak dimainkan begitu lama.
Bahkan jika boleh saya menyarankan untuk teman-teman yang ingin mendengarkan “operasi:sen(sar)”, jangan teman-teman pernah berpikir bahwa kaset ini adalah teman yang baik untuk menemani perjalanan panjang teman-teman dalam perjalanan. Sungguh tidak, itu bukan ide yang berilian dan bagus. Awal pertama saya mendengarkan waktu itu, saya sedang dalam perjalanan dan kebingungan mana audio yang dihasilkan kaset dan suara yang organik dari apa yang saya dengarkan. Dalam hati bahkan saya sedikit menyesal dan berkata, “sial, apa yang dibuat sama Rollfast ni, padahal berharap mendapat ketenangan di jalan.”
Kemudian untuk kedua kalinya saya mendengar di rumah, secara intim. Berdua hanya bersama “operasi;sen(sar)”, memang efek yang ditimbulkan ketika mendengarnya hanya merasakan seolah-olah kebisingan kota itu begitu dekat hari ini pada kehidupan orang-orang Bali. Bahkan tanpa disadari kesibukan itu kini berdampingan dengan hal yang spiritual dalam kehidupan orang-orang Bali. Misal, jika di desa terpencil di waktu sandikala atau waktu maghrib, masyarakat hampir semuanya memilih untuk berdiam diri di rumah tanpa saya tahu itu dasarnya kenapa, dan saya sangat setuju bahwa itu adalah waktu yang sakral.
Tapi di Denpasar hari ini, itu seolah bias. Mana sakral mana realitas itu sudah menjadi satu pada hari ini. Apalagi setelah beberapa pertemuan, saya menemukan kenyataan pula bahwa album “Garatuba” itu termasuk sangat dipengaruhi oleh “operasi;sen(sar)”. Bahwa bagi Rollfast, kelahiran “Garatuba” termasuk hasil dari usaha eksplorasi mereka ketika menggelar “operasi;sen(sar)”.
“operasi;sen(sar)” seperti menjadi sebuah laboraturium besar yang dibreakdown panjang oleh Rollfast. Memilah bagian mana yang kemudian bisa dikembangkan, ketika dmengetahui hal itu memang ada korelasi antara “operasi;sen(sar)” dan “Garatuba”. Ada hal yang dicomot-comot oleh Rollfast, menjelma puzzle yang kemudian mereka susun ulang menjadi “Garatuba”. Maka mendengar “operasi;sen(sar)” bagi saya adalah alat bantu untuk memperjelas kerasahan apa yang sedang Rollfast bangun. Apa yang kemudian ingin menjadi pembicaraan fokus bagi Rollfast. Meski tetap, lagi-lagi interpretasi itu balik lagi dikembalikan sebagai hak penuh milik si pendengar.
Membaca ulang “Rollfast” seperti membentuk sebuah puzzle yang berbeda-beda, meski sama bahan yang didengarkan tapi hasilnya berbeda. Tapi yang kemudian menjadi hal yang penting untuk dibaca kembali adalah jika terus menerus ruang interpretasi itu dibiarkan lepas tanpa ada dialegtika, itu mungkin akan seterusnya menjadi ruang yang abu-abu tapi sangat menegangkan.
Sebagai penutup saya tidak memberi kesimpulan pula bahwa harus seperti apa dan kesiapan apa yang mesti disiapkan untuk mendengar “Rollfast”, itu tidak ada. Saya rasa itu balik ke teman-teman sendiri. Menarik untuk dinantikan, hal keseharian apa lagi yang diresahkan dan akan diangkat oleh “Rollfast”. Salam. [T]