Mungkin terdengar berlebihan, tapi bagi penggemar fanatik sepakbola dua kali sembilan puluh menit laga tak ada bedanya dengan perang di masa lampau. Begitu menguras emosi, tawa dan tangis bisa terjadi bersamaan di ujung laga. Perang udara yang meluluh lantakkan kota London saat perang dunia ke- 2, tak cukup membuat rakyat Inggris takluk kepada Nazi Jerman yang dikomandoi Adolf Hitler.
Jadi setiap kali kedua tim ini bertemu pada fase menentukan sebuah kompetisi, ungkapan Battle of Britain pasti menggema kembali.
Duel terkahir mereka di babak knock out piala Eropa, terjadi pada tahun 1996 pada babak semifinal yang diadakan di stadion kebanggaan Inggris, stadion Wembley. Sehari sebelum laga yang dimenangi Jerman itu, koran- koran Inggris dipenuhi wajah perusak Stuart Pearce yang bertuliskan semboyan Inggris saat memenangi perang dunia ke-2 atas Nazi Jerman. Achtung, Surrender, begitu bunyi tulisan itu, yang bisa diterjemahkan sederhana : Lawan, jangan pernah menyerah.
Saya mulai menonton bola sejak usia 9 tahun, saat Argentina yang diperkuat Maradona menjadi juara dunia. Saat itu hampir semua orang yang saya kenal mengidolakan timnas Argentina dengan Maradonanya. Tapi untuk saat ini, dengan sepenuh hati saya akui cinta kedua saya pada timnas sepakbola, setelah tim merah putih pastinya, adalah tim tiga singa, julukan keren dari tim nasional Inggris, singa yang terlihat menakutkan tapi belum bisa membukitkan tajam cakarnya, setidaknya sampai hari ini .
Cerita guru saya tentang kehebatan Inggris pada perang Malvinas cukup merubah pandangan saya. Dan celotehan dari seorang kakak angkat yang rajin pinjamkan buku pada saya juga sangat menyentuh.” Pemain Inggris adalah pemain paling sportif, tak pernah terlihat mereka bersandiwara di lapangan”.Begitu katanya. Maradona pun jujur mengakui, dia tak akan bisa mencetak gol seindah itu andai lawannya bukan timnas Inggris. Sejak saat itulah cinta saya bertambah penuh pada mereka.
Sejarah mencatat timnas Inggris hanya sekali menjadi juara dunia yaitu pada perhelatan tahun 1966 yang diadakan di rumah mereka sendiri. Di ajang piala eropa sendiri, seperti yang sedang berlangsung hari ini, mereka paling maksimal mencapai babak semi final pada tahun 1996 yang diadakan di rumah mereka sendiri juga. Dan mirisnya tim yang mengalahkan mereka adalah timnas Jerman yang nanti akan dihadapi juga pada babak 16 besar , hari selasa tengah malam waktu Indonesia tengah.
Begitu traumanya orang Inggris kepada Jerman di lapangan hijau, sampai sampai legenda mereka Gary Lineker mempunyai anekdot yang cukup memprihatinkan.” Sepakbola adalah permainan yang melibatkan 22 orang di lapangan hijau, dan pemenangnya sudah bisa diduga, pastilah orang Jerman”. Timnas Jerman ibarat batu kryptonite buat Inggris, antidote, yang membuat mereka mati kutu saat bertemu di lapangan, terutama dalam event mayor kompetisi sepakbola.
Tapi apakah itu sepenuhnya benar? Tak bisakah orang Inggris mengalahkan Jerman di lapangan hijau dalam ajang resmi, di luar laga persahabatan. Sebagai pecinta tim tiga singa saya akan coba memberikan kesaksian tentang laga yang melibatkan kedua tim ini di ajang resmi sepakbola.
