Bolehkan dulu saya membacanya dengan keterbatasan saya sendiri. Sambil membuka-buka diri yang dangkal ini…
Bagaimana cara membaca Trilogi Jirah, tanpa khatam dengan sumber-sumber yang menjadi rujukannya, baik itu sejarah, teks, atau sumber-sumber lain, seperti lontar dan tutur misalnya? Bolehkah saya membacanya berdasarkan pengalaman membaca saja, dari sisi orang yang buta dengan teks-teks rujukan itu?
Kalau dipikir-pikir, lebih baik mungkin tidak menuliskannya, ketimbang kemudian memamerkan kedangkalan diri sendiri. Tapi rasanya, saya ingin tetap menuliskannya saja. Meski terbatas. Meski tidak akan sampai sebagaimana yang seharusnya. Bolehkan saya menuliskan apa adanya. Bukan karena pengarang itu konon sudah mati setelah karyanya diterbitkan, lalu kita bisa sewenang-wenang mengulasnya. Bukan. Karena secara personal, novel ini hadir seperti tepat pada waktunya.
Kendati trilogi, yang terdiri dari tiga novel, Janda Dari Jirah, Si Rarung, dan Manggala Kalki, sejatinya ketiga novel ini bisa berdiri sendiri dan dibaca dengan terpisah-pisah atau acak, tanpa takut tidak paham cerita sebelumnya. Gaya penulisan Cok Sawitri memberi akses untuk itu. Saya memilih membacanya berurutan, dari Janda Dari Jirah, sampai ke yang terakhir, Manggali Kalki.
***
Janda dari Jirah seperti sebuah pintu masuk. Erlangga dengan beban dan sekaligus kecerdikannya, membangun kembali Medang yang sudah pamalayu secara perlahan. Perasaan tak diakui, perasaan sebagai raja menantu yang selalu menghantui, membuatnya senantiasa ingin semakin menunjukkan diri. Belum lagi intrik diantara sesama kerabat istana, dan daerah-daerah lain. Lalu ada Jirah, dengan kabikuan dan murid-muridnya yang misterius, namun terasa mistik ajaran-ajaran utamanya. Terhempaslah itu bayangan angker dan gelap Calonarang versi-versi lakon yang umum dipentaskan. Dekonstruksi itu sudah dimulai, dan pelan-pelan kita disodori sudut pandang yang lain.
Janda dari Jirah seperti pintu pembuka bagi konsep Dharma Negara dan Dharma Agama. Erlangga dengan kekuasaannya dan keberhasilannya membangun kembali Medang sebagai bumi baru Kediri, dan Jirah dengan sima kabikuannya yang taat. Ada juga Bharadah, kaum brahmana yang dekat dengan kekuasaan. Ada tata krama dan aturan yang harus ditegakkan dan ditempatkan pada posisinya yang benar. Pun ketika murid-murid kabikuan mengantarkan Samarawijaya, keturunan langsung Wangsa Isana, Jirah, tetap misterius. Namun pilihan sikapnya, ajaran-ajarannya, pada novel pembuka ini, bisa dirasa-rasakan. Bisa dikira-kirakan.
Janda dari Jirah, yang pertama kali diterbitkan pada 2007, seperti ditulis dengan irama cepat dan padat. Seperti membaca tempelan beberapa narasi-narasi interpretasi atau terjemahan, bergaya sastra klasik. Barangkali itulah fasenya saat itu, penulis berhak atas gayanya sendiri. Di masa itu. Lalu, bagaimana Si Rarung, yang diselesaikan 10 tahun kemudian?
Setelah membaca novel pembuka yang berjalan cepat dan ringkas, dua bab pertama Rarung benar-benar “menyiksa dan melelahkan”. Saya tulis dengan tanda kutip karena memang tidak dalam arti harfiahnya. Satu bab penuh untuk mengungkap rahasia Si Rarung, kehilangannya, dukacitanya yang mendalam, kabikuan Jirah yang terpaksa disingkirkan, bahkan kisah cintanya. Rarung, Manggali, setra gandamayu, percakapan dengan pohon salam, renik-renik, krimi-krimi, siput pohon, cipi-cipi, dan penghuni gandamayu lainnya menguasai bab ini. Narasi terasa lambat. Terasa berlarat-larat. Namun, tahan, tahan, tahan-tahanlah. Sejatinya penggambarannya sangat kuat. Bergaya prosa liris yang enak. Kita dapat merasakan bagaimana kehilangan dan kekalahan itu sedemikian besarnya, yang coba ditekan-tekan, didiam-diamkan, juga kepedihan yang pelan-pelan lindap akibat kesadaran akan hadirnya masalah yang lebih besar. Gerhana.
