Setelah berhasil dikuasai Belanda pasca perang Puputan Klungkung, didirikanlah sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada 1920. Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi SMP Negeri 1 Semarapura pada 1 Agustus 1947 sampai akhir 1990. Atas inisiasi dr. Tjokorde Gde Agung, Bupati Klungkung pertama kala itu, gedung SMPN 1 Semarapura diubah menjadi Museum Semarajaya. Peresmiannya dilakukan oleh Bapak Rudini yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia pada 28 April 1992. Acara ini juga bersamaan dengan HUT Kota Semarapura, peresmian Monumen Puputan Klungkung serta memperingati 84 tahun pasca perang Puputan Klungkung. Perang penghabisan raja serta masyarakat Klungkung melawan serbuan tentara Belanda.
Pada buku Kebangkitan Nasional Daerah Bali diuraikan kronologis sejarah Klungkung. Di dalamnya disebutkan perkenalan Belanda pertama kali dengan Bali, khususnya Klungkung terjadi pada masa pemerintahan Dalem Bekung yang didampingi oleh sang adik, Dalem Segening pada 1597. Comelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama datang ke Bali. Ia dan pasukannya mendarat di Pantai Gelgel (Batu Klotok). Mereka tinggal di Bali selama satu bulan yaitu dari tanggal 25 Januari sampai 26 Februari 1597. Hubungan antara Bali dengan Belanda kala itu hanya terbatas pada bidang perdagangan dan tukar menukar duta. Pada tahun 1601, misalnya, tercatat van Heemskerk singgah di Bali, mempersembahkan sepucuk surat dari Pangeran Mauritius. Sebagai balasannya, Raja Bali kemudian menghadiahkan seorang gadis Bali. Hubungan ini tetap terjalin setelahnya. Pada tahun 1633, Gubemur Jendral Hendrick Brouwer mengirim Jan Oosterwijck sebagai duta ke Bali.
Sistem ikatan kontrak antara Belanda dengan Klungkung baru terjadi setelah Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Situasi ini menyebabkan Bali lemah dan memudahkan Belanda untuk menerapkan sistem kontrak. Belanda mengirim Huskus Koopman sebagai duta ke Bali. Koopman mencari dukungan Raja Klungkung sebagai susuhunan raja-raja Bali-Lombok untuk mengajukan kontrak. Isi pokok perjanjian tersebut ialah bahwa Dewa Agung Putra sebagai Raja Klungkung dan susuhunan di atas Pulau Bali dan Lombok, mengakui Bali sebagai bagian dari Hindia Belanda. Mereka tidak akan menyerahkannya kepada bangsa kulit putih lainnya dan akan menaikkan bendera Belanda setiap ada kapal atau perahu Belanda masuk Pelabuhan Bali. Surat-surat perjanjian dibuat di hadapan Raja Buleleng, Karangasem, dan Badung serta ditandatangani pada 6 Desember 1841 oleh Dewa Agung Putra dan Huskus Koopman yang disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Raja Klungkung mau menandatangi karena Belanda menjanjikan bantuan untuk mengembalikan kekuasaannya atas Lombok.
Tanggal 24 Mei 1843 kembali ditandatangani sebuah perjanjian yang bertempat di Istana Klungkung, dimana Belanda menghendaki agar hak tawan karang dihapuskan. Intervensi Belanda menimbulkan perbedaan sikap di antara kerajaan-kerajaan di Bali. Tercatat dalam buku Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908 oleh A. A. Gde Agung, pada akhir 1847, perkembangan politik di Bali semakin tegang. Konflik semakin runcing karena diterimanya laporan dari Batavia perihal kapal milik warga Hindia Belanda asal Pamekasan yang karam di Pantai Lirang, Buleleng, dirampas oleh penduduk sekitarnya. Hal yang sama terjadi pula di Pantai Kusamba wilayah Kerajaan Klungkung. Sebuah kapal dagang berbendera Belanda karam dan dirampas penduduk pantai. Gubernur Jenderal mengajukan tuntutan kepada Raja Buleleng dan Dewa Agung di Klungkung. Karena tidak dihiraukan, Gubernur Jenderal J. J. Rochussen melayangkan ultimatum pada 7 Maret 1848.
