Nuansa kelingkungan hidupan yang tercermin dalam karya-karya cerpen pemenang lomba Bulan Bahasa Bali 2021 memang dipantik oleh tema Wana Pinaka Prananing Kauripan. Tentu dalam menulis sastra penentuan tema tidak melumpuhkan kebebasan penulis untuk mengembangkan imajinasinya. Satu tema bisa berkembang menjadi banyak tulisan bahkan dihidupi oleh pengembangan-pengembangan yang tidak terduga. Dalam jenis penulisan yang lebih bakupun seperti artikel penentuan tema acapkali digunakan sebagai pengukur profesionalitas seorang penulis.
Rahardi (2006:45-46) menyatakan bahwa penulis yang mampu mengembangkan tema apa saja dengan sama baiknya digolongkan sebagai penulis professional dengan kemampuan menulis tinggi. Baik dalam tulisan sastra maupun non sastra penetapan tema menjadi semacam stimulan. Tema ini akan menggali imajinasi maupun pandangan-pandangan yang ada pada diri masing-masing penulis mengenai suatu hal. Suatu hal yang menarik adalah Pendidikan kelingkunganhidupan kini merupakan kebutuhan mendesak. Terbukti seberapa mutakhirpun metode pembelajaran belum lengkap jika tidak memberikan ruang bagi pelestarian bumi. Manusia tidak bisa hanya hidup dari alat-alat canggih atau Gedung-gedung pencakar langit.
Tiga cerpen yang menjadi pemenang dalam Bulan Bahasa Bali 2021 adalah Léak Ngalas karya I Putu Suweka Oka Sugiharta, Ngempi ring Alas Embid karya I Wayan Wikana, dan Madé Wana lan Klebutan ring Ulun Désa. Ketiga cerpen tersebut beserta 7 cerpen lainnya termuat dalam buku Pupulan 10 Cerpen miwah 20 Puisi Pinaka Jayanti Sajeroning Wimbakara Bulan Bahasa Bali III Warsa 2021.
Ekokritik sendiri dalam sejarahnya adalah hasil kolaborasi antara kajian kritis dan lingkungan. Upaya kritik lingkungan ini terjadi tentu diakibatkan oleh berbagai pergeseran yang terjadi di dalamnya yang diakibatkan ulah manusia. Sastra dalam hal ini memiliki ruang yang sangat luas untuk membahasakan pergeseran-pergeseran tersebut yang tidak hanya berkutat dalam data-data faktual. Sastra memiliki aspek imajinatif yang dapat berkembang dengan seluas-luasnya namun tetap terarah. Salah satu pendapat yang menjembatani itu dikemukakan Greg Garrard (2004) bahwa ekoritisme menawarkan ‘pembayangan’ dan ‘penggamabaran’ tentang hubungan manusia dan lingkungannya.
Pencinta lingkungan adalah Orang-orang yang Terpinggirkan Bahkan Teraniaya
Keterasingan dan nasib-nasib buruk yang dialami tokok-tokoh dalam sastra digambarkan Gifford dalam model kajian narasi pastoral. Gifford (1991:1) menyebut keterasingan ini sebagai pelarian diri (retreat) atau kembali (return) menuju alam pedesaan atau kebiasaan masa lampau. Akibat dari retreat dan return itu tokoh-tokoh pencinta lingkungan menjadi berbeda, dianggap aneh, bahkan dimusuhi oleh lingkungan sekitarnya. Cerpen Léak Ngalas menampilkan tokoh Dadong Wangi, seorang janda renta yang menjalani pernikahan bukan atas kehendaknya sendiri.
Sebenarnya Dadong Wangi tidak begitu tertarik untuk mencari pasangan, namun fokus menjaga hutan kecil yang diperoleh dari leluhurnya. Hal inilah yang menyebabkan Dadong Wangi dumusuhi oleh kerabat-kerabat dekatnya yang ingin menjual hutan warisan yang ditempati Dadong Wangi. Terlebih keponakan-keponakannya sangat berhasrat menjual hutan kecil itu kepada investor untuk selanjutnya dibanguni Villa. Perlawanan Dadong Wangi kepada kehendak jahat kerabat-kerabatnya terlihat dari keteguhan hatinya untuk pergi dari rumah suami-suaminya, kembali ke hutan warisan leluhurnya.