Satu bab berikutnya tentang Erlangga, yang telah sempat menyepi lalu kembali lagi ke Janggala, istana baru setelah Kadiri dibagi dua. Satu lainnya lagi adalah Daha, dipimpin, Samarawijaya. Bab ini juga menyiksa. Panjang dan dalam gerak lambat. Konflik muncul di Janggala setelah salah satu putra Erlangga, Mapanji Garasakan menyerang daerah bawahan lain. Kekuasaan seperti tak habis-habisnya diperebutkan. Dan Erlangga harus turun gunung lagi untuk menunjukkan sikapnya. Tahan, tahan, tahan-tahanlah. Semua akan ada manfaatkannya.
“Kelelahan” dan “siksaan” di dua bab ini akan benar-benar terbayar di bab-bab selanjutnya. Entah kenapa. Dua bab pertama ini seperti ujian. Seperti memang sengaja ditulis demikian. Cok Sawitri seolah ingin menegaskan betapa terkadang begitu pelik duka cita manusia itu, pun demikian dengan kekuasaan dan keputusan-keputusan kekuasaan, sekalipun telah benar-benar diperhitungkan pada masanya, ada kalanya cacat bila berbenturan dengan kepentingan lain dan selalu meninggalkan lubang pertikaian untuk kehidupan selanjutnya.
Lalu bab-bab selanjutnya, yang bergerak dengan lebih cepat dan leluasa tanpa meninggalkan unsur bahasa puitik prosa liriknya, sungguh mengharu biru, untuk tidak menyebutnya berdarah-darah. Terasa sekali jungkir balik perasaan itu, kecamuk kepedihan, polemik kekuasaan, perang saudara, ketelengasan, kelicikan, pengkhianatan, ambisi, luka, tak hanya bagi tokoh-tokoh yang berkelindan dalam pusaran kekuasaan, namun juga jiwa-jiwa manusia dan kemanusiaannya. Bukan hanya karena Rarung dan rasa patah hatinya, paradoksnya sebagai murid kabikuan yang telah pamalayu dan terjebak dalam lingkaran penguasa (yang tanpa disadari ternyata juga adalah jalannya untuk tercerahkan kemudian), juga persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya secara universal. Manusia-manusia yang kalah, ketersingkiran, dukacita, usaha untuk bebas, beban tanggung jawab dan perasaan-perasaan lainnya yang harus dihadapi sedemikian rupa.
Momen-momen yang membuat bergetar (terlepas dari kerangka besar wacana utama novel ini), tentu saja hubungan sesana guru-sisia Rarung dan Sanggramawijaya, yang sarat tatakrama, mistik, sekaligus romantik puitik dan mengiris pedih, untuk kemudian pada puncaknya adalah kesadaran yang membebaskan duka satu sama lain. Sulit untuk tidak jatuh cinta dengan Rarung, begitu juga Sanggramawijaya. Sekali lagi saya menggarisbawahi, kebutaan saya pada yang mana interpretasi, yang mana dekonstruksi, yang mana hasil riset, atau perpaduan semuanya, justru membuat saya sangat menikmati novel ini. Bukan semata karena kemalasan belum sampai mengorek-ngorek kesitu, dan kemanjaan seorang pembaca, tapi karena seperti terbebas dari prasangka dan stigma. Saya lebih senang merasa-rasakannya.
Rasa-rasakanlah pedih itu. Sadar-sadarilah perasaan itu. Mana yang penting, mana yang harus dikesampingkan. Mana yang patut, mana yang tercela. Jenguk-jenguklah diri. Kenal-kenalilah diri. Menangis, menangislah bila ingat luka itu. Sadar-sadarilah yang jadi beban menghimpit, bila mengingkari juga bukan pilihan. Teringat satu adegan kuat ketika Rarung melakukan mahesi di bendungan Sapta Waringin. Tubuh dan jiwa itu terkadang tak tersadari memendam duka cita mendalam. Dia telentang, air membanjiri tubuhnya, membiarkan dirinya tenggelam. Seolah berpasrah antara melawan, menyerah atau melepas. Apakah itu kemudian yang bergerak dan bekerja? Kesadarankah? Ketercerahankah? Spiritualitaskah yang dibicarakan? Isyarat dan kode-kode apa yang tidak saya kenali. Biar, biar-biarkanlah dia begitu dulu. Belum sampai, belum sampai kesitu. Dangkallah saya, dangkallah tulisan ini, dangkallah pemahaman ini. Hanya sanggup mengutarakannya dari sisi sebagai cerita yang menggugah, “mengusik”, “mengorek-ngorek” ingatan akan sesuatu dan sesekali membanding-bandingkannya dengan konteks zaman. Seperti bercermin pada kecamuk perasaan yang mudah ditemui dimana saja. Seperti terbakar-bakar bara di ulu hati.
Rarung berkali-kali memanggil, Ibu…Ibu…dan ajaran-ajaran yang harus diwariskan, diteruskan. Itu juga misteri. Namun dapat dirasa-rasakan. Spirit itu. Jembatan pengetahuan itu, yang hendak dibangun kembali dan dijaga dalam posisi “terjebak” penuh paradoks oleh Si Rarung. Spirit yang mungkin juga terwariskan dari waktu ke waktu tanpa disadari, menggugah entah hati siapa, menyapa entah lubuk hati yang mana.
