5 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Teaterisu #2 | Feminisme, Mitos, dan Panggung Perempuan

Agus WiratamabyAgus Wiratama
May 16, 2021
inEsai
Teaterisu #2 | Feminisme, Mitos, dan Panggung Perempuan

Ilustrasi: potongan poster Diskusi bertema “Pekik Perempuan di Panggung yang Maskulin

Suatu kali, saya mendengar kisah bahwa sungai di suatu negara mendapat hak asasi; sungai tersebut berhak tetap mengalir, tetap bersih. Orang melanggar hak-hak sungai itu bila membuang sampah ke sana, salah satunya. Dalam perspektif antroposentris, alam adalah yang minor dan manusialah yang mayor, pusat, dan pemegang tunggal otoritas. Dan rupanya, diskusi pada Teaterisu #2, yang digelar secara daring oleh Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia), membuat jembatan antara informasi awal saya tersebut terhadap pandangan soal feminisme.

Teaterisu merupakan forum diskusi dwibulanan sepanjang 2021, dirancang sebagai ruang dialogis untuk mengurai permasalahan sekaligus potensi-potensi teater. Diskusi bertema “Pekik Perempuan di Panggung yang Maskulin: Feminisme dan Teater di Indonesia” ini berlangsung pada 30 April 2021 dengan dua orang pembicara: Intan Paramaditha, seorang penulis dan dosen kajian media dan film di Macquarie University, Sydney; yang terlibat dalam kerja-kerja budaya lintas disiplin berperspektif feminis, dan Tya Setiawati yang merupakan aktor, penulis lakon, dan sutradara pada Teater Sakata, Padang Panjang.

Diskusi ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa, pada masa keemasan teater Indonesia, rentang 1968-1988, tak tercatat nama pegiat teater perempuan. Pada masa yang oleh Jakob Sumardjo disebut sebagai “zaman emas kedua teater Indonesia” ini setidaknya dipentaskan 102 lakon Indonesia, namun tak satu pun di antaranya ditulis perempuan atau tampil dengan sudut pandang perempuan. Kondisi ini masih berlanjut hingga masa bubarnya Orde Baru. Barulah setelah itu suara perempuan mulai terdengar di atas panggung teater Indonesia: mulanya samar, kian jelas, lalu memekik.

Poster Diskusi bertema “Pekik Perempuan di Panggung yang Maskulin

Kemunculan gerakan teater dengan perspketif feminis setidaknya dipengaruhi oleh gerakan-gerakan yang menyuarakan kesetaraan gender tersebut. Tetapi, pada perjalanannya, feminisme tidak hanya dibutuhkan perempuan, lelaki pun membutuhkannya, buruh, mahasiswa, alam, bahkan pekerja teater itu sendiri. Intan Paramaditha menjelaskan bahwa feminisme bukan perihal perempuan mesti setara dengan lelaki. “Kenapa lelaki yang dijadikan standar?” katanya.

Tetapi lebih luas dari itu, feminisme yang ia maksud adalah adanya relasi kuasa yang mesti dibicarakan. Hal ini persis menunjukkan bahwa feminisme juga memperhatikan perihal warna kulit, kelompok masyarakat, kaum mayor dan minor, kuat dan lemah, pusat dan daerah, dan sebagainya.

Hal ini mengingatkan saya pada konsep dekonstruksi Derrida, di mana—ketika melakukan pembacaan suatu teks—yang menerangkan bahwa seharusnya, yang minor pun mendapat ruang untuk berbicara. Barangkali dalam konteks pembacaan suatu teks, hal itu akan membuka cakrawala pembacaan realitas sehingga lebih luas hasilnya. Tetapi, dalam konteks ketimpangan, bukankah hal itu mestinya diputar, bahkan dijungkirbalikkan?

Satu hal dalam diskusi ini yang kemudian membuat saya tergelitik adalah ketika Intan Paramaditha menanggapi sebuah komentar dari peserta yang kurang lebih sebagai berikut: jangan-jangan perempuan tidak berteater karena dirinya sendiri, dan bukan karena orang lain atau masyarakat atau lelaki. Pernyataan peserta itu ditanggapi Intan dengan pertanyaan balik, “Apa itu diri?” Pertanyaan itu tak kurang merupakan sebuah permenungan atas konstruksi diri. Diri adalah sebuah konstruksi masyarakat, jalinan relasi-relasi, dan ketika bangunan itu telah mendarah-daging, maka kebiasaan yang paling kejam sekalipun seolah-olah adalah hal yang biasa-biasa saja, sebagaimana Vito Corleone dalam The Godfather dengan santai berkata, “Berikan ia penawaran yang tak bisa ditolak.”

Pada 28 Mei 2013, dalam “Musyawarah Buku” di Komunitas Salihara, hal serupa sempat diterangkan oleh F. Budi Hardiman atau akrab disapa Mas Frengki. Frengki menjelaskan konsep diri layaknya bawang. “Bawang, bila dikupas tidak memiliki inti, kosong, semua berupa kulit: manusia juga demikian, terdiri dari relasi-relasi,” ungkapnya dalam diskusi tersebut. Dalam konteks itu, Frengki memberi contoh nama-nama orang Bali yang terdiri dari nama-nama kelompok kelas masyarakat tertentu, urutan kelahiran, dan nama diri ada di belakang nama-nama itu.