Setelah usaha pertamanya mengalami kegagalan, kerabat-kerabatnya menyusun rencana lain untuk menyingkirkan Dadong Wangi. Janda tua itu dilaporkan ke sebuah yayasan yang menangani para lanjut usia terlantar. Seolah-olah Dadong Wangi adalah lansia terbelit kemiskinan yang tidak berdaya dalam hutan. Seakan-akan pula Dadong Wangi sangat mendesak untuk dibantu. Informasi itulah yang menyebabkan tokoh Putu Puspita yang merupakan salah satu anggota Yayasan diutus untuk mendatangi langsung tempat Dadong Wangi menjalani kesehariannya.
Manakala dengan penuh percaya diri Putu Puspita telah membawakan bantuan sembako yang sebelumnya diyakininya sangat dibutuhkan oleh seorang lansia terlantar, dugaan itu berubah manakala Putu Puspita telah memasuki hutan kecil dimana Dadong Wangi Tinggal. Kediaman Dadong wangi ternyata adalah tempat yang dipenuhi keasrian. Tiada tampak jika penghuninya tengah menderita misalnya karena kekurangan makanan. Malahan bungkusan sembako yang diberikan Putu Puspita dibalas dengan madu lebah trigona.
Apabila dihitung nominalnya tentu harga madu itu sangat tinggi. Merasa gagal ‘menjual’ keterlantaran Dadong Wangi, Nyoman Bontoan salah satu keponakan Dadong Wangi kemudian menyusun siasat lain. Tokoh ini berupaya mempengaruhi Putu Puspita dengan cerita mistik. Dadong Wangi difitnah menguasai ilmu hitam (ngléak) dan ilmunya akan terus berkembang menjadi makin sempurna apabila terus menerus berdiam dalam hutan. Hasutan yang sama juga telah lama disebarluaskan oleh Nyoman Bontoan kepada para warga desa.
Dahulu Dadong Wangi banyak membantu orang yang sakit karena memiliki kebun tanaman obat di sekitar rumahnya. Semenjak Nyoman Bontoan menyebarluaskan fitnah tidak ada lagi warga desa yang mendatangi Dadong Wangi untuk meminta bahan obat. Kali ini Nyoman Bontoan menghasut Putu Puspita agar membantu dirinya mengeluarkan orangtua tersebut dari dalam hutan. Dengan begitu ilmu hitam yang dimilikinya akan hilang. Putu Puspita yang termakan hasutan Nyoman Bontoan menjadi membenci Dadong Wangi. berupaya sekuat tenaga untuk merayu Dadong Wangi agar mau dipindahkan dari hutan meskipun usahanya tersebut sia-sia belaka.
Keterasingan yang sama juga dialami tokoh Pekak Wana dalam cerpen Ngempi Alas Embid. Pekak Wana adalah orangtua pencinta lingkungan yang mendiami suatu Kawasan hutan dan jauh dari pemukiman penduduk pada umumnya. Mulanya ia mendiami rumah yang berada di tepi pantai namun karena anaknya mendirikan Villa di tempat itu Pekak Wana tergusur ke tempat tinggalnya sekarang. Mirip dengan tokoh Dadong Wangi dalam cerpen Léak Ngalas, awalnya lelaki ini adalah seorang penyembuh tradisional yang dengan ringan tangan membantu orang-orang di sekitanya.
Sayangnya ketika orang-orang yang berniat jahat menyebarluaskan fitnah, Pekak Wana ditinggalkan pasien-pasiennya. Orang jahat yang digambarkan tiada lain dari anak cucunya sendiri yang kini malahan ingin menggusur Pekak Wana dari pondoknya di perbatasan hutan dan desa. Tempat itu rencananya akan dijual ke investor untuk dijadikan villa. Praktis orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari proyek besar itu bahu membahu turut memojokkan Pekak Wana. Bahkan pihak desa yang sepatutnya memberikan pernaungan bagi warganya yang terdiksriminasi malahan turut mematangkan rencana perusakan lingkungan itu.
Tempat tinggal dan bidang keahlian Pekak Wana justru dijadikan sebagai bahan fitnah yang sempurna. Pekak Wana disebut menguasai ilmu yang mendua, selain ilmu putih juga ilmu hitam. Tempat tinggalnya di dalam hutan akan melancarkan aksinya untuk meminta bantuan kepada mahluk-makhluk halus yang berdiam disana. Pekak Wanapun melakukan perlawanan seperti tidak mau pergi dari pondoknya di tepi hutan maupun menentang himbauan-himbauan perangkat desa yang disampaikan kepadanya.
