Jika Makepung dianggap suatu kebudayaan, terlebih, ia telah menjadi simbol suatu kabupaten (Jembrana), maka sekiranya ia memang layak mendapat pemaknaan filosofis. Namun demikian, penting untuk dimengerti antara kuasa pemaknaan yang keliru (dan menjadi lazim oleh publik) dengan kuasa struktur di mana kebudayaan dan filosofi Makepung itu tercipta.
Artinya, filosofis yang lazim selama ini patut dipertanyakan kemunculannya. Bagaimanapun sebuah kebudayaan yang menyimpan metanarasi (ideologi) tak pernah cukup telanjang untuk dikenali. Maka, dalam mempertanyakan hal itu, masyarakat Jembrana harus memiliki pilihan antara filosofis yang dilazimkan publik dan pilihan-pilihan yang mereka susun sendiri.
Pemaknaan yang dilazimkan publik (tak tertulis) kadangkala menimbulkan kekeliruan. Semisal, mayoritas masyarakat Jembrana selama ini memaknai Makepung sebagai suatu penindasan oleh penguasa, dalam artian pemimpin suatu instansi kenegaraan.
Atau lebih sederhana lagi: penguasa tetap berkuasa untuk menindas dan rakyat hanya bisa menurutinya. Maka, filosofi Makepung yang sekaligus menjadi ikon Jembrana itu tidak cocok karena tidak pro rakyat dan menjadi pangkal penyebab ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Saya kira tak begitu adanya. Saya pikir filosofi sebuah kebudayaan Makepung tak ada hubungannya dengan sistem pemerintahan modern. Makepung lahir sebelum diberlakukannya sistem kepemimpinan modern di Jembrana. Itu berarti, filosofi makepung harus dikaitkan dengan masyarakat pra-modern di Jembrana.
Sejarah mencatat, pada masa itu, masyarakat Jembrana adalah kaum agraris yang hidup dengan semangat dan kegembiraan. Saya kira hal itulah satu-satunya artefak yang bisa dijadikan cikal-bakal jika ingin memberikan pilihan dalam mengkaji ulang filosofi Makepung.
Jika dipandang dari sudut positif (bukankah kita harus bersikap positif sejak dalam pikiran?), dalam Makepung diharuskan ada pihak penguasa, maka penguasa itu sendiri adalah semangat dan kegembiraan. Sedangkan, pihak yang dikuasai adalah masyarakat Jembrana itu sendiri, pelaku kebudayaan Makepung.
Dengan demikian, saya pikir tak satupun masyarakat Jembrana ada yang menolak dirinya dikuasai semangat dan kegembiraan. Dan dengan demikian pula, tak satupun masyarakat Jembrana mengatakan bahwa filosofi Makepung salah atau tak cocok dijadikan acuan untuk mencapai kemajuan. [T]