Utang sejujurnya menjadi masalah pada masa pandemi yang merupakan persoalan banyak orang. Beberapa keluarga yang terlanjur berutang sebelum pandemi, tampaknya bisa mencicil sesuai dengan apa yang direncanakan tetapi tiba-tiba terhenti karena pekerjaan terganggu, penghasilan menurun, dan sebagainya.
Belakang ini saya sering menerima klien yang mengalami gangguan mental-emosional terkait permasalahan utang. Relaksasi dari pemerintah pun soal pembayaran utang belum menjadi sebuah solusi yang bisa membantu mereka. Kini, setelah setahun berjalan mereka baru menyadari bahwa sebenarnya relaksasi hanyalah menunda dan mereka tersadar utang mereka saat ini sudah bahkan lebih besar dari utang di awal karena bunga terus berjalan.
Tak dapat dipungkiri, utang di masa pandemi bagi sebagian orang menjadi pilihan, misalnya digunakan untuk investasi dalam bidang usaha atau pekerjaan yang baru ditekuni. Atau, mencari peluang baru di mana terdapat peluang-peluang baru yang bisa dimanfaatkan pada masa pandemi.
Hanya sebagian orang yang memilih berutang untuk keperluan konsumsi di masa sulit seperti sekarang ini. Kenyataannya, masih cukup banyak orang juga melakukan hal itu. Utang sebetulnya adalah hal yang sangat baik jika dilakukan dengan rencana dan perhitungan yang terukur. Darimana, hutang tersebut digunakan untuk apa, dan berapa perhitungan besaran yang bisa kita dapat dari investasi yang dilakukan.
Termasuk, kemungkinan terburuk dan kemungkinan terbaiknya. Dan, kita hitung juga apa dan dari mana kita bisa mengembalikan utang tersebut, berupa cicilan. Ketika kemungkinan terburuk terjadi, yakni saat kita tidak bisa melanjutkan cicilan, perlu juga disiapkan rencana terburuk apa yang kita lakukan, termasuk misalnya kehilangan aset yang dijaminkan.
Utang Patologis
Kali ini, saya juga akan membahas sisi kesehatan mental dari berutang. Ada kebiasaan berutang yang patologis, dalam artian tidak wajar. Jadi tidak dilakukan dengan rencana dan perhitungan terukur. Lebih banyak bersifat impulsif. Cukup banyak orang berutang hanya karena ada peluang untuk dapat berutang, entah tanpa jaminan atau dengan potongan dan bunga besar pun tetap diterima. Bagi mereka, yang terpenting bisa mendapat peluang menambah utang. Bahkan, ketika keperluannya tidak jelas atau tidak ada keperluan mendesak yang perlu diselesaikan dengan cara berutang. Dan, tidak mempunyai rencana dari mana dan bagaimana nanti mengembalikan hutang itu.
Banyak juga yang beralasan, berutang yang bersifat patologis ini digunakan untuk investasi, padahal investasi yang dilakukan lebih banyak bernuansa gambling atau spekulasi. Ada yang menekuni trading tetapi dengan dasar kemampuan yang tidak jelas, jadi hanya dengan bermodal emosi, atau karena teriming-imingi oleh kesuksesan orang lain yang cukup besar.
Padahal kita tahu trading jika dilakukan hanya dengan menggunakan emosi justru membuat diri kita gagal dan berutang lebih banyak. Akhirnya, banyak orang yang ‘gali lubang-tutup lubang’ untuk utang ini. Ketika ditanyakan sebenarnya uang hasil utang itu digunakan untuk apa, mereka sulit menjawab karena tidak ada barang yang tersisa dari hasil utang tersebut.
Pinjaman Online
Banyak didapati, orang-orang yang mengalami hal ini tidak belajar dari kesalahan, bahkan tidak merasa bersalah. Bahkan kini, dengan adanya pinjaman online yang sebenarnya tidak dijaminkan oleh pemerintah, membuat orang-orang yang mengalami hutang patologis ini banyak yang terjebak pada pinjaman online.
Beberapa klien saya mengatakan, justru mengalami kekerasan berbasis gender online ketika tidak mampu mengembalikan pinjaman. Di mana semua orang, keluarga, dan teman ditelepon berulang-ulang, bahkan ada yang diperas dengan cara bermacam-macam; dimintakan foto telanjang, diajak berhubungan seksual dan sebagainya. Hal ini menambah resiko masalah kesehatan mental akibat kekerasan tersebut.
Hal-hal ini dinamakan berutang patologis, gangguan jiwa yang merupakan varian dari judi patologis, yaitu sebuah kecanduan perilaku. Jadi, kecanduan saat ini tidak hanya berupa kecanduan zat atau narkoba tetapi ada juga adiksi atau kecanduan berupa perilaku, yang membuat kerusakan otak serupa dimana terdapat kerusakan di bagian-bagian otak yang membuat kita menjadi impulsif. Ingin segera mendapatkan kenyamanan ataupun reward di dalam otak kita, tanpa berpikir dengan matang.
Banyak sekali keluarga yang dihadapkan pada permasalahan utang seperti ini. Baru tahu setelah anggota keluarga berutang diam-diam, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Sebelum ditalangi atau dibayarkan oleh keluarga, ada baiknya memastikan bahwa utang-utang tersebut semua sudah terbuka, jangan sampai ada yang sebagian masih disembunyikan. Karena kebiasaan ini adalah gangguan mental, jadi perlu dikonsultasikan ke psikiater untuk ditangani.
Sebab, berutang patologis ini ada kaitannya dengan ketidakseimbangkan zat kimiawi di dalam otak, dan itu membutuhkan pengobatan dan terapi untuk memastikan bahwa hal ini tidak akan berulang. Karena, seringkali, saat menangani hutang tanpa menangani gangguan mental menyebabkan kebiasaan berhutang ini terjadi berulang-ulang.
Jadi, bisa kita tanyakan pada diri masing-masing; hutang yang kita lakukan wajar ataukah sudah patologis? [T]