kematian siapa hari ini?
ku harap ajal
berhenti menyalip di tikungan. kembali
dari diri ditakar nyawa
dan bergugur surga
di pangku pendeta-pendeta
melacur mantera
orang-orang meski ingin
tak henti tanya
siapa mati ini hari?
kerabat-kerabatmu, kan?
pasti bukan dariku
dan upacara digelar. saban hari
berhari-hari
ku telan tawa sendiri
linang kenang sulut tangis
sorang anak pinta bapak: yang mati
dikubur kata-kata. tapi
penyair puasa puisi
runyam
legam, lebam, terkantuk angannya kaya
tidak, tidak, bukan itu waktu
jadi, siapa mati hari ini?
hati
kepastian
berulang kali kita sesat pada tanya
yang tak habis dijawab, sebelum pergi
kau hanya mengangguk
dan aku tetap tidak mengerti
‘kita adalah suka duka’
lenguhmu pada nasib
yang merampas masa muda
mungkin kau ingin pergi
dimana semua bermula
keabadian
sahabat seperti hujan
tik tik
tik tik tik
aku mulai menghitung hujan. di kepala
satu dua empat berlipat
tiga tinggal.
sengaja ku beri padamu
hadiah kar’na kau sampai lebih dulu
jangan menangis
biar awan saja
seperti semestinya musim
mekar di matamu yang teratai
nun
di sudut bumi yang lain
hujan tak dikenal seperti kita
barangkali seperti masa lalu
yang kita seduh berkali-kali
dari waktu ke waktu
sampai sore ini, aku ingin jadi langit
tapi kau sampai lebih dulu
hadiah
ku tulis garis takdir sendiri, kekasih
sedang senyummu yang malu-malu
aku terima apa adanya
saat menusuk dada
sekuntum belati digenggam kananmu, erat
darah membuncah kegirangan
dan jiwaku terbang, ringan, bahagia
apa lagi apa, kekasih
yang paling berharga: kematian
dan kubalas peluk padamu
hatiku tak pernah kusut, sayang
tiap pagi ku setrika dan ku wangi
selalu rambut ku sisir dan minyaki
malam ini kau aku hampiri
mengulum senyum seperti kanak-kanak dan permen karet
di saku kemeja yang rahasia
ada masa depan kita
___