Akhirnya, setelah tertunda setahun, EURO 2020 dimulai, Sabtu 12 Juni 2021 dini hari. Lalu bayangkan, anda duduk di salah satu tempat, dekat salah satu venue pertandingan yang tersebar di beberapa negara, sebut saja di sebuah restoran dan melihat beberapa bintang-bintang sepakbola dunia itu berkumpul beberapa hari jelang turnamen. Apa yang kira-kira ingin anda dengar? Apa yang kira-kira mereka bicarakan di tengah pentas akbar sepakbola antar timnas Eropa ini yang juga menemukan paradoksnya di tengah masa pandemi?
***
Restoran itu tak kecil, namun tak begitu besar-besar amat. Kante, sudah ada disitu lebih dulu, di salah satu meja. Dengan senyumnya yang seperti biasa, lebar, dan sederhana. Mobil mini coopernya terparkir di luar. Dia tak sendirian, ada rekan senegaranya di Prancis, Mbappe. Anak muda, penyerang ajaib. Kante duduk, memandang ke luar jendela, saat deruan sebuah mobil sport terdengar nyaring. Ronaldo, dengan gaya rambut perlentenya yang khas, keluar dari mobil. Melangkah dengan gagah. Mbappe menoleh, dan tersenyum.
“Wah, wah, sudah lama kalian?” Ronaldo menyapa keduanya.
“Lumayan,” Mbappe menjawab, sambil melirik minuman di gelasnya.
Kante hanya tersenyum. Menyambut dengan mempersilahkan duduk.
“Aha, ini dia jagoan kita! Aku melihatmu di Liga Champions!” Seru Ronaldo, kepada Kante. Tumben dia memuji. Bahkan dengan Messi saja dia dulu seringkali jutek.
“Tapi bisakah kau menghentikan aku nanti?” Belum juga duduk, Ronaldo sudah menunjuk Kante. “Bagaimana kira-kira?”
Kante lagi-lagi tersenyum, dengan sederhananya. “Kita lihat saja nanti.” Dalam benak Kante, dia membayangkan Ronaldo dan timnya Portugal, belum lagi Jerman, lalu ada Hungaria. Grup F memang grup maut. Pikirnya. Bagaimana Prancis bisa lolos?
“Wah, kita akan beradu cepat nanti ya?” Ronaldo melirik Mbappe, lalu menepuk punggungnya. Si pemuda menatapnya balik. Sumringah. Ada gosip yang bilang Ronaldo akan bergabung ke klubnya sekarang, PSG. Sebaliknya dia pindah ke Madrid. Tapi begitulah sepakbola.
“Ah, iya. Iya. Pastikan juga Ruben Dias siap siaga.” Mbappe menjawab dengan tak kalah percaya diri. Dias yang dimaksud tentu saja rekan setim Ronaldo. Yang baru saja meraih gelar Liga Inggris bersama Manchester City. Bek tangguh yang dikalahkan klub Kante, Chelsea di final Liga Champions. Tapi Mbappe juga tahu, Portugal tak cuma Ronaldo dan Dias, ada Bernardo Silva, ada Joao Felix, ada Bruno Fernandez, ada Diego Jota. Ditambah status mereka sebagai juara bertahan.
Tapi Prancis adalah juara dunia 2018. Mereka tak kalah kuat. Mereka sudah membuktikannya tiga tahun lalu. Tim ini sedang menemukan momentum. Mbappe meneguk minumannya. Anak muda ini menahan dirinya. Meski banyak pujian mengatakan dialah suksesor persaingan mega bintang sepakbola dunia di tahun-tahun mendatang, setelah selama ini selalu saja didominasi oleh duel Ronaldo dan Messi.
Ronaldo merapikan rambutnya. Lalu memesan minuman. Dia menaikkan kakinya. Pandangannya beralih ke areal parkir. Satu persatu bintang-bintang lainnya berdatangan. Muller, si anak hilang dari Jerman yang kini masuk timnas lagi, muncul bersama rekan setimnya Kroos, Werner, dan Serge Gnabry, pemuda yang pantas diperhatikan dari Tim Panser di turnamen kali ini.
Ada juga Harry Kane, bersama Mount dan Phoden. Anak-anak Inggris ini turun dari satu mobil yang sama. Dan ternyata tanpa Jude Bellingham, anak muda yang juga disebut-sebut harus diperhatikan di turnamen ini. Disusul kemudian oleh Hazard, Lukaku dan De Bruyne, rombongan skuad Belgia. Berikutnya berdatangan bintang-bintang matador, Spanyol, Thiago, Ferran Tores, dan Morata.
Sorak sorai mewarnai pertemuan itu. Restoran seketika gaduh. Beberapa beradu kepalan tangan, beberapa hanya saling tunjuk, beberapa duduk berdekatan, tapi tentu, dengan standar prokes. Lalu minuman pun dipesan. Pelayan mulai sibuk. Di luar, angin sore cukup sejuk. Pohon palma menjulang tinggi dengan daunnya yang lebar-lebar.
Obrolan-obrolan kecil dimulai. Berkelompok-kelompok kecil. Lalu saling menimpali. Saling menyahuti. Tak ketinggalan juga saling mengejek. Tiba-tiba Mount menjadi pusat perhatian dengan gurauannya.
“Hai, Kroos, masihkah kau tidak kehilangan tidurmu setelah kalah di Liga Champions?” Mount terkekeh. Dia ingat postingan Kroos sebelum semifinal Liga Champions yang bilang dia tak pernah tak bisa tidur terkait dengan sepakbola, meski kalah sekali pun.
“Ha…ha. Aku tak pernah sampai tak bisa tidur. Tetap demikian. Tak akan pernah.” Kroos bicara begitu sambil melirik Kante, orang yang menghentikan lini tengah Madrid ketika itu. Kroos sudah kenyang prestasi, dia sudah pernah merasakan berbagai gelar di level klub maupun bersama timnas, sewaktu Jerman sedang moncer-moncernya.
“Jerman lagi regenerasi. Lihat saja. Bisa saja kita akan berjumpa di fase knockout. Itu pun kalau Inggrismu bisa lolos.” Kroos tentu saja masih ingat, sebagai juara bertahan, Jerman bahkan sudah angkat koper di fase penyisihan grup Piala Dunia tiga tahun lalu. Dia tak mau hal itu terjadi lagi.
“Apakah tropi akan pulang ke Inggris?” Tiba-tiba, Modric, si gelandang kreatif veteran dari Kroasia nongol di depan pintu. Kehadirannya disambut mereka-mereka yang sudah ada di dalam.
“Football is coming home?” Yang lain kemudian menimpali pertanyaan Modric. Tawa dan ejekan tumpah ruah. Iya, iya, semua orang tentu ingat, Inggris sudah tidak pernah menjuarai turnamen besar sejak 1966. Seruan football coming home di Piala Dunia tiga tahun lalu hanya berhasil membuat The Three Lions jadi semifinalis, dikalahkan Modric dan timnya di semifinal.
Lalu Mount menunjuk-nunjuk Foden dan Kane. Kane mengangkat minumannya. Tak diragukan lagi Kane adalah striker hebat. Di Rusia tiga tahun lalu, dia meraih Sepatu Emas sebagai pencetak gol terbanyak. “Menyenangkan kalau sepatu emas itu bisa kusandingkan dengan tropi. Bukankah semifinal dan final akan di Wembley? Football is coming home mate!” Seru kane, merujuk Wembley, kandang kebesaran Inggris.
Yang segera ditanggapi dengan senyum kecut oleh Ronaldo. Di usianya yang ke-35 sekali pun, naluri membunuhnya di depan gawang masih amat brutal. Lalu yang lain menoleh Mbappe. Yang lain lagi menoleh Lukaku. Harusnya ada satu lagi yang mereka toleh kalau omong-omong soal pencetak gol terbanyak.
“Dimana Lewandowski? Apakah dia tidak datang. Ah, sayang sekali!” Lukaku mengeluh.
“Apa itu berarti kau tidak menghitung dirimu sendiri?” Thiago, si gelandang Liverpool dan Spanyol yang dianggap sebagai penerus Iniesta ini menyela. Di Grup E nanti, Lewandowski dan timnya Polandia adalah salah satu lawan Spanyol. Tentu, Thiago dapat merasakan ancaman Lewandowski pada lini belakang mereka. Musim ini saja mantan rekan setimnya di Munich itu mencetak 41 gol di Bundesliga, yang berhasil mematahkan rekor 49 tahun Gerd Muller.
Lukaku menarik napas. Dia melirik rekan setimnya, Hazard dan De Bruyne. Hazard seperti tenggelam di Madrid, sejak pindah dari Chelsea dua tahun lalu. Sinarnya meredup. De Bruyne? Selalu moncer bersama City, tapi barangkali dia masih sedikit sensitif. Meski juara Liga Inggris, dia kalah di Liga Champions. Tapi Lukaku tentu tidak lupa Belgia tidak hanya punya mereka, ada Mertens dan gelandang Youri Tielemans, meski harus diakui lini pertahanan mereka cukup menua. Dan harus diakui pula, inilah kesempatan terakhir bagi tim Belgia yang disebut-sebut sebagai Golden Generations untuk benar-benar berprestasi. Beruntung di fase grup mereka hanya akan menghadapi Denmark, Rusia dan Finlandia.
“Kau mencetak banyak gol dan membawa Inter juara musim ini. Tenang saja. Rileks. Kau bisa saja lebih bagus dari Lewandowski,” seru Hazard.
“Iya, iya. Ingat Lewandowski tiga tahun lalu?” seru yang lain. Merujuk Piala Dunia di Rusia
“Betul. Bahkan Lewandowski tak mencetak satu gol pun. Tak satu gol pun! Padahal hanya melawan Senegal, Kolombia dan Jepang!”
Komentar itu disambut tawa yang lain. Ada yang terpingkal-pingkal, ada yang tersenyum satir, ada yang menertawakan entah apa.
“Jadi tak adakah tim yang bisa bergantung pada satu pemain di sepakbola kita sekarang? Tak bisakah?” Muller menengahi. Pesepakbola ini sudah dicoret dari timnas Jerman sejak performa buruk di Piala Dunia, dan kini Joachim Loew memanggilnya kembali. Tentu, dia punya pembuktian khusus.
“Hei, Ronaldo! Kenapa kau diam saja!” Kroos tiba-tiba menyenggol Ronaldo, mantan rekannya di Madrid dulu.
“Kau pikir Portugal juara 2016 lalu karena siapa, hah?” Kroos kembali melemparkan pertanyaan ke semuanya, sekaligus bernada menyindir.
Ronaldo seperti masih berpikir. Dia hanya senyum-senyum. Gelasnya sudah kosong. Dia melambaikan tangan kepada pelayan. Seorang gadis muncul dari belakang meja bar, membawakannya minuman.
Ronaldo barangkali tengah menimbang, Portugal, dengan beberapa pemain bintang lain di timnya, masih sangat ketergantungan pada dirinya. Kalau Kante bisa mematikannya, kalau Kroos dan rekan-rekannya bisa mematikannya di fase grup nanti, apakah teman-temannya yang lain bisa bermain sebagaimana mestinya dan menghentikan ketergantungan itu?
Bisakah Portugal meladeni kedalaman skuad Prancis? Disitu ada Griezmann, disitu ada Pogba, ada Varane. Dan masih banyak lagi. Dan prestasi sebuah negara kerap kali mengikuti siklus generasinya. Ingat Spanyol yang mondominasi semua turnamen dari 2008 sampai 2012, lalu babak belur dan perlu regenerasi. Ingat juga Jerman yang juara dunia pada 2014, menembus semifinal euro 2016, lalu terpuruk lagi. Mungkinkah ini momen bagi Prancis?
Setelah meneguk minumannya, alih-alih menjawab soal itu, dia malah bertanya. “Eh, Morata, kok tidak ada pemain Madrid di skuad Spanyol?” Morata yang ditanya begitu tampak kaget.
“Kenapa kau bertanya padaku?” Morata menjawab sekenanya. Melemparkan camilan di meja.
“Apa kau pikir karena kita sama-sama di Juventus aku akan membocorkan konflik internal di negaraku? Hah?” Morata kembali melemparkan camilan ke arah Ronaldo, dan dalam sepersekian detik Ronaldo sudah bangkit, mengayunkan kakinya dengan cantik, dan seketika camilan berbentuk roti bulat itu sudah melesak tepat masuk ke tong sampah yang tegak berdiri di sudut ruangan.
Edan! Seluruh bintang di restoran itu bertepuk tangan. Ronaldo melakukan selebrasi ala binaragawan, sebagaimana yang kerap ditunjukkannya di lapangan.
Restoran kembali bergemuruh. Suara meja diketuk tak henti-henti. Suara gelas beradu berdenting. Entah kenapa, tak ada pemain Italia disitu. Mungkin mereka lagi sibuk. Mungkin mereka fokus berlatih. Italia sedang memasuki era baru setelah hanya sanggup sampai di perempatfinal Euro 2016, lalu bahkan tak lolos ke Piala Dunia 2018. Tiga tahun terakhir Roberto Mancini sedang melakukan perubahan.
“Aku rindu Chiellini. Bonucci juga,” lalu Morata tiba-tiba menjadi melankolis.
Giliran Thiago yang memercikinya dengan minuman. “Bukankah kalian sama-sama di Juventus, jangan lebay!”
“Ada Turki juga disitu. Tim kuda hitam. Tapi sungguh, tiba-tiba aku rindu Van Dijk,” giliran Thiago yang melankolis, mengingat bek tangguh, teman satu timnya di Liverpool, yang masih cedera.
Lalu satu persatu bintang-bintang itu melemparinya.
“Tidak bisakah kalian menjauhkan sentimen klub disini? Beruntung Belanda tanpa Van Dijk, jadi seandainya kami bertemu mereka entah di fase apa, bisa lebih mudah. Bukan begitu?” Tiba-tiba Werner berseru. Anggap saja Belanda jadi juara Grup C, lalu Jerman bisa lolos ke 16 besar dengan mengandalkan status sebagai peringkat ketiga terbaik di Gruf F saja misalkan, tentu saja pertemuan itu tak bisa dihindari.
“Iya, iya, iya. Sebaiknya kau perbaiki dulu finishing-mu yang buruk itu. Ha..ha…ha.” Kroos mendekati Werner, mengusap kepala juniornya itu.
“Hah…tidakkah ada diantara kalian yang mau bahas Covid?” Ronaldo mengejutkan rekan-rekannya.
Kante hanya tersenyum.
Yang lain melongo. Covid?
“Apa yang harus dibicarakan dari Covid? Bukankah semua sudah mengetahuinya?” yang lain menimpali.
“Apa yang harus dikatakan lagi?”
“Apakah kita harus berlutut sebelum kick off?” kembali muncul pertanyaan.
“Bukankah sudah ada tim yang menolak?”
“Perlawanan antirasisme yang tidak mempan!”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Aku rindu penonton!”
“Aku rindu kegaduhan!”
“Aku rindu mereka yang di tribun!”
“Siapakah diantara kita yang akan jadi juara?”
“Iya.”
“Siapa ya?”
“Aku takut tiba-tiba positif!”
“Aku juga.”
“Aduh!”
“Astaga!”
Restoran itu masih gaduh. Angin tetap sejuk di luar. Bayangan pohon palma di rerumputan sudah memudar. Seolah mempersilahkan siapa saja melanjutkan obrolan ini sendiri-sendiri, di kepalanya masing-masing. Dengan bayangannya masing-masing.
***
Ah, saya termasuk salah satu yang membayang-bayangkan obrolan itu. Tak ada restoran. Tak ada pelayan, tak ada minuman, tak ada suara gaduh, tak ada percakapan-percakapan. Bukankah idola dan tim kesayangan kita, juga ideologi-ideologinya, lebih sering merasuk ke kepala kita? [T]