Pemberdayaan dari bawah haruslah bersama komunitas bukan didikte kepada mereka. Ini berarti tidak sekedar memberikan fasilitas dan modal agar menjadi mesin penggerak ekonomi melainkan harus terhubung dengan kondisi alam, budaya dan sejarahnya.
Kisah yang saya simak dari pameran seni dan diskusi buku berjudul Melawan Setan Bermata Runcing yang diselenggarakan di Kulidan Kitchen tanggal 12 Februari 2020 yang dibawakan oleh Butet Manurung sebagai pendiri Sokola Institute memberikan wawasan penting mengenai pendidikan sebagai pemberdayaan dan gerakan akar rumput.
Dipandu oleh I Komang Adiartha sebagai pengelola Kulidan Kitchen, pembahasan itu menyajikan banyak hal yang relevan bagi public. Terkadang niat baik untuk membantu komunitas terpencil perlu ditimbang ulang. Karena bantuan itu boleh jadi kontra dengan hasil yang diinginkan.
Contoh yang dipraktekan pada komunitas terpencil seperti orang Rimba di Sumatera dan orang Kajang di Sulawesi antara lain pemberian ayunan dari LSM, pendirian rumah oleh pemerintah hingga standarisasi pendidikan yang meminggirkan nilai nilai budaya orang ini diantaranya pemaksaan seragam merah putih hingga pelajaran yang diterimanya tidak terhubungan dengan lingkungan dimana mereka berada menyebabkan program itu berjalan tidak efektif karena komunitas dipaksakan untuk ikut tanpa berdialog secara partisipatif. Ini adalah contoh niat baik yang jadi sia sia.
Paulo Freire menjabarkan kritiknya terhadap bantuan semacam ini yang tampak memberdayakan di permukaan esensinya ingin menundukan. Pertama, asistensialisme bertentangan dengan panggilan kodrat manusia sebagai subjek dengan memperlakukan penerima bantuan sebagai objek pasif yang tidak mampu ikut serta dalam proses pengembangan diri sendiri. Kisah di atas yang dialami oleh orang Rimba dan orang Kajang adalah contoh dimana dua komunitas itu menjadi objek untuk dibantu, bukan sebagai subjek yang mampu menentukan kebutuhan mereka sendiri.
Kedua asistensialisme melawan proses demokratisasi fundamental. Dua komunitas itu tidak dilibatkan dalam menentukan proyek pendidikan dan perumahan yang cocok dengan kondisi lingkungan , sejarah dan mata pencaharian yang membentuk budaya mereka. Bahanya paling buruk dari asistensialisme adalah sifat antidialognya karena si penerima menjadi bisu kepada si pemberi sehingga cenderung bungkam dan pasif, dan menolak peluang untuk membangkitkan kesadaran kritis karena sudah merasa tertolong.
Pendekatan yang dilakukan oleh Sokola Insitute berkebalikan dari asistensialisme. Pemberdayaan sejati haruslah bersama dengan komunitas dimana pihak luar menjadi fasilitator. Sokola institute mengibaratkan ini dengan mengajarkan komunitas membuat mata pancing dan menggunakannya daripada mengajari cara menangkap ikan. Frase Mata pancing ini menarik.
Mata pancing dan alat pancing itu berbeda beda sesuatu dengan jenis dan ukuran ikan yang akan ditangkap serta wilayah tempat memancing. Tangkai, senar dan mata pancing untuk ikan berat di laut lepas pasti lebih keras, kokoh dan besar dibanding dengan yang diperuntukan untuk ikan sungai dan danau dengan ukuran relatif lebih ringan. Jadi mata pancing itu adalah peralatan untuk menyelesaikan masalah.
Sokola institute membimbing komunitas untuk membuat peralatan yang sesuai dengan permasalahn untuk diselesaikan bukan sekadar teknik menyelesaikan masalah dengan jenis peralatan tertentu. Yang dipakai oleh Sokola Institut adalah peralatan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan beserta masalah yang ada.
