Di Toya Pakeh, Nusa Penida, di pantai berpasir putih dengan banyak boat yang siap menyeberang ke Sanur maupun ke Tanjung Benoa, ada sebuah warung kecil. Namanya Warung Wahyu. Warung itu tampak sepi. Saya singgah memesan kelapa muda.
Saya datang ke Nusa Penida sebelum pemerintah menginstruksikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dan saya terjebak PPKM di pulau yang indah dan suci ini, yang disebut-sebut sebagai primadonanya wisata bahari dengan spot pantai instagramable ini. Saya keliling-keliling, dan bertemu Warung Wahyu.
Saya ngobrol dengan Ibu Restu, sang pemilik warung. Nama aslinya Nurul Hasna. Perempuan 49 tahun, seorang muslim Nusa Penida yang nenek moyangnya berasal dari nelayan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bersama bapak Restu yang merupakan suaminya, Ibu Restu bercerita bagaimana Nusa Penida, dari sepi kemudian ramai kemudian sepi lagi.
“Awalnya saya berjualan souvenir dari kerang 10 tahun yang lalu. Tamu masih jarang memang, tapi sudah sering ada orang lokal yang liburan menyeberang ke sini,” kenangnya.
Ketika wisatawan ramai berkunjung, ia menjual makanan. Warungnya tetap sederhana. Ibu Restu, meski tak pernah menempuh pendidikan formal, apalagi belajar masak memasak di kampus, ternyata masakannya lumayan disukai.
Dari menjadi pedagang acung di pantai, dengan kemampuan memasak rumahan yang dimiliki akhirnya ia kukuhkan diri untk membuka warung kecil, Warung Wahyu. Makanan yang disediakan juga bervariasi. Dari menu lokal, vegetarian, sampai western food.
Western food? Iya, Ibu Restu belajar mengolah masakan barat dari seorang teman, tamu dari Perancis. Wah, luas juga pergaulan Ibu Restu.
Dari pergaulannya dengan orang-orang asing itulah kemampuan untuk memasak segala menu didapat kemudian. Tak jarang warungnya tiba-tiba mendapatkan kunjungan dan pesanan dari penjabat seperti gubernur, bupati bahkan sampai artis, sebut saja Ria Ricis yang paling baru mencicipi makanan Ibu Restu ini.
Dan tak sekedar datang sekali. Pelanggannya bisa berkali-kali datang, sampai pelanggan sudah menjadi seperti bagian keluarga.
Pada saat pandemi, semangat Ibu Restu tak pernah pudar. Ia tetap berjualan, meski hasilnya tak seperti dulu ketika pariwisata masih gebyar.
“Saya hidup aman, insya alah nyaman,” katanya.
Dulu waktu sebelum pandemi paling sedikit ia bisa berjualan dengan hasil 8 juta per hari .
“Saat itu uang gampang datang, tapi cepat juga habis,. Sekarang meski hasilnya sedikit, pengeluaran ditekan, bertahannya pun lama. Kami sudah sangat bersyukur,” katanya.
Dan saya mengangguk-angguk saja. Semoga semua baik-baik saja. [T]