Setelah melalui masa gerhana dan perasaan terguncang-guncang di Si Rarung, Manggali Kalki (Sang Lipyaksara) bergerak dengan lebih tertata, untuk tidak mengatakannya dingin, dan seperti tidak memberi celah bagi pikiran yang sudah terkoyak-koyak di bagian kedua untuk terus berlarut-larut dan berkubang pada duka yang sama. Pilihan untuk membacanya berurutan ternyata memberikan keuntungan. Setidaknya akan terasa kerunutannya dengan lebih jelas, meskipun seperti disampaikan di awal, novel ini bisa berdiri sendiri dan bisa dibaca secara acak. Beberapa pertanyaan yang menggantung-gantung di Janda dari Jirah, dan juga Si Rarung seperti terjawab disini. Apakah yang mendasari penguasa Jirah mau menyingkir seolah kalah ketika kabikuan dinyatakan pamalayu? Apakah pilihan itu benar dan tidak memiliki dampaknya, termasuk terhadap perang saudara yang begitu dicemaskan, sehingga Erlangga membelah dua bumi Kediri? Apa yang terjadi kemudian setelah kekuasaan kembali diperebutkan, dan setelah kemenangan diraih pun kekuasaan ternyata tidak sanggup menyatukan seluruh bawahan dan rakyat-rakyatnya? Apakah yang kemudian muncul dari berbagai macam golongan dan sekte di bawah, yang membawa-bawa ajaran dan dharma-nya masing-masing sebagai solusi dari kehancuran yang diakibatkan oleh kekuasaan? Kapankah pernah Dharma Negara dan Dharma Agama bisa berjalan selaras tanpa saling berbenturan satu sama lain, dan bukankah wacana itu senantiasa menimbulkan persinggungan? Apa hubungannya dengan Manggali kemudian? Simbol apakah dia? Garis besarnya mungkin demikian.
Jika anda bisa jatuh cinta dengan Rarung, anda mungkin juga akan jatuh cinta pada Manggali. Pedihnya sejatinya melebihi Rarung. Namun cara menghadapi kepedihan itu, sudah berbeda. Bayangkan adegan yang sudah melampaui realisme, mengarah ke magis ketika Manggali dirajam ratusan pisau-pisau tulis, juga beberapa penggambaran lainnya pada bagian bagian akhir di gandamayu.
Novel bagian penutup ini, lebih jauh dan penting, bicara soal ajaran yang utama, pengetahuan yang utama, yang senantiasa akan melewati zaman, menerobos waktu, yang sebenarnya tak sebatas pada pengetahuan yang diucapkan, mantra yang dilafalkan atau doa-doa yang disuarakan atau pun aksara-aksara yang diingat. Pertikaian golongan-golongan suci, perebutan penegakan dharma dari ajaran yang diyakini sebagai solusi konflik zaman, kerap kali berakhir juga dengan diingkarinya kemuliaan dari ajaran itu sendiri. Novel penutup ini seperti mengajak mengenali lebih jauh tak hanya tubuh diri, dan lewat pengenalan terhadap aksara, tapi juga guna pengetahuan itu sendiri dan hakekat keterikatan sekaligus ketidakterikatannya. Apakah kesadaran tertinggi itu?
Belum sanggup saya menjelaskannya dengan lebih baik. Jika dilihat-lihat lagi, trilogi ini juga bicara tentang keselarasan dengan alam dan lingkungan. Juga tersirat pengenalan akan pengetahuan etnobotani lewat berbagai tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon, juga kearifan-kearifan yang menjadi ciri beberapa sekte yang pernah berkembang sebelumnya, dan lebih luas lagi tentunya kearifan sejarah nusantara. Bila ingat Rarung, bila ingat bagaimana dia begitu menyatu dengan alam, begitu juga ternyata Manggali, dan tokoh-tokoh lain, ah, betapa kuat penggambarannya. Masih terngiang renik-renik, cipi-cipi, pohon-pohon, lumut-lumut, siput-siput, ranting-ranting, burung-burung, daun-daun, semak-semak, semut-semut, saling bicara dan bergerak seolah dunia ini, manusia dan alamnya harusnya adalah satu kesatuan yang penuh energi.
***
Mana yang interpretasi, mana yang dekonstruksi, mana yang perpaduan riset, mana yang diangap “disingkirkan” dari wacana dan stigma umum untuk menegaskan wacana baru yang hendak disampaikan, masihkah harus dipersoalkan kemudian? Bolehkan dulu saya membacanya dengan keterbatasan saya sendiri. Sambil membuka-buka diri yang dangkal ini…
_______
- Artikel ini dimuat pertama kali pada komangadnyana.wordpress.com dengan judul “Trilogi Jirah: Catatan Pengalaman Membaca dari Pembaca Dangkal”
- Baca artikel Komang Adnyana lainnya di tatkala.co dan komangadnyana.wordpress.com