Jika analogi Ini dibawa ke dalam pendidikan berarti literasi yang dirancang harus menyentuh permasalahan yang dimulai ketika komunitas membahas permasalahan di tempat mereka dan hubungan permasalahan itu dengan lingkungan yang mana mereka tinggal di dalamnya lalu merancang kurikulum untuk menyelesaikan masalah dan mencegah masalah yang sama muncul lagi. Kemudian memberikan sarana dan prasaran yang benar benar sesuai dengan kebutuhan komunitas serta membekali mereka menghadapi tantangan zaman karena selalu terhubung dengan dunia luar.
Demikian pula Komponen amat penting dari pemberdayaan adalah literasi terapan karena dengan hal tersebut komunitas terpencil mengenal diri mereka dan lingkungan berserta permasalahan di tempat mereka berada. Kemudian dari hal tersebut dikembangkan keterampilan yang dipadukan dengan ilmu ilmu dari luar komunitas untuk menyelesaikan masalah dan memperkuat kedudukan mereka supaya berdaya di tanah sendiri.
Tugas penting seorang pendidik adalah mengajar komunitas agar mampu menolong dirinya sendiri, menempatkan mereka agar secara kritis dan penuh kesadaran menghadapi masalah. Inilah esensi dari demokrasi sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial untuk pemberdayaan dan penyelesaian masalah.
- Gambar: Karya Ilustrasi berjudul Literasi Terapan yang dibuat oleh Oceu Aprista Wijaya sebagai salah satu pendiri Sokola Institue.. Pada pameran seni di Kulidan Kitchen, di bawah ilustrasi itu tertulis paragraph berikut ini dari Fawaz yang merupakan rekan Butet Manurung. “Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi terkini di komunitas dan bersama dengan komunitas tempatan”.
Anggota komunitas yang terdidik ini akan menjadi kader untuk memperjuangkan hak mereka dan kelestarian wilayah mereka tinggal dalam berhubungan dengan dunia luar. Kader berasal dari bahasa Perancis Cadre yang berarti kekuatan terorganisasi dalam sebuah kerangka kerja yang juga terorganisasi yang bertugas menjaga wilayah.
Para kader ini akan membentuk suatu wadah untuk menyelesaikan persoalan yang ada di lingkungannya. Harus diingat bahwa sekalipun organisasi itu penting , keberadaannya seperti Baju. Baju dapat langsung dibeli di toko sesuai keinginan pemakainya dengan model model yang terpampang di media tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan badan atau kecocokan dengan kondisi alam mereka tinggal sehingga saat digunakan dapat menjadi tidak nyaman karena terlalu longgar atau terlalu tipis.
Sebaliknya orang yang sudah memahami kebutuhan dirinya akan datang ke penjahit meminta baju dengan model yang ia butuhkan dan dengan ukuran yang pas. Sama seperti komunitas yang sudah memahami persoalan dan menyepakati kebutuhannya , maka akan otomatis mengorganisasi diri untuk mencapai tujuan bersama.
Seluruh proses pendidikan Sokola dari membimbing untuk mengenali permasalahan yang ada hingga membentuk kader yang memperjuangkan hak haknya secara mandiri merupakan rangkaian proses yang mengandalkan kekuatan komunitas :
Pertama , tahap penyadaran yang mengajak komunitas untuk mengetahui dan menyadari konteks persoalan mereka sendiri; kedua , tahap pengorganisasian yakni mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi komunitas melalui representasi organisasi yang dibentuk beradarkan kebutuhan dan kesepakatan komunitas; dan ketiga, tahap aksi berupa upaya upaya untuk mempertahankan ekosistem kehidupan atau upaya lain untuk menjaga kehidupan.
Literasi Kritis
Ada tiga macam pendekatan literasi dalam masyarakat saat ini termasuk di Pulau Bali yang mana menjadi tempat Sokola Institute menyelenggarakan pameran seni dan bedah buku berjudul Melawan Setan Bermata Runcing pada bulan Februari 2020 yaitu literasi fungsional, literasi liberal dan literasi kritis. Menurut konsep literasi fungsional, seorang disebut melek huruf dan angka jika dia mendapat pengetahuan dan keterampilan yang membuatnya mampu melaksanakan semua kegiatan yang menekankan pentingnya aksara dan angka dalam kegitana itu di dalam masyarakat dan terus menggunakan keterampilan tersebut untuk membangun komunitasnya. Literasi fungsional paling banyak dipraktekkan di sekolah sekolah saat ini.