Pertemuan pertama yang bisa saya kenang setelah menjadi pecinta timnas Inggris adalah laga semifinal piala Eropa tahun 1996 saat Inggris menjadi tuan rumahnya. Saat itu laga berlangsung seimbang, skor 1-1 sampai wasit meniup peluit panjang. Gol Alan Sherarer memanfaatkan sepak pojok, dibalas tuntas oleh striker veteran Stephen Kuntz. Laga dilanjutkan dengan adu penalti, dan semua penendang berhasil memasukkan bola ke gawang, kecuali satu orang yaitu bek tengah Gareth Southgate ( pelatih Inggris saat ini) . Inggris menangis sepakbola tak jadi pulang Ke rumah, dan akhirnya Jerman yang juara.
Duel berikutnya tersaji di fase grup piala eropa tahun 2000 yang diselenggarakan bersama oleh Belanda dan Belgia. Dua tim yang sama-sama sedang menurun berlaga di laga kedua. Satu gol Alan Shearer menyambut umpan David Beckham menyudahi laga dengan keunggulan Inggris 1-0 atas Jerman. Tapi sialnya kedua tim tak lolos ke babak berikutnya karena kalah bersaing dengan dua muka baru yaitu Portugal dan Rumania.
Laga ke 3 berlangsung di Muenchen, kualifikasi piala dunia 2002 Jepang dan Korea Selatan. Timnas Inggris yang kalah 0-1 di Wembley, mesti menang untuk bisa maju ke putaran final di Korea selatan dan Jepang. Dan inilah salah satu laga terbaik Inggris yang saya lihat. Taktik yang diterapkan Sven Goran Erisson terbukti manjur. Timnas Jerman dihajar telak 1-5 oleh gelontoran gol yang dicetak Michael Owen, Emiley Heskey dan tendangan geledek Steven Gerrard. Michael Owen sampai tak percaya dan merasa bermimpi,” ya Tuhan, kita kalahkan Jerman 5-1 di halaman belakang rumahnya sendiri”.
Laga terakhir yang masih bisa saya kenang terjadi pada babak 16 besar piala dunia 2010 yang berlangsung di Afrika selatan. Saat itu timnas Inggris berada di atas angin, diperkuat nama nama beken seperti Frank Lampard dan Steven Gerrad dan diarsiteki pelatih kawakan dari Italia yaitu Fabio Cappelo . Mereka ditantang tim Jerman yang masih polos, pemain muda yang tak banyak dikenal, yang diorbitkan pelatih mereka Joachim Loew.
Dan hasil akhir laga membuktikan sebaliknya, kaki kaki cepat dan kuat anak muda Jerman membuat jagoan gaek Inggris bertekuk lutut. Mereka kalah telak 1-4. Satu yang saya ingat, gelandang Inggris Gareth Bary kepayahan mengejar lari Mezut Ozil, anak imigran Turki yang kemudian jadi bintang turnamen ini. Laga ini juga ditandai dengan tak diakuinya gol hasil sepakan Frank Lampard yang dari tayangan ulang terlihat jelas sudah melewati garis gawang. Dan saya ingat setelah kejadian inilah, wacana penggunaan tayangan video untuk membantu wasit sudah mengemuka. Dan akhirnya sampai edisi piala eropa saat inilah penggunanann VAR mulai diperkenalkan.
Dari sekian kenangan yang coba saya bagikan tadi, lalu apa harapan saya terhadap timnas Inggris yang kembali bertemu musuh bebuyutan mereka, di Wembley pada babak 16 besar Eropa pada selasa tengah malam nanti ? Yang pertama, pasti berlaku adagium bola itu bundar, jadi tak ada tim yang tak bisa dikalahkan. Tak ada tabu yang masih berlaku di jagat sepakbola saat ini. Piala Eropa terdahulu sudah membuktikan. Jerman tak bisa kalahkan italia di laga besar, terbukti sudah punah, lalu Perancis pasti kalah lawan Jerman, ternyata musnah juga di babak semi final. Jadi kalau saat ini saya berharap Inggris kalahkan Jerman di babak 16 besar inipun, rasanya saya tak akan dianggap berlebihan.
