Tahun 2020 adalah tahun istimewa. Bukan karena kembar angka yang menandainya, melainkan karena peristiwa yang terjadi di dalamnya. Pandemi Covid-19 menunda nyaris semua rencana manusia, memaksa kita menata ulang cara-cara kita berhadapan dengan kenyataan. Pada proses penataan ulang itu kita berhadapan dengan dua kemungkinan yang bertolak belakang: putusnya harapan atau terbitnya harapan baru.
Situasi spekulatif tersebut menebalkan peran empat pilar dalam medan kehidupan kita: sains, agama, filsafat, dan seni. Kita menengok ke sains untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kita menengok ke agama untuk mencari pegangan di tengah keadaan yang belum terjelaskan. Kita menimbang filsafat untuk menjawab sekaligus memproduksi pertanyaan-pertanyaan perihal posisi kemanusiaan kita. Dan kita berpaling ke dalam seni guna memberi ruang bagi kompleksitas ekspresi yang terpendam dalam diri kita.
Abad 21 baru berjalan tak sampai seperempatnya, namun pandemi telah memaksa kita membongkar peti sejarah untuk mencari tahu apakah hal semacam ini pernah terjadi. Sebagian kita mungkin lega beroleh informasi bahwa wabah ini tak seganas wabah yang terjadi di abad-abad lampau ketika ilmu pengetahuan belum berkembang seperti sekarang. Sayangnya, tak ada satupun situasi, baik alamiah maupun buatan, yang bisa membuat kita dengan persis membandingkan situasi masa lalu dan masa kini ketika pada kenyataannya kita hanya mampu merasakan masa kini. Dengan kata lain, penderitaan (sebagaimana kebahagiaan) tak bisa dibandingkan. Sementara ketika kita menarik garis baik dari masa lalu ke masa kini, maupun sebaliknya, suka atau tidak kita juga akan menarik garis ke masa depan. Pada garis inilah putus atau terbitnya harapan sama-sama dimungkinkan.
Di antara keempat pilar tadi, adalah seni yang paling egaliter dalam memberikan kesempatan bagi ekspresi atas kedua kemungkinan itu, baik yang berpihak pada harapan maupun sebaliknya. Seni sebetulnya tak pernah benar-benar institusional, seni bergerak dari wilayah personal ke wilayah sosial, meski pada medium-medium tertentu dia dibatasi oleh alat ekspresinya sendiri. Sepanjang 2020 banyak karya maupun acara seni di seluruh dunia diciptakan dan berlangsung untuk merespons pandemi dan spektrum di seputarnya, dan karenanya beririsan juga dengan tegangan antara putus dan terbitnya harapan.
Album puisi Menulis Halusinasi karya Angga Wijaya ini nampaknya juga berada di medan itu. Hampir semua puisi di dalamnya ditulis tahun 2020 dan langsung atau tidak berhubungan dengan pandemi Covid-19 sehingga tak terhindarkan pula masuk dalam situasi tegangan antara putus atau terbitnya harapan. Dalam puisi-puisinya, Angga tak berambisi menyusun, meretakkan, atau memelintir bahasa guna menghasilkan efek-efek imaji tertentu. Sebagai penyair Angga memperlakukan bahasa dengan sederhana. Strategi itu memungkinkan kita dapat melihat (dan merasakan) dengan jelas bahwa di dalam puisi-puisi tersebut sedang berlangsung pertarungan sang subjek dengan situasi di sekitarnya untuk menentukan posisi dalam hubungannya dengan putus atau terbitnya harapan.
Dalam puisi-puisi Angga kata ‘harapan’ sering muncul, tapi itu tidak menunjukkan posisinya yang kokoh; Harapan kurasa tak ada lagi/Lari atau hadapi kenyataan (“Kerinduan Doa-doa”), Kita semua akan mati/Bukan oleh penyakit/Tapi karena padamnya/bara harapan (“Kematian Penyair”), Harapan.Hanya itu yang kini tersisa./Kulihat senyum mengembang pagi ini. (“Secangkir Kopi untuk Pak Nyoman”), Kota Semakin sepi, tak ada harapan lagi (“Menulis Halusinasi”), Adakah kau rasakan itu, Kekasih? Kita pecinta sejati.Harapan datang, (“Di Canggu, Sajak Ini Untukmu”).