Dalam kebiasaan orang Bali, lelaki akan dianggap lemah bila tunduk pada perempuan. Hal seperti ini tidak hanya diungkapkan oleh lelaki, perempuan pun turut berpegang pada jargon tersebut. Misalnya, seorang lelaki meninggalkan rumah, lalu membangun rumah baru karena si istri selalu berseberangan dengan mertua, dan lelaki akan mendapat cap buruk itu. Dalam masyarakat Bali khususnya, istilah “diembat perempuan” memiliki konotasi yang dua kali buruk: pertama, kehilangan kuasa, dan kedua, mencabut paksa tanggung jawab. Dan, dua hal itu bukan hanya menjadi masalah horizontal, tetapi juga vertikal.

Namun, perempuan Bali memiliki panggung utama yang tidak bisa digoyahkan. Pada sebuah upacara menjelang hari raya Nyepi, saya dan semua lelaki—yang gigi susunya telah tanggal—diupacarai. Semua laki-laki berdiri dan membuat setengah lingkaran. Di depan kami, telah disiapkan sarana upacara, dan laki-laki hanya menunggu perintah perempuan yang menjadi instruktur. Ibu-ibu ini memerintahkan kami: sesekali berputar, menelungkupkan tangan, dan sebagainya. Perempuan memiliki panggung dan lelaki tak berdaya dalam hal ini. Meski secara sederhana terlihat bahwa lelakilah yang utama, tetapi berhubung semua lelaki diupacarai dan perempuan pelakunya, tentu upacara tak akan berlangsung tanpa kehadiran perempuan, begitu juga laki-laki.

Para pembicara dalam Diskusi bertema “Pekik Perempuan di Panggung yang Maskulin

Sementara itu, Tya Setiawati mempertanyakan tentang mitos-mitos yang mesti ditanggung perempuan. Ia menceritakan bahwa, pada 2007, ia menginisiasi sebuah laboratorium teater dengan perspektif gender. Kegiatan di laboratorium itu melibatkan aktor, penata artistik, penata lighting, penata musik, dan pimpinan produksi yang semuanya perempuan.

Dalam makalahnya yang berjudul “Isu Gender di Panggung Teater Sakata”, Tya berkisah salah satu produksi dalam laboratoriumnya itu. “Bumi Perempuan merupakan upaya dekonstruksi atas makna (ke)perawan(an) dan menggugat citra seksualitas kecantikan perempuan dari perspektif maskulin; rambut panjang menderai, kulit putih, postur tinggi semampai, hidung mancung, dagu lancip dan tuntutan penampilan fisik sempurna lainnya. Dimainkan aktor perempuan dengan kepala plontos, menghadirkan setting dan hand property yang mewakili masyarakat agraris, seperti: hamparan sekam padi, tapian, belanga dan dua drum besar yang berfungsi sebagai alat musik sekaligus simbol ‘kekerasan’ yang memekik,” tulis Tya.

Saya sempat menengok isi meja hias perempuan, dan meja itu dipenuhi oleh alat-alat kecantikan. Seseorang bahkan pernah menceritakan kegiatannya pada saya: baru bangun, setelah mandi pagi, berkegiatan, mandi, hingga menjelang tidur, adalah waktunya memoles wajah, memperhatikan kecantikannya. Tentu hal ini tidak semata-mata hanya karena perempuan ingin seperti itu, tetapi ada suatu power yang membuatnya harus demikian.

Teater menjadi ruang yang strategis untuk mengungkapkan hal-hal semacam itu; di samping dalam perjalanannya, teater memerankan fungsi penting sebagai pertahanan masyarakat sipil terhadap segala bentuk represi. Lebih dari itu, teater memberi kemungkinan para pelaku dan penonton untuk mempertanyakan ulang mitos tersebut, sebagaimana Tya Setiawati dalam pertunjukkannya. Bagi saya, rambut perempuan yang dipelontos merupakan sebuah pemberontakan terhadap mitos dengan suara yang keras. Tidak jarang kita jumpai perempuan memotong pendek rambutnya, dan hal itu seolah ingin berbicara bahwa perempuan dengan tampilan seperti itu bukan pemegang jargon rambut adalah mahkota; sebagaimana diajekkan iklan dan masyarakatnya.

Teater dengan perspektif feminis setidaknya mesti memperhatikan dua hal: pertama, perempuan dalam teater itu sendiri, sebagaimana yang dilakukan Tya Setiawati dengan gerakan perempuannya; dan satu lagi adalah isu perempuan di luar panggung, dalam keseharian, dan konstruksi makna atas keperempuanan. Meski feminisme dapat dipandang dengan begitu luasnya, tetapi saya masih ingat akan satu ungkapan, “Semasih perempuan merasa terancam berjalan di trotoar, semasih perempuan tidak aman keluar malam-malam, selama itu pula isu tentangnya mesti dibicarakan.” [T]

Previous Post

“Peed Aya” | Pawai PKB 2021 dengan Latar Air Terjun Kanto Lampo

Next Post

Dialog Kritis Pesona Tokoh Gajah Mada Lewat Eksotiknya Gili Menjangan

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post
Dialog Kritis Pesona Tokoh Gajah Mada Lewat Eksotiknya Gili Menjangan

Dialog Kritis Pesona Tokoh Gajah Mada Lewat Eksotiknya Gili Menjangan

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ritual Sebelum Bercinta | Cerpen Jaswanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025

“Hey, do you sell this sauce? How much is it?” tanya seorang turis perempuan, menunjuk botol sambal di meja. “It’s...

by Dede Putra Wiguna
June 5, 2025
Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah...

by Dede Putra Wiguna
June 4, 2025
Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng
Kuliner

Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng

SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan...

by Putu Gangga Pradipta
June 4, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co