Dalam cerpen Madé Wana lan Klebutan ring Ulun Désa tertampilkan tokoh nuansa yang berbeda. Berbeda dari dua cerpen sebelumnya yang menggambarkan tokoh pencinta lingkungan yang disisihkan adalah golongan sepuh. Dalam cerpen ini pecinta lingkungan itu dilukiskan sebagai seorang anak kecil bernama Madé Wana yang masih duduk di bangku kelas 4 SD. Penampilan tokoh belia ini dapat membawa pesan jika pecinta-pecinta lingkungan yang dimarginalkan oleh lingkungannya bukan cuma karena perbedaan generasi.
Namun orang-orang dengan kelompok usia yang samapun berpotensi melakukan hal tersebut. Dengan demikian masalah pelestarian lingkungan bukan sekadar trend yang menjangkiti monousia tertentu, tetapi lintas umur maupun generasi. Idealisme cinta lingkungan yang diperlihatkan Made Wana dalam cerpen ini terlihat sangat halus. Begitu pula dengan konflik yang nantinya terjalin dengan tokoh-tokoh lain yang ada di sekitanya. Madé Wana mengungkapkan kecintaannya kepada lingkungan dengan terus menerus menggambar objek yang sama yakni mata air dan pancuran yang ada di hulu desa.
Orang-orang dewasa yang ada di sekitar Madé Wana justru tidak pahan dengan ‘pesan gambar’ yang disampaikannya. Padahal jika ditelaah lebih lanjut tentu keberadaan mata air berelasi erat dengan kelestarian hutan maupun pepohonan yang ada di hulunya yang dalam cerpen ini dinamai sebagai alas tutupan. Mata air dan pancuran yang dilukis Madé Wana memegang peran yang sangat vital pada penduduk Désa Kawiswara seperti untuk mengairi sawah, membersihkan diri, keperluan ritual, dan kepentingan lainnya. Khusus untuk ritual mata air ini digunakan untuk memandikan anak yang baru lahir lewat prosesi macolongan.
Madé Wana diceritakan demikian terlena menyaksikan tiap ada anak kecil yang tubuhnya sedang dibasuh di mata air itu. Ia akan mengabadikannya dalam lukisan. Silang pendapat terjadi antara Madé Wana justru dengan tokoh-tokoh yang lebih tua. Terutama Ketika ia mengungkapkan jika Madé Wana menceritakan jika rasa gerah dan haus dalam dirinya akan hilang dengan menggambar mata air dan pancuran.
Seperti Ketika Kak Sugati melontarkan pertanyaan itu, Madé Wana menceritakan pengalamannya ketika tubuhnya menjadi gerah sehabis main kejar-kejaran dengan kawan-kawannya di sebelah selatan desa. Ajaibnya dalam isirahatnya Ketika ia mulai menggambar, rasa gerahnya itu perlahan lenyap. Kak Sugati hanya tersenyum geli mendengar jawaban Madé Wana. Konflik yang lebih serius tampak manakala terjadi dialog dengan tokoh Nyoman Suarka. Tokoh ini menuduh Madé Bawa berbohong ketika menyebut bila menggambar dapat menghilangkan rasa haus.
Kesimpulan dialog itu mengarah kepada rasa jengah dalam diri Nyoman Suarka manakala percakapan dengan Madé Bawa menghasilkan kesimpulan seolah-olah jika dirinya tidak mampu merasakan segarnya mata air lewat melukis karena tidak memiliki keahlian menggambar. Kegagalan komunikasi yang dialami Madé Bawa dengan orang-orang yang ada di sekitarnya yang tidak paham dengan maksud dari lukisan-lukisannya dalam beberapa segi melukiskan kegagalan literasi kelingkunganhidupan. Tokoh-tokoh yang dewasa secara umur malahan demikian girang ketika mendengar rencana pembangunan desanya yang mengancam kelestarian hutan dan tentu saja mata air yang bertekun dilukis Madé Bawa.