Pada 19 April 1849, Belanda berhasil memukul hancur Jagaraga. Setelah Buleleng takluk, Belanda kemudian menduduki Karangasem. Keberhasilan Belanda dalam menduduki dua kerajaan di Bali ini telah membangkitkan semangat perang untuk menyerang Klungkung. Mayor Jenderal Michiels, setelah mendapat persetujuan dari Batavia, memutuskan untuk menyerang Klungkung sebagai hukuman atas penyelewengan terhadap apa yang telah dimuat dalam perjanjian dengan Belanda. Klungkung diketahui telah memberi bantuan kepada Buleleng dalam perang melawan Belanda. Pada saat itu, Klungkung diperintah oleh I Dewa Agung Putra Kusumba yang berkedudukan di keraton Kusamba. Dewa Agung Putra Kusamba dibantu oleh putrinya Dewa Agung Istri Kanya yang berkedudukan di istana Smarapura.
Tanggal 8 Mei 1849 Armada Belanda di bawah pimpinan Michiels mendarat di Padang (Teluk Padang). Setelah merebut Desa Padang, pada 24 Mei 1849, Kusamba diserang oleh Belanda dari timur. Walaupun Kusamba telah lebih dahulu mempersiapkan pasukannya yang dipusatkan di Pura Goa Lawah dengan garis pertahanan sepanjang Bukit Wates, namun serangan Belanda yang mendadak itu cukup mengejutkan laskar Kusamba yang hanya bersenjatakan keris, tombak, bambu runcing, dan beberapa pucuk bedil buatan sendiri. Hanya dalam waktu lima jam, pertahanan Goa Lawah telah berhasil direbut Belanda.
Mayor Jenderal Michiels dan Van Swieten, melanjutkan serangannya ke Kusamba. Belanda menyerang Kusamba dari tiga jurusan. Dari utara adalah angkatan darat pimpinan Van Swieten, dari timur dipimpin oleh Michiels sendiri, sementara dari selatan (pantai) adalah pasukan marinir di bawah pimpinan Bauricius. Pada jam tiga sore, tanggal 24 Mei 1849, pasukan mundur sambil melakukan politik bumi hangus dengan membakar kampung-kampung.
Kekalahan Kusamba didengar oleh Dewa Agung Istri Kanya yang telah diserahi takhta oleh ayahnya. Dewa Agung Istri Kanya memerintahkan panglima Anak Agung Made Sangging berangkat ke Kusamba. Tanggal 25 Mei 1849, pagi-pagi buta, laskar Kusamba melakukan serangan balasan. Penyerbuan tak terduga ini sangat mengejutkan pasukan Belanda dalam kemah sekitar istana Kusamba. Dalam kegaduhan dan hiruk pikuk ini, pasukan istimewa di bawah pimpinan Anak Agung Made Sangging menyusup dengan tugas utama membunuh Jendral yang berbintang tujuh (Yang dimaksud adalah Jenderal Michiels). Sebelum Belanda sadar akan sergapan yang mendadak ini, tiba-tiba terdengar suara ledakan. Jenderal Michiels pun roboh.
Pada 13 Juli 1849, perdamaian digelar antara Dewa Agung di Klungkung dengan pihak Gubernemen. Ekspedisi militer Belanda diakhiri dengan penandatanganan perjanjian perdamaian antara raja-raja Bali yang bersengketa dengan pihak Gubernemen di Kuta. Kerajaan-kerajaan Bali tidak lagi memiliki hak kedaulatan. Mereka harus mengakui kekuasaan tertinggi Ratu di Belanda. Salah satu butir perjanjian menegaskan kembali penghapusan praktik adat tawan karang untuk selamanya. Meski demikian, Belanda tampaknya belum merasa puas. Tanggal 23 September 1904, Belanda kembali menyodorkan sebuah perjanjian yang berkaitan dengan pengukuhan dan penobatan Raja Klungkung.