Jerman saat ini saya lihat seperti Jerman tahun 2010, saat dikuat pemain pemain muda tak terkenal seperti Mezut Ozil dan Sami Khedira. Jerman saat ini juga diperkuat pemain baru dengan gairah yang meluap luap. Kai Havert yang kalem, Serge Gnabry yang energik dan bek kiri Robbie Gossen yang tak kenal lelah cukup membuat ciut semua lawan mereka, tak terkecuali sang juara dunia Perancis.
Lalu bagaimana dengan Inggris saat ini,jujur saya melihat tak banyak yang berubah dari terakhir saya melihat mereka di piala dunia Russia kemarin. Miskin ide, tak kreati,f monoton dan terlalu berharap pada skema bola mati, yang terbukti sampai laga ke tiga tak menghasikam gol atau satu peluang emas pun.Jauh di hati kecil saya takut mereka terbantai di halaman belakang rumahnya sendiri oleh Jerman.
Untuk mengomentari permainan Inggris sejauh 3 laga ini dan peluang mereka merebut gelar juara di awal Juli nanti rasanya saya tak perlu bicara banyak, cukup saya kutip pernyataan dua orang dari negeri ratu Elizabeth ini saja.” Pemain timnas Inggris selau begitu, tampil hebat di klub dan terlihat kesulitan saat main di timnas, tanpa ide, tak mengalir, monoton selalu begitu dari tahun ke tahun”, ucap seorang supporter yang saya baca di kompas.
Salah satu bek kanan terbaik Inggris di masa lalu, Garry Neville juga terasa sudah pasrah dengan situasi ini, komentarnya singkat,” kita tak berharap bisa dominan melawan tim-tim seperti Jerman, Perancis maupun Italia. Cukuplah seperti ini, perkuat pertahanan, lalu tunggu momen momen ajaib terciptanya gol dari satu dua pemain yang bermain bagus, pertahankan itu dan laga final bisa kita capai”.
Dari sekian tahun mencintai tim ini, dan berdasarkan pengalaman yang saya ceritakan di atas saya mengambil setidaknya dua kesimpulan. Sampai kapan pun, Inggris tak akan bisa menjuarai sebuah turnamen mayor, tanpa adanya sosok playmaker (fantasista) di poros permainan. Phil Foden bagus dan cepat di sayap, Jack Grealish dan Masont Mount tak kalah bagus, tapi mereka beroperasi di pinggir, peluangnya membuat keajaiban lebih kecil dibanding saat itu dilakukan dari tengah. Kalau mereka bisa dimatikan satu atau dua bek lawan, habislah permainan Inggris. Dulu mereka pernah punya Paul Gascoigne yang jenius, berani pegang bola lama dan pintar melihat ruang kosong. Sayang sekali karena kecanduan alkohol, masa edarnya di timnas Inggris terasa pendek. Praktis dia cuma bisa merasakan satu piala dunia dan satu piala Eropa bersama timnas Inggris. Saya berkhayal andai ada satu pemain sekelas Bruno Fernandes di tim ini sekarang, piala Henry Delaunay bukanlah harapan semata.
Kesimpulan terakhir, permainan timnas Inggris terlihat lebih menarik saat ditangani pelatih asing. Saat dipegang Sven Goran Ericsson dan Fabio Capello timnas Inggris terlihat lebih menjanjikan secara permainan, meskipun akhirnya tak meraih gelar juara, Jadi harapan saya seandainya nanti tim ini tak bisa juara, kursi Southgate mesti segera diambil alih. Sosok Juergen Klopp dan Thomas Tuchel rasanya adalah sosok yang pas untuk menggairahkan permainan tim ini kembali.
Akhir kata kalau saya ditanya apakah saya masih berharap Inggris bisa kalahkan Jerman malam nanti. Dengan jujur saya katakan, andai itu terjadi dan timnas Inggris bablas sampai akhir nanti juara Eropa. Itu akan menambah tebal dompet saya, saya bertaruh banyak untuk tim ini, tabikkk. {T]