Catatan Harian Sugi Lanus 16 Februari 2021
____
1. Kependetaan Hindu Bali sangat jelas bacaan wajibnya.
Artinya, punya pedoman kependetaan, dasar etika, pengetahuan dasar yang harus dimiliki, dan harus memiliki kemampuan standar yang harus dikuasai dengan baik sebelum seorang calon pendeta di-diksa oleh Nabe-nya. Jika tidak punya pengetahuan lewat bacaan wajib seorang calon pendeta lalu di-diksa oleh seorang Nabe, maka Nabe tersebut masuk kategori “NENTEN MANUT SASANA” — MELANGGAR ATURAN-SASANA KEPENDETAAN. Demikian disebut dalam lontar RSI SASANA. Jadi, jelas antara bacaan wajib, kemampuan dasar, serta persyaratan lainnya, harus dikuasai oleh seorang calon pendeta Hindu Bali. Tidak bisa sama sekali seseorang “ujug-ujug diksa” oleh seorang NABE (pendeta guru senior).
2. Kependetaan Hindu yang mana? Kapan? Pedoman yang mana dimaksud punya kejelasan?
Yang saya uraikan adalah pendetaan “dwijati” di masa sebelum kemerdekaan (1945) — sebelum terbentuknya Parisada Hindu di Indonesia.
Kependetaan atau Kasulinggihan sebelum kemerdekaan meninggalkan arsip-arsip jelas berupa lontar-lontar pedoman kependetaan yang sangat jelas dan terinci.
Sumber uraian saya adalah:
a). Catatan peneliti Belanda tentang proses diksa dan persiapannya di tahun sebelum kemerdekaan.
b). Survei saya secara pribadi di 7 rumah pendeta di Bali utara (wilayah kabupaten Buleleng) terhadap koleksi lontar-lontar yang dibaca dan dikoleksi oleh para pendeta di tahun 1920—1945 yang sampai saat ini lontarnya dikoleksi oleh para pewarisnya.
c). Pendataan koleksi perpustakaan lontar Gedong Kirtya Singaraja yang memiliki ribuan lontar, diantaranya ratusan berisi agama dan pedoman kependetaan Hindu di Bali yang terkumpul semenjak tahun 1920-an sampai 1940-an.
3. Bagaimana proses diksa dan persiapannya di tahun sebelum kemerdekaan?
Persiapan seseorang memasuki diksa dwijati adalah dengan membaca lontar-lontar pedoman dasar kepanditaan.
Padiksan (atau proses inisiasi suci) dipersiapkan dengan proses membaca dan menguasai lontar-lontar wajib. Calon pendeta dwijati wajib menguasai beberapa “cabang keilmuan wajib” yang tertulis di lontar-lontar.
Apa yang saya akan uraikan adalah kesaksian dan catatan rinci V. E. Korn, yang bersumber dari para sulinggih yang ditemui, dinterview, dan disaksikan proses diksa-nya oleh V. E. Korn. Catatan proses diksa dan persiapannya ditulis oleh V. E. Korn dalam “Balische priesterwijding / Ong awya prana masameh” dimuat dalam Koloniaal Tijdschrift, XVII (1928), halaman 481-500.
Perihal calon pendeta ditulis sebagai berikut, persyaratan dasar dan pedoman lontarnya:
Untuk berpartisipasi (masuk) dalam kehidupan publik sebagai pendeta, seseorang harus telah mencapai usia paruh baya [Catatan saya: Ini artinya minimal 50 tahun, tapi umumnya 60 tahun jika orang tuanya bukan pendeta dwijati]. Hal ini tidak hanya ditentukan oleh buku pedoman lontar seperti BRAHMATATWA, tetapi didahului studi pendahuluan dan banyak aturan perilaku membuat hampir tidak mungkin bagi seorang kandidat muda untuk melakukan fungsi kependetaan dengan memuaskan.
Meski begitu aturan tersebut terkadang kekhususan karena alasan yang praktis [Catatan saya: Hanya ketika pendeta sepuh berpulang dan putra tertuanya yang diinisiasi langsung waluaupun belum mencapai usia paruh baya. Semata mata meneruskan garis kependetaan agar tidak terputus, jadi alasan masuk diksa bagi yang belum umur paruh baya (50 tahun) karena orang tuanya yang menjadi pendeta berpulang/meninggal]…. Pada saat kematian seorang pendeta, kliennya dipindahkan ke anak laki-laki yang menggantikannya dalam garis silsilah, dan secara tradisi turun-temurun inilah yang terkadang menuntun seorang brahmana untuk mengambil status kependetaan pada usia muda di agar bisa menggantikan ayahnya ketika waktunya telah tiba. Biasanya, putra tertua dari istri kepala pendeta ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya, dan fakta ini diperhitungkan dalam asuhannya.
Kaum muda [yang bersiap memasuki kependetaan] belajar membaca sejak usia sangat dini untuk dapat mulai mempelajari buku-buku agama, juga segera menerima pengajaran tentang aturan hidup dan perilaku yang luhur kependetaan. Ini tujuan ganda untuk mencapai pengetahuan sesempurna, dan mungkin untuk terhantar pada jalan kehidupan yang tidak dapat dilanggar tetap menjadi ciri khasnya sepanjang hidupnya [Catatan saya : Yang dimaksud adalah belajar etika kependetaan yang tidak boleh dilanggar ketika melinggih, dimulai dari usia muda, karena dilatih dan dipersiapkan dari usia muda, tidak ada calon pendeta yang tiba-tiba memasuki kependetaan tanpa pelatihan membaca dan mempelajari agama dari lontar-lontar]).
Demikian aturan ketat kependetaan yang dicatat oleh V. E. Korn dari hasil pengamatan dan interview para pendeta di tahun 1927-1928 di Bali.
Dari catatan dan keterangan para pendeta di Bali tahun 1927-1928 tersebut jelas tidak mungkin orang Bali menjadi pendeta kalau buta huruf Bali.
4. Tidak ada calon pendeta Hindu Bali yang buta huruf Bali dan tidak menguasai lontar-lontar kependetaan.
Apa saja lontar-lontar wajib dibaca sebelum melinggih atau diksa?
Penjelasan dari pendeta-pendeta yang diwawancari V.E. Korn menjelaskan beberapa buku wajib (lontar-lontar) yang harus dikuasai sebelum orang berpikir memasuki dwijati:
Calon pendeta, sisya atau nanak, memperoleh pembelajarannya dari seorang mentor pendeta (nabe, guru, siwa, surya, purohita) yang mengenalkannya dengan literatur Bali yang sangat banyak, hampir setiap bagian yang lebih besar atau kecilnya pentingnya bagi seorang pendeta. Salah satu hal terpenting bagi siswa adalah membiasakan diri dengan kelompok pertama jilid lontar Bali, yaitu WARIGA, yang biasanya dianggap hanya berupa tulisan-tulisan tentang kronologi [kalender dan pedoman jadwal kegiatan suci dan kehidupan sebagai pemeluk Hindu], tetapi di antaranya ada juga yang memasukkan karya-karya filologi dan kerajinan tangan. Secara kronologis WARIGA dibagi menjadi empat sub kelompok, WARIGA GEMET, WARIGA BATAK [?], WARIGA JANANTAKA, dan WARIGA PANCHAKANDA. Wariga-wariga ini dianggap sangat penting, karena mengandung materi dasar untuk semua bidang pembelajaran lainnya dan karena praktis semua tulisan Bali terkait dengan mereka dalam satu atau lain cara, atau setidaknya presupposisi pengetahuan tentang mereka.
Wariga menjadi dasar dari semua pengetahuan sebelum memasuki kependetaan Hindu Bali. Tanpa pengetahuan Wariga yang terbagi menjadi empat pembagian tersebut, yang disajikan dengan sangat runut dan jelas terjabar dalam sub bagian lainnya. Bisa dipastikan seorang yang tidak memiliki pengetahuan dasar ini tidak bisa memahami dunia kepanditaan Hindu Bali secara utuh.
Setelah melewati bacaan wajib tahap pertama yaitu WARIGA dilanjutkan ke bacaan selanjutnya yaitu teks AGAMA.
Kelompok LONTAR AGAMA terdiri dari 36 lontar. Jadi, jelas 36 lontar kelompok AGAMA ini wajib dibaca oleh calon pandita/sulinggih Hindu di Bali.
Apa saja ke 36 lontar AGAMA tersebut?
Catatan V.E. Korn merangkum dari interview pendeta-pendeta Hindu Bali yang ditemui sebagai berikut:
Calon pendeta itu juga [wajib] mempelajari beberapa karya tulisan Bali kelompok kedua yang terkumpul bersama di bawah nama lontar AGAMA. Untuk menerjemahkan istilah “agama” sebagai “buku hukum” terlalu membatasi, karena kelompok tersebut juga berisi tulisan-tulisan yang mengatur tentang aturan hidup untuk berbagai kelas masyarakat.[Catatan saya : Āgama adalah kelompok lontar pedoman kependetaan. Kata “agama” dalam kependetaan di Bali tidak sama artinya dengan kata “agama” dalam bahasa Indonesa]. AGAMA, juga, dibagi menjadi empat sub-kelompok, yang masing-masing ditunjukkan oleh kitab terpentingnya: SIWASANANA, RAJASASANA, MANTRISASANA, dan PARASASANA. Secara keseluruhan, kelompok AGAMA terdiri dari sekitar TIGA PULUH ENAM karya/judul.
Kitab Agama yang harus dikuasai oleh calon pendeta menyangkut pedoman etik pendeta, etik raja, mantri dan masyarakat umum. Seorang calon pendeta wajib menguasasi etika seluruh lapisan masyarakat karena pendeta Hindu di Bali bukan hanya tukang puput banten, tapi sesuluh umat.
Sumber rujukan dari sesuluh umat Hindu di Bali dapat ditemui dalam lontar-lontar yang masuk kategori SIWASANANA, RAJASASANA, MANTRISASANA, dan PARASASANA.
Usada pun harus dipelajari seorang calon pendeta Hindu Bali, kenapa? Dalam kitab lontar-lontar USADA bukan hanya pengobatan herbal bisa digali, tapi praktek dasar mantra dan puja ada dalam USADA.
Survey dan interview Korn soal hal ini dicatat sebagai berikut:
Biasanya Pendeta juga memiliki fungsi medis, oleh karena itu murid/sisya [calon pendeta] perlu lebih mengenal lontar medis yang dikenal sebagai USADA atau OSADA. Juga kelompok ketiga ini dibagi menjadi empat sub-kelompok: USADA TUWA, USADA LANGKA, KALIMOSADA dan DARMOSADA yang berhubungan dengan penyembuhan orang dewasa, penyembuhan anak-anak, sumber penyakit, dan metode penyembuhan. Meskipun apa yang dapat disebut pengobatan dalam arti sempit memiliki tempat yang tidak signifikan dalam USADA ini, mereka dicirikan oleh daftar “mantra lepas” untuk diucapkan. Hal ini, misalnya, sangat banyak terjadi di Usada Sari yang berisi seluruh kumpulan gejala bersama dengan formula magis yang sesuai untuk pengobatan.
Bahwa studi tentang USADA melibatkan pengetahuan mantra menunjukkan bahwa murid [calon pendeta] tersebut sementara itu mulai menerapkannya pada kategori naskah lanjutan yang secara lebih spesifik berhubungan dengan AGAMA. Di Bali ini disebut studi WEDA.
Dari jenjang studi USADA inilah menjadi “pintu masuk” memasuki khazanah lontar-lontar WEDA.
LONTAR WEDA yang dimaksud adalah kumpulan stawa-stuti yang jumlahnya lebih dari 700 stava-stuti yang telah dikompilasi dalam bahasa murni Sanskerta, dan mencapai ribuan dengan campuran Kawi dan bahasa Bali, belum lagi dalam bentuk SAHA dan atau SESONTENGAN.
Penjelasan dari para pendeta ahli di masa sebelum kemerdekaan, tepatnya sekitar tahun 1927—1928 ketika ditanyai apa itu WEDA di Bali? Jawaban umumnya adalah sebagai berikut:
Pertama-tama datanglah empat pasang, yaitu RIGWEDA, YAJURWEDA, SAMAWEDA, dan ATARWAWEDA… Berikut ini [lanjutannya] adalah studi tentang ARGA (terdiri dari ARGA-PATRA, ARGA-SARASAITA, dan ARGA-SUNYADARMA), dilanjutkan oleh karya-karya [naskah-naksah lainnya] seperti ANGGASTYA dan BODALINGGA, dan akhirnya [seorang pendeta HINDU wajib] mengkaji/memperdalam lontar TUTUR secara intensif. Tulisan-tulisan terakhir ini [TUTUR] memuat doktrin ilmu batin, sebutan untuk misteri dogma. Pertanyaan tentang apa yang membuat kesan terdalam orang Bali mempelajari SASTRA TUTUR ini biasanya dijawab: pertama-tama pengamatan tentang asal mula kehidupan; kemudian proyeksi makrokosmos di mikrokosmos, buwana agung, ‘dunia besar’, di bhuwana alit, ‘dunia kecil’ atau manusia; dan akhirnya perenungan tentang cara sempurna bagi jiwa untuk dibebaskan dari belenggu fisiknya [KAMOKSAN/KALEPASAN/KANIRBANAN/KAIWALYA].
Menjadi pedoman wajib kependetaan Hindu di Bali untuk menguasai sejumlah pengetahuan tentang doktrin-doktrin tersebut di atas, sangat penting untuk pemahaman yang tepat tentang sejumlah perayaan keagamaan di Bali, dan khususnya tentang upacara yang diikuti dengan kremasi. Disebutkan seorang pendeta harus memahami “fungsi naga-banda, ular yang saling terkait, dalam kremasi anggota kerajaan dari kasta ksatriya, misalnya,” dan dijelaskan oleh para pendeta Hindu Bali di masa itu, hal tersebut “tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang pandangan orang Bali tentang ‘dunia kecil’ dan jalan yang dipilih oleh jiwa pada perjalanan akhirnya.” Ini hanya bisa dipahami oleh pendeta yang paham kajian SASTRA TUTUR.
Ternyata tidak selesai di sana perihal bacaan wajib kependetaan. Ada lagi kitab sastra yang harus dibaca.
Keempat kelompok lontar-lontar yang wajib dibaca dan dikuasai tersebut — WARIGA, AGAMA, USADA, WEDA, ARGA, TUTUR — hanya bisa dipahami dengan referensi kompleks literatur teologi yang saling terkait. Apa saja yang menjadi referensi literatur untuk memahaminya?
Literatur yang dipakai untuk referensi pedoman wajib kependetaan tersebut adalah terbagi menjadi beberapa kelompok naskah sastra, sebagai berikut:
- Kelompok awal di kompleks terdiri dari PARWA dari Mahabharata. Dari delapan belas parwa yang ditemukan di Bali, enam tidak ditemukan: Aranyakaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Gadaparwa, dan Aswatamaparwa. PARWA menjadi bacaan wajib untuk memahami konteks mantra, ritual, agama, tutur, dstnya.
- Kelompok kedua, yang juga dianggap termasuk “PARWA”, belakangan ini dimasukkan dalam kategori BABAD, terutama terdiri dari karya-karya sejarah yang kurang lebih seperti PAMANCANGAH, USANA JAWA, USANA BALI, TANTU PAGELARAN, EKA PERTAMA, CHANDRA BERAWA dstnya, patut dikuasai seorang calon pendeta agar bisa memahami konteks historis da latar belakang kehidupan sosial masyarakat yang menjadi “sisya” dari para sulinggih/pandita/pendeta.
- Kelompok ketiga terdiri dari rangkaian panjang tulisan Jawa Tengah dalam bentuk syair WIRAMA, di antaranya BHARATAYUDHA dan RAMAYANA menempati posisi terdepan.
- Kelompok keempat dan kelima, KIDUNG (sejarah dan dongeng lama) dan GAGURITAN (perumpamaan dan satir, banyak di antaranya dalam bentuk sajak tembang) yang memang ada tidak terlalu penting bagi calon pendeta tetapi diharapkan menguasai gambaran umum perkembangannya.
Demikian penjelasan dari pendeta-pendeta yang diwawancari V.E. Korn mengenai bacaan wajib (lontar-lontar) yang harus dikuasai sebelum orang berpikir memasuki pendetaan Hindu Bali di tahun 1927-1928. Tanpa kefasihan aksara Bali, bahasa Kawi, dan juga Sanskerta, serta khazanah sastra umum lainnya, tidak ada peluang memasuki diksa atau inisiasi bagi orang Bali di masa itu. Demikian dulu, sekarang, dunia telah berubah, yang entah.
5. Lontar-lontar bacaan wajib dan pedoman kependetaan Hindu Bali masih disimpan rapi di keluarga pendeta di Bali.
Saya melakukan survei secara pribadi di 7 rumah pendeta di Bali utara (wilayah kabupaten Buleleng) terhadap koleksi lontar-lontar yang dibaca dan dikoleksi oleh para pendeta di tahun 1920—1945 yang sampai saat ini lontarnya dikoleksi oleh para pewarisnya. Survei atas koleksi para pendeta di masa 1920—1945 tersebut membenarkan atau “mengkonfirmasi” catatan penjelasan dari pendeta-pendeta yang diwawancari V.E. Korn mengenai bacaan wajib (lontar-lontar) yang harus dikuasai sebelum orang berpikir memasuki pendetaan Hindu Bali di tahun 1927-1928.
Saya menemukan hampir keseluruhan naskah-naskah atau lontar-lontar bacaan wajib tersebut masih tersimpan di keluarga pendeta yang saya datangi.
Lontar-lontar yang paling disucikan adalah kelompok PUJA STAWA atau WEDA bersama ARGAPATRA, ARGASARASAITA, dan ARGASUNYADARMA.
Kesemua kelompok lontar-lontar bacaan wajib calon pendeta dan pedoman kependetaan Hindu Bali tersebut utuh terwariskan ke para pewarisnya. Jika dilihat dari kolopon (catatan penulisan yang mengandung informasi tahun dan penulisannya) maka rata-rata lontar tersebut disalin dari naskah-naskah sebelum abad 19, atau sebelum tahun 1800, dan jika dilihat dari isinya bisa dilihat pedoman kepanditaan tersebut disusun jauh sebelumnya, beberapa dari periode disebutkan Kediri dan Medang Kamulan, atau dari abad ke 9—12 yang terwariskan di Bali lewat jalur kependetaan tradisional di masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa bagian tengah, Jawa bagian timur dan berlanjut ke Bali. Namun demikian, hubungan kependetaan Bali dan Jawa bukan hanya terjadi di periode Majapapahit (sekitar abad 13—16) tapi telah terjadi di periode Medang Kamulan, atau sebelumnya.
6. Koleksi lontar-lontar kependetaan Hindu Bali lengkap tersimpan di Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya
Saya kemudian mencocokkan dengan koleksi Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya kesemuanya yang disebutkan sebagai pedoman wajib atau bacaan wajib calon pendeta Hindu Bali. Apa saja yang disimpan di Gedong Kirtya? Masih mungkinkah kita menjejaki dan mempelajari secara terbuka bacaan wajib kependetaan di Bali sebelum kemerdekaan — atau sebelum terbentuknya PHDI?
Koleksi lontar kependetaan Hindu di Gedong Kirtya bisa dikatakan sempurna, atau mencakup semua persyaratan wajib atau daftar bacaan wajib bagi pendeta Hindu Bali menurut tradisi Hindu Bali sebelum PHDI terbentuk.
Apa saja koleksi tersebut?
Kelompok Wariga bisa dikatakan lengkap yang terbagi menjadi empat sub kelompok, WARIGA GEMET, WARIGA BATAK [PAWATEKAN], WARIGA JANANTAKA, dan WARIGA PANCHAKANDA.
Sumber SASANA di Gedong Kirtya berlimpah, yang masuk kategori SIWASANANA, RAJASASANA, MANTRISASANA, dan PARASASANA, kesemuanya tersedia dan sebagian besar telah dialihaksara dan beberapa telah diterjemahkan.
Gedong Kirtya punya koleksi bisa dikatakan sempurna memiliki USADA dengan empat sub-kelompok: USADA TUWA, USADA LANGKA, KALIMOSADA dan DARMOSADA.
ARGAPATRA, ARGASARASAITA, dan ARGASUNYADARMA, ada di Kirtya sekitar 10 lontar dengan varian teks yang bisa memberikan gambaran sangat komprehensif tentang pedoman Puja Sewana, baik Pendeta Buddha dan Siwa, serta Karsian.
SASTRA TUTUR yang berisi ajaran tentang asal mula kehidupan; kemudian proyeksi makrokosmos di mikrokosmos, buwana agung, ‘dunia besar’, di bhuwana alit, ‘dunia kecil’ atau manusia; dan akhirnya perenungan tentang cara sempurna bagi jiwa untuk dibebaskan dari belenggu fisiknya KAMOKSAN/KALEPASAN/KANIRBANAN/KAIWALYA — dikoleksi sangat komprehensif dan tidak perlu lagi bergunjing untuk mengembalikan lontar dari LEIDEN, tinggal dibaca saja yang tersimpan di Gedong Kirtya.
Lengkap tersedia keempat kelompok lontar-lontar yang wajib dibaca dan dikuasai tersebut — WARIGA, AGAMA, USADA, WEDA, ARGA, TUTUR — juga semua literatur sastra referensi lainnya yang di Gedong Kirtya dikelompokkan dalam kategori ITIHASA.
ITIHASA atau referensi sastra untuk pemahaman konteks teologis ