Hiruk pikuk di pelataran di Taman Dompu, Rumah Intaran, Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng, Bali, Sabtu, 4 September 2021. Orang-orang bercengkrama satu sama lain sembari menunggu kedatangan seniman-seniman yang saat itu akan tampil dalam acara kolaborasi peragaan busana seni dengan tema “Tutur Bumi” antara Tjok Istri Ratna, Rumah Intaran dan Seniman Buleleng mulai Dek Geh, Jro Dalang Sembroli dan Kadek Sonia Piscayanti.
Hari itu untuk kali kedua saya melihat pertunjukan yang disutradai oleh Tjok Istri Ratna, dua tahun sebelumnya dia pernah melaksanakan kegiatan serupa di Taman Dompu. Hanya saja yang membuat sedikit berbeda adalah, pertunjukan kali ini saya bersama teman-teman yang lain ikut berpartisipasi secara langsung, dengan memerankan diri sebagai tukang petik kelapa, sementara yang lainnya mendapatkan peran seperti pencari kayu bakar, pembawa kungkungan, penjual tempe bungkus daun dan lain sebagainya, sama sekali pementasan ini tidak didahului dengan persiapan, semua yang terlibat hanya perlu mendengarkan kata pengantar dari sutradara. Sementara property yang digunakan berasal dari bahan-bahan alami yang identik dengan Rumah Intaran seperti alat tenun, pewarna alami, tas anyaman hingga kungkungan.
Putu Yudi, seorang filmmaker juga terlibat dalam acara ini. Dia dibantu oleh beberapa fotografer seperti Komang Jayen telihat sangat sibuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan untuk merekam setiap adegan yang akan ditampilkan. Suasana sangat cerah, jadi diperlukan peralatan tambahan seperti V-Light untuk bisa mengatur pencahayaan di sekitar tempat pengambilan video.
Nampak saat itu Tjok Istri Ratna sedang membuka sebuah album tebal yang berisi lembaran-lembaran lusuh seputaran hasil penelitan yang dia lakukan untuk menemukenali kembali pengetahuan di balik keberadaan Wastra Bebali. “Tutur Bumi” sendiri merupakan pilihan kata yang mewakili mantra terdalam setiap entitas bernama “manusia” tentang kehadirannya dalam lintasan semesta, karya ini sendiri sudah dibuatnya sekitar dua tahun yang lalu.
Ada hal yang menarik tersirat dari untaian kata yang dilontarkan oleh Tjok Istri Ratna ketika menyampaikan kata pengantarnya di bawah pohon intaran, “Dan kenapa Krisna, dan kenapa Dompu, dan kenapa Rumah Intaran, wastra-wastra inilah yang memilihnya”. Suasana menjadi hening, seolah semua yang nampak hadir mengamini dan mempercayai bahwa energi dari wastra-wastra kuno ini yang telah memilih Rumah Intaran sebagai tempat diselenggarakannya acara ini.
Wastra Bebali adalah produk pemikiran tua yang tersurat dalam setiap tahapan upacara yang kini telah mengalami fase reflektifitas, pembacaan ulang praktik sosial secara terus menerus, diuji dan diubah berdasarkan informasi yang masuk, pencapaian efisiensi. Eksistensi wastra bebali nyaris hilang tanpa jejak, digerus oleh modernitas. Hanya saja sosok Tjok Istri Ratna memiliki keyakinan, keteguhan untuk senantiasa merajut pesan-pesan terdalam yang tertuang dalam beranekragam bahan dan motif di balik lembaran-lembaran wastra-wastra kuno yang dia temukan di balik rumah-rumah tetua, sulinggih yang tersimpan sejak ratusan tahun yang lalu.
Terdapat enam bagian dalam karya Tutur Bumi yang merupakan siklus kehidupan, pertama adalah jana yang mengambil saripati proses upacara tiga bulanan umat hindu di Bali, yang menjadi momentum pertama kalinya sosok manusia mulai bisa menangkap rasa melalui panca indra yang melekat dalam tubuhunya. Karya keduanya adalah atarwa, yang merupakan mantra penolak bala. Karya ketiga rawikara berarti berkah sinar matahari, keagungan raja dan ratu, menembus pikiran, sensorik panca indra. Karya keempatnya adalah santika, santika adalah karya mantra atau energi kekuatan spiritual perisai diri, banteng pemikiran. Karya kelima taraka yang berarti bintang bermata bintang, bintang di kejauhan dan ketajaman yang menembus pikiran dalam bentuk aneka rase bintang dan yang terakhir adalah jarih yang berarti bumi, dimana fase kebekuaan pikiran berhenti tanpa daya menghentikan pikiran daya.
Selanjutnya Tjok Istri Ratna mempersilahkan para peserta untuk melihat beberapa koleksi wastra-wastra kuno yang dibuat seratus hingga dua ratus tahun tahun yang lalu. Kaki kami melangkah menuju Pengalaman Rasa, ruangan yang biasanya digunakan untuk menjamu tamu-tamu yang berkunjung ke Rumah Intaran. Disana saya melihat, jejeran kain tua yang sudah dipersiapkan oleh Tjok Istri Ratna untuk nantinya akan dikenakan oleh para peserta yang akan ikut ambil bagian dalam acara peragaan busana “Tutur Bumi”.
Karena didorong oleh rasa penasaran, saya memegang satu diantara kain-kain yang ada, memang terasa tekstur kain agak kaku, kurang lentur. Tjok Istri Ratna menyampaikan jika itulah ciri dari wastra tradisonal, bahan wastra umumnya terbuat dari kapas Bali. Kerapatan dalam setiap helai wastra dipengaruhi oleh teknik-teknik penyisiran benang yang dilakukan saat proses penenunan, semakin halus sisiran, semakin rapat tesktur kain yang dihasilkan.
Satu diantara wastra yang diperkenalkan oleh Tjok Istri Ratna adalah kain milik koleksi keluarga Putu, salah satu staf Rumah Intaran yang berasal dari Julah. Konsep geometris lekat dengan desain-desain tua yang ada dalam wastra tradisonal itu, hal itu nampaknya menyiratkan pemaknaan spiritual akan hubungan proses penciptaan, hubungan antara manusia dan tuhan. Wastra tradisonal khas Julah ini digunakan sebagai sarana upakara dalam upacara pernikahan.
Hal yang mencengangkan yang mesti harus disadari dalam penemuan informasi yang didapatkan oleh Tjok Istri Ratna adalah, bahwa selama ini sangat jarang sekali masyarakat yang mengetahui makna philosofi yang tersirat di balik karya-karya wastra tradisonal. Ada keterputusan informasi, karena mereka para pengrajin jaman dahulu hanya sibuk dalam urusan penenunan, sementara informasi tentang motif desain dan juga kegunaannya tersimpan di griya atau kaum brahmana yang memesan kain tersebut.
Waktu berlalu begitu saja, jam menunjukan pukul 14.30. Panitia meminta para peserta untuk menikmati makan siang yang sudah dipersiapkan, menunya sangat special, tidak lain adalah nasi jinggo ayam kampung. Kami menikmati makan siang sembari menunggu giliran untuk menggunakan wastra kuno yang akan digunakan.
Terlihat satu persatu peserta keluar dari kamar ganti, suasana berubah menjadi semakin klasik, lebih-lebih arsitektur areal Rumah Intaran yang sangat cocok sekali dengan motif yang kami gunakan kala itu, terlihat sangat old style. Seakan berada di dimensi waktu berbeda, menjadi pribadi yang berbeda dengan balutan kain wastra tua yang membungkus tubuh.
Setelah selesai, kami berkumpul di Taman Dompu. Taman ini sangat indah dengan dekorasi batu-batu alam yang tersusun rapi, mengelilingi areal pertunjukan yang kerap digunakan untuk menggelar pertunjukan-pertunjukan seni di Rumah Intaran. Sang sutradara, Tjok Istri Ratna memberikan arahan tentang alur pertunjukan, bagaimana setiap orang yang terlibat melakonkan peran mereka. Tidak ada persiapan, semua spontanitas.
Tukang petik kelapa, itulah peran yang saya dapatkan. Kala itu, saya membawa empat buah kelapa yang saya pinggul dengan menggunakan sebatang pelepah daun kelapa. Terasa aneh, tapi saya benar-benar berusaha menikmati peran yang diberikan, tidak ada gerakan khusus, semua itu mengikuti alur alami laku keseharian saja.
Berduyun-duyun dengan jarak yang diatur agar tidak berkerumun, kami masuk melalui pintu masuk sebelah timur untuk berjalan perlahan melintasi jembatan Taman Dompu, saat itu saya berada di urutan kedua, di depan saya nampak seorang perempuan muda yang memegang dan mengibaskan beberapa helai daun intaran sebagai penanda dimulainya pertunjukan.
Semua peserta mencari tempat duduknya masing-masing, kemudian Tjok Istri Ratna memutar lagu yang dibawakan oleh Sujiwo Tedjo sebagai lagu pembuka yang mengatarkan para model busana utama memasuki areal pertunjukan ditemani oleh gerakan-gerakan eksotis dan menawan dari sosok seniman muda Dek Geh yang meliuk-liuk di atas jembatan Taman Dompu.
Semua seniman yang terlibat nampaknya sudah sangat menjiwai acara ini, tanpa pembekalan yang banyak mereka menampilkan karya-karya mereka, seperti Jro Dalang Sembroli yang memainkan cerita kelahiran tokoh Tualen dan Merdah yang terlahir ke dunia ini. Merdah bertanya kepada Tualen, “Siapa kita??, Mau kemana kita???, Kemana jalan kita pulang??” disertai dengan nynanyian satu bait pupuh Sucita-Subudi : “Sujatinya ada nyamar, nyilib tan tangehang gumi, ento ane manguripang, sarwa ne ade di hati, nanging keweh mamedasin, wireh sepi suwung samun, tanpa rawat tanpa matra, lesing kangkong, kadi gni jroning sela”.
Sementara Kadek Sonia Piscayanti membacakan puisi yang dia buat langsung saat itu, puisi ini terkait tentang makna manusia hidup di dunia, memberi makna ada menuju tiada dan kita hidup hanya sementara.
Gede Krena pemilik Rumah Intaran menyampaikan rasa terima kasih kepada Tjok Istri Ratna, yang telah memberikan kehormatan kepada Rumah Intaran untuk menjadi tuan rumah pagelaran wastra kuno bebali yang sudah berusia ratusan tahun, di Taman Dompu, Rumah Intaran. Dia berharap, pegelaran wastra kuno bebali serupa bisa dilaksanakan di Bali Utara kedepannya. [T]