Literasi liberal memandang literasi sebagai kegiatan untuk membantu kelompok masyarakat terbelakang untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas dengan kemampuannya. Literasi liberal menekankan pada perkembangan pribadi dan harapan individu. Ini juga mencakup kemampuan membaca dan menulis sebagai cara untuk kreatif dan berasosiasi dengan masyarakat lain di luar masyarakatnya sendiri. Literasi ini bertujuan untuk membangkitkan daya kreatifitas.
Literasi yang jarang diajarkan di sekolah adalah literasi kritis yang menurut Paulo Freire bertujuan untuk membaca dunia tidak hanya kata dan gambar. Orang juga harus membaca realita dan hubungan hubungan yang ada di dalamnya. Ini bertujuan agar peserta didik memahami dunianya dalam kaitan dengan keadilan dan ketidakadilan, kekuasaan dan penindasan , lalu dengan demikian dapat mentransformasi dunianya. Menurutnya literasi itu politis dalam arti tidak terpisahkan dari relasi kuasa.
Kurikulum sekolah, buku dan media itu tidak lepas dari relasi kuasa pemerintah, penerbit dan pemilik yang punya kepentingan tersendiri. Saya pikir jarangnya masyarakat mendapat pengetahuan soal ini termasuk yang belajar di lembaga formal adalah karena itu akan mempertanyakan sistem pendidikan dan tatanan sosial yang sudah dirancang saat ini. Literasi melibatkan refleksi kritis dari para pembelajar tentang lingkungan sosial mereka dan posisi yang mereka ambil di dalamnya. Yang terpenting dalam literasi kritis adalah orang mempelajari kata dan pada saat yang bersamaan terlibat dalam analisis kritis tentang lingkungan sosial di mana ia berada sehingga terbentuk kesadaran kritis.
Freire mengatakan jika murid terlepas dari rasa ingin tahu untuk menelisik dan terpisah dari praksis ia tidak akan benar benar jadi manusia. Pengetahuan hanya berkembang melalui pencarian yang tanpa lelah , tanpa henti dan terus menerus di dalam dunia, bersama dunia dan satu sama lain. Kritis yang dimaksud merupakan analisis yang berusaha membongkar masalah masalah sosial yang ada, yang tersembunyi di dalam teks, gambar dan praktik sosial yang diamati.
Paulo Freire mengatakan bahwa belajar membaca dan menulis merefleksikan secara kritis proses itu sendiri dan merupakan hal hal mendasar dari bahasa karena bahasa itu ada berkat pemikiran dan pemikiran itu ada karena dunia yang menjadi acuannya, maka bahasa itu merupakan kata dan aksi. Pendidikan yang sejati adalah praktik pembebasan karena membebaskan pendidik dan yang terdidik dari kebisuan. Keduanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu belajar berdialog meski masih dibayang-bayangi oleh peranan pendidik sebagai mana biasanya , dan yang satu menganggap diri cukup berharga.
Paulo Freire mengungkapkan bahwa seseorang hanya dapat mengetahui bila realitas alam, budaya dan sejarah yang melingkupinya. Jadi fenomena sosial termasuk masalah yang ada itu terhubungan dengan kondisi bentang alam, kebudayaan masyarakat dan sejarah masyarakat. Penyelesaian Permasalahan seperti itu adalah kebalikan dari apa yang disebut oleh teknokrat sebagai problem-solving (penyelesaian masalah). Jika pendekatan problem solving, seorang ahli mengambil jarak dari realitas, menjelaskan menjadi bagian bagian, memikirkan cara cara plaing efisien untuk menyelesaikan kesulitan dan mendiktekan kebijakan.
Cara seperti itu menurutnya meminggirkan manusia sebagai totalitas dengan menjabarkannya semata mata kepada dimensi dimensi yang dapat diperlakukan sebagai objek seakan akan hanya berupa masalah yang harus dipecahkan. Baginya, penyelesaian masalah ini berarti melibatkan seluruh rakyat dalam himpunan realitas total menjadi simbol simbol yang dapat menggubah kesadaran kritis serta mendorong mereka untuk mentransformasi hubungannya dengan alam dan kekuatan sosial.
