Luwan têbén adalah konsep yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Keduanya digunakan dalam berbagai kegiatan dan berbagai bentuk. Kata luwan têbén berkaitan dengan kata hulu hilir. Keduanya memiliki arti yang sama namun penggunaannya kadang berbeda.
Hulu hilir biasanya digunakan dalam sistem aliran air. Air yang identik dengan pengaliran yang mana aliran air biasanya bersumber dari utara atau hulu dan mengalir ke selatan atau hilir. Selain konsep hulu-hilir ada juga konsep kaja kelod. Kaja kelod ini adalah petunjuk arah. Artinya arah yang ada di Bali itu memiliki arti yang sama namun asal katanya yang berbeda atau bahasanya yang berbeda.
Luwan têbén, sejatinya istilah itu tengah kita gunakan dalam keseharian kita. Akan tetapi, jarang kita menayakan ke tetua kita apa sejatinya yang melatar belakangi adanya istilah itu. Salah satu contoh yang digunakan adalah adanya istilah luwan têbén yang digunakan dalam mengatur posisi tidur.
Selain posisi tidur, di Bali sejatinya banyak ada cakepan atau hal-hal yang termuat di dalam sebuah catatan. Catatan itu bisa berupa lontar dan buku. Hal yang diatur dalam catatan itu dari hal-hal yang bersifat individual sampai yang bersifat umum.
Hal-hal yang bersifat individual salah satu satu contohnya tidur. Tidur adalah kegiatan yang lazim bahkan dilakukan setiap saat. Dengan tidur berarti kita telah mengistirahatkan badan serta pikiran kita. Setiap orang memiliki cara serta gaya tidur yang berbeda–beda. Tidur pun memiliki tata cara yang telah diatur oleh sumber-sumber yang dapat kita jumpai sampai saat ini.
Tidur Dalam Jejering Sastra
Dharmayuda, 1995:06-07, mengungkapkan bahwa orang Bali berguru kepada alam. Artinya ketika orang Bali melakukan suatu kegiatan apalagi kegiatan tidur, maka manusia berpegangan teguh terhadap suatu konsep yakni luan teben [hulu hilir]. Manusia Bali tidur kepalanya menghadap ke utara dan ke timur. Ketika kepala menghadap ke selatan dan ke barat dipercaya akan menemukan suatu permasalahan dalam dirinya.
Konsep luan teben ini sering dikatkan dengan istilah segara giri [nyegara gunung] atau pasir-wukir. Selain itu, manusia juga berguru kepada matahari, jika matahari muncul dari timur maka matahari ini menyimbolkan suatu sumber yang terang atau [widya, dengan terbitnya matahari berati terang dimulai sehinga timur adalah lambang kesadaran. Sedangkan di barat merupakan simbol tenggelamnya matahari yang diidentikkan dengan kegelapan [awidya] sehingga barat adalah simbol kebodohan.
Sastra sejatinya membahasa banyak hal sampai tidur pun di bahasa dalam sastra. Sastra yang membahas tentang tata letak kepala pada saat tidur adalah Niti Sastra yang berbunyi:
Huluwanta ng supta juga hilingaken, ngwang majar tinging aji pituhumen, yan ring purwayusanira madawa, yapwan ring uttara dhana katemu,
[Perhatikan tempat letak kepalamu di waktu tidur, beginilah pelajaran dari sastra–sastra, jika letak kepalamu di timur akan panjang umurmu, jika di utara, engkau akan mendapatkan kekayaan.]
Dari kutipan di atas, kita ketahui bersama bahwa kita diajarkan untuk mematuhi sastra agar apa yang kita harapkan sedikit tidaknya dapat tercapai. Salah satunya dengan tidur, bahwa teks di atas sangat jelas menguraikan bahwa ketika kita tidur letak kepala berada di timur ataupun di utara. Karena dalam teks diuraikan bahwa letak kepala kita ketika tidur harus berada di utara ataupun di barat.
Dalam keseharian masyarakat Bali, banyak para tetua saya berpesan kepada generasi yang ada di sekeliling bahwa pesan yang disampaikan dalam sastra amat penting untuk kita implementasikan dalam keseharian kita. Kadang kala tetua memberikan pesan–pesan dengan menggunakan suatu guyonan atau pun dengan menggunakan suatu istilah–istilah yang mungkin sukar untuk dicari artinya. Kadang juga tetua memberikan suatu pesan dengan menggunakan suatu metode tertentu dan sering mengungkapkan suatu dengan melihat realita yang terdapat di lapangan.
Dengan pernyataan di atas adakah dampak yang ditimbulkan ketika kita pada saat tidur tidak mengikuti anjuran tersebut? Untuk menjawab hal tersebut maka kita hendaknya membaca kembali sebuah sumber sastra yakni Niti Sastra yang berbunyi:
Paccat uhwan hulu patining asih, mitrantelik taya karananika, yapwan ring daksina pati maparek, mangde goka bhramarawilasita.
[Jika letak kepalamu di barat kehilangan cinta, engkau akan dibenci sahabat–sahabatmu, jika menghadap ke selatan pendek umurmu, menyebabkan rasa duka cita.]
Dari kutipan di atas sangat jelas diungkapkan bahwa jika kita tidur kepala menghadap ke barat maka kita akan kehilangan cinta dan dicaci oleh sahabat. Sedangkan ketika kita tidur kepala menghadap ke selatan maka kita akan menemukan rasa duka cita. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah, sampai kapankah ini berlaku di tengah arus perkembangan zaman? Dan apakah betul seperti itu? Untuk menjawab hal tersebut maka perlu untuk dilakukan sebuah telaah yang lebih dalam lagi. [T]