Akhir dari ketiga cerpen menampilkan kondisi yang sama, keterasingan si tokoh utama beserta ide-idenya yang belum mampu tersebarluas. Dadong Wangi harus menemui ajal karena penderitaan fisik akibat kejahatan yang dilakukan Nyoman Bontoan. Pekak Wana juga mengalami nasib serupa karena penderitaan psikis yang melebihi daya tamping otaknya. Sementara Madé Wana tetap menggambar, tidak ada yang bisa memahami jalan pikirannya. Ketiga tokoh itu mengalami keterasingan fisik, emosional, hingga simbolik.
Ketidakberdayaan karena Tekanan yang Masif
Ketiadaan kuasa pada golongan-golongan proletar merupakan corak dari kapitalisme yang menyebar dengan kuat. Kekuasaan hanya dimiliki kauh borjuis/ kapitalis yang memiliki modal dan menjadi tumpuan hidup kalangan proletar. Kaum proletar sendiri hanya bisa mengalah demi keamanannya sendiri bahkan dengan sukarela masuk dalam perangkap tipudaya. Seolah-olah turut merasakan kebahagiaan dan kemajuan yang dijanjikan kaum borjuis.
Ketidakberdayaan dalam cerpen Léak Ngalas terutama dialami oleh Putu Puspita yang tidak mampu menolong Dadong Wangi yang sejatinya memiliki upaya luhur untuk menjaga lingkungan. Putu Puspita bahkan tidak kuasa melepaskan dirinya dari jerat tipu daya yang disebarluaskan Nyoman Bontoan dan kelompoknya. Ia hanya bisa menyesali diri ketika Dadong Wangi telah menjadi korban dan menyadari jika perjuangan yang dijalani Dadong Wangi tidaklah mudah. Dalam cerpen ini juga dilukiskan ketidakberdayaan pemilik warung di tepi bukit yang sebelumnya demikian takut dengan teror yang dilakukan Nyoman Bontoan. Lelaki ini juga tidak mampu memberikan perlindungan kepada Dadong Wangi yang diketahuinya dalam posisi benar.
Pada cerpen Ngempi ring Alas Embid rasa penyesalan yang tak terbendung meliputi diri Gedé Putra karena turut menjadi sebab kematian Pekak Wana. Walaupun begitu ia juga tidak berdaya dalam tekanan anak Pekak Wana dan pihak lain yang berkepentingan. Ia hanya bisa menyimpan rasa penyesalan dan rasa salah langkahnya sendiri. Termasuk ketika orang-orang yang berkepentingan bersorak atas kematian Pekak Wana. Itu sungguh tidak manusiawi tetapi orang-orang seperti Gedé Putra hanya bisa diam. Sementara Pada cerpen Madé Wana lan Klebutan ring Ulun Desa ketidakberdayaan itu digambarkan dengan rasa frustasi dalam diri Madé yang memilih menuangkan kecintaannya kepada alam di atas buku gambar. Sedangkan orang-orang terdekatnyapun tidak mampu memahami pesan cinta lingkungan itu.
Peluang dan Peran Masa Depan Pendidikan Ekokritik
Pendidikan Ekokritisme yang terkandung dalam karya sastra sebenarnya memiliki peluang yang demikian strategis untuk membawa misi pelestarian lingkungan hidup. Cara semacam ini tentu saja lebih lentur ketimbang tulisan-tulisan ilmiah kadar tinggi yang memerlukan modal cara memahami lebih kompleks. Sebagaimana kini mulai menjamur bentuk-bentuk sekolah seperti sekolah alam. Selain itu sastra dapat dibaca lebih santai bahkan bernuansa rekreatif untuk semua kalangan. Kendatipun harus diakui jika nilai ekokritik dalam sastra juga bergantung penuh kepada perkembangan literasi kesusastraan pada suatu wilayah.
Manakala ada kemandegan literasi tentu ekokritik juga tersumbat dengan sendirinya. Literasi kesusatraan sesungguhnya mampu berjalan harmonis tanpa saling mengganggu dengan kampanye pelestarian lingkungan. Dalam sastra daerah kegemaran pada karya sastra yang memakai bahasa ibu perlu digalakkan. Ketika timbul kecintaan maka nilai-nilai yang terkandung dalam sastra dapat mudah menjelma dalam sikap maupun perilaku. Upaya ini dapat menghasilkan keuntungan yang integral seperti kemajuan budaya, kemajuan kemajuan bahasa, dan masa depan baik dalam etika lingkungan hidup. [T]