Dengan begitu rakyat tidak menjadi objek tapi subjek atas dirinya sendiri. Aksi sosial tanpa refleksi kritis akan menjadi aktivisme kacau. Teori tanpa tindakan sosial adalah idealisme yang bersifat melarikan diri. Bila seseorang menggnakan metode yang mendorong dialog dan hubungan dua arah maka pertama tama dia harus menganut ideologi persamaan derajat manusia, penghapusan hak istimewa , dan tidak melestarikan kepemimpinan elitis meskipun menuntut kualifikasi tertentu.
Paulo Freire menuntu agar mereka yang membawa pengetahuan dari luar untuk melibatkan diri dalam dialog bersama dengan para penduduk setempat untuk mempelajari bagaimana menerapkan pengetahuan luar yang sifatnya parsial kepada totalitas situasi pedesaan yang dijadikan masalah dialog. Ini yang dipraktekkan oleh Sokola Institute dalam memberikan komunitas pengetahuan dari luar seperti matematika, bahasa Indonesia dan tekonologi yang mana disesuaikan dengan kehidupan dan permasalahan yang dihadapi orang Rimba sebagai contohnya. Ciri seorang pendidik sejati bukanlah persuasi, melainkan kemampuan berdialog dengan para terdidik dalam suatu hubungan dua arah.
Manusia tidak hanya ada di dalam lingkungan tapi ada bersama dengan lingkungan. Misalnya, seseorang , saat berada di hutan, berarti dia bersama dengan hutan dan biota yang ada di situ serta saling mempengaruhi satu sama lain entah itu memperbaharui dan merawat atau merusak. Manusia berperan dalam dimensi kreatif, maka dapat memasuki realitas dan mengubahnya. Tidak seperti hewan yang tidak dapat mengubah realitas melainkan beradaptasi saja, manusia punya daya untuk mengubah realitas sesuai yang dia inginkan.
Pemecahan masalah diadakan bersama dengan komunitas bukan dengan memaksakan komunitas atau solusi itu diberikan untuk komunitas. Pada bagian terakhir yang berbunyi untuk komunitas ini mengacu pada asistensialisme dimana merupakan praktik itu dapat menimbulkan masalah baru seperti pada bagian awal artikel ini. Pendidikan hadap masalah harus membangkitkan kesadaran kritis yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah, keterangan yang dianggap magis atau fatalis digantikan dengan sebab akibat dengan menguji penemuan seoseorang dengan keterbukaan pada pembaharuan, menghindari prasangka sewaktu menganalisis , menolak pemindahan tanggung jawab dengan berperan aktif, lebih mengutamakan dialog dan mencegah polemik, menerima sesuatu yag baru bukan karena dia baru dan tidak menolak sesuatu yang lama karena sudah lama.
Dapat membaca berarti menguasai teknik membaca dalam mengembangkan kesadaran, mengerti apa yang dibaca dan menulis apa yang dimengerti. Mampu membaca berarti mampu berkomunikasi secara tertulis. Baca tulis tidak hanya menghafalkan kata-kata atau kalimat-kalimat tetapi lebih mengembangkan kecenderungan mencipta ke arah niat untuk menangani lingkungan sendiri.
Maka peranan para pendidik pada dasarnya ialah memasuki dialog dengan orang-orang buat huruf mengenai situasi mereka yang konkret dan menyediakan perangkat bagi mereka agar mereka dapat mengajar dirinya sendiri membaca dan menulis. Pendidikan ini hanya dapat dijalankan dari dalam ke luar oleh komunitas yang bekerja sama dengan para pendidik. Berarti disini pihak pendidik dan terdidik salling belajar satu sama lain bukan mendikte dan kedua belah pihak adalah rekan yang setara.
Sumber Bacaan:
- Manurung, Butet Dkk. 2019. Melawan Setan Bermata Runcing. Jakarta. Sokola Institute
- Freire,P. 2001. Pendidikan yang Membebaskan. Terjemahan oleh Martin Eran. Jakarta, MELIBAS