Dalam waktu setengah abad, Klungkung terus memperkuat persatuan dengan raja-raja di Bali. Ketika Belanda menyerang Badung 1906, Klungkung berada di belakangnya. Tindakan ini menambah sengketa dengan Belanda. Dengan berhasil mengalahkan Badung, Belanda dengan berani mengajukan kontrak pada 17 Oktober 1906 yang ingin menempatkan Klungkung dalam Stan Lannschap Colonial. Perjanjian yang terdiri dari 31 pasal ini tercatat merupakan perjanjian yang paling panjang yang pernah ditandatangani oleh raja Klungkung. Isinya memuat masalah-masalah perekonomian seperti penyerahan daerah Sibang dan Abiansemal, penyerahan hasil beacukai penjualan candu dan cukai pelabuhan. Perjanjian 17 Oktober 1906 dilengkapi dengan perjanjian 19 Januari 1908. Kedua perjanjian ini menetapkan kerajaan Klungkung sepenuhnya di bawah pemerintahan Belanda baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya. Punggawa Cokorda Gelgel, Paman Dewa Agung Jambe sangat menentang perjanjian ini. Ia dengan tegas mengatakan kepada Dewa Agung ketidaksetujuannya dan bertekad melawan Belanda.
Pada tanggal 18 April 1908 tiba-tiba di Gelgel terjadi kebakaran di seluruh kompleks rumah candu. Mantri candu terbunuh namun tidak diketahui siapa pelakunya. Belanda menganggap bahwa peristiwa ini adalah perbuatan Cokorda Gelgel sebagai suatu pernyataan perang. Pada tanggal 19 April 1908 pasukan gabungan Belanda didatangkan dari Gianyar dan Karangasem untuk menyerbu Gelgel. Rakyat Gelgel di bawah pimpinan Cokorda Gelgel dan putranya antara lain Cokorda Made Gelgel dan Cokorda Pegig dengan gigih mempertahankan daerahnya. Hal ini kemudian diketahui oleh raja Klungkung Dewa Agung Jambe yang segera mengirim laskar menuju Gelgel di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung. Perlawanan ber1angsung selama setengah hari dan akhirnya kemenangan ada di pihak Belanda. Cokorda Made Gelgel, Cokorda Pegig dan Ida Bagus Jumpung gugur dalam pertempuran itu. Perlawanan dilanjutkan pada malam harinya di mana pihak laskar Gelgel mengadakan serangan. Belanda pun membalas serbuan sampai ke kota Klungkung.
Tanggal 21 April 1908 Klungkung segera mendapat serangan dari pihak Belanda. Raja Klungkung Dewa Agung Jambe beserta pemimpin masyarakat lainnya telah bertekad untuk menghadapi serangan Belanda. Di bawah pimpinan Overste Schuroth, armada perang Belanda mendarat di Kusamba. Sebagian lagi mendarat di pantai lebih. Belanda menyerang Klungkung melalui tiga arah yaitu: dari sebelah timur dipimpin oleh Kolonel Carpentier Alting, dari sebelah selatan dipimpin oleh Mayoor H. Missofer. Laskar Banjarangkan di bawah pimpinan Cokorda Gde Oka membendung pasukan Belanda dari arah barat.
Pada saat Belanda memasuki kota, keluarga raja telah bertekad untuk melaksanakan puputan. Dalam perlawanan ini tampil ke depan Dewa Agung Semara Bawa saudara raja Klungkung dan putra mahkota Dewa Agung Gde Agung bersama ibunda beliau Dewa Agung Muter. Mereka menyerbu pasukan Belanda. Semua gugur dalam perlawanan. Dewa Agung Jambe bersama laskar Klungkung juga gugur dalam perlawanan. Jatuhnya Klungkung ini kemudian menandai kekuasaan Belanda yang berhasil menaklukkan seluruh wilayah kerajaan di Bali. [T]
Denpasar, 2021