Dari kutipan-kutipan itu kita bisa melihat betapa harapan terayun-ayun antara ‘padam’ atau ‘tak ada lagi’ dengan yang ‘tersisa’ atau (yang) ‘datang’. Harapan tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang pasti sebagai representasi dari optimisme yang sering tidak realistis. Harapan sesungguhnya dikepung oleh fitur-fitur lain yang terus-menerus mencoba mereduksi keberadaannya. Di antara fitur-fitur itu, ‘kematian’ adalah yang paling rajin. Dalam hal ini, puisi-puisi Angga menempatkan ‘kematian’ jauh lebih pasti ketimbang ‘harapan’; Pengarang sudah mati,/walau tubuh masih sehat./Mata tak nanar lagi melihat/kenyataan hidup tak adil (“Kematian Penyair”), Perawat diam menangis/Kematian di depan mata (“Jika Corona Berlalu”), Berita kematian terus hadir di telinga (“Suatu Hari di Tahun Epidemi”), Kata-kata bagiku hanyalah kematian (“Berpisah di Persimpangan Jalan”).
‘Kematian’ dalam kutipan-kutipan itu betul-betul pasti, baik sudah maupun akan, dan ia hadir terus-menerus dengan kemantapan yang tak tergoyahkan. ‘Kematian’ dan ‘harapan’ mengambil posisi berbaku punggung; harapan tak pernah secara verbal dikatakan mati, dan kematian tak pernah disebut akan mendatangkan harapan. Keduanya seolah dua sisi dari jalan melingkar yang tampaknya tak bersinggungan; kita sibuk menjaga harapan meski kita tahu pasti kematian datang/pada malam yang asing/dan bising oleh kata-kata (“Kematian Penyair”).
Sikap itu tampak absurdis –harapan adalah batu di tangan Sisifus dan kematian adalah bukit itu. Namun, jika harapan dan kematian beradu punggung maka akan terbentuk garis/ruang di antara punggung-punggung tersebut, garis/ruang itu tiada lain adalah kehidupan. Kata ‘hidup’ dalam puisi-puisi Angga hadir lebih banyak ketimbang ‘harapan’ atau ‘kematian’. Berbeda dengan keduanya, ‘hidup’ bukanlah sesuatu yang ‘telah’ atau ‘akan’ (berlangsung), ‘hidup’ adalah sesuatu yang ‘sedang’ (berlangsung). Dengan kerangka seperti itu puisi-puisi Angga menempatkan ‘harapan’ dan ‘kematian’dalam suatu simbiosis yang dimungkinkan oleh adanya kehidupan. Maka keduanya bukanlah ‘benda’ (bukan ‘batu’ atau ‘bukit’) melainkan peristiwa ulang-alik (terdaki dan terturuni, terangkat dan tergelinding) yang meski identik, tak pernah benar-benar sama.
Pandemi Covid-19 mendesak kita untuk memperbarui situasi simbiosis tersebut. Seluruh manusia yang sebelumnya tampak terpecah-pecah dalam perbedaan suku, ras, agama, negara, dan kelas sosial saat ini berada dalam medan yang sama, berupaya sekuat bisa dengan bermacam variasi pemikiran, sikap, tindakan, kesepakatan, pertentangan, bahkan benturan untuk kembali dapat ‘menjalani’ kehidupan dengan wajar.
Sebagai deus dari puisi-puisinya, Angga Wijaya telah menciptakan subjek yang ‘menjalani’ kehidupan untuk mencapai titik kewajaran. Maka wajar pula jika Angga mengambil bahan-bahan -dan lalu mengabstraksinya- dari kehidupannya sendiri. ‘Menjalani’ kehidupan adalah pilihan yang ditempuh leluhur-leluhur kita, sehingga kita bisa berada di sini, saat ini, menjalani pula kehidupan ini. [T]
- Tulisan di atas adalah kata pengantar untuk buku kumpulan puisi ‘Menulis Halusinasi’ karya Angga Wijaya yang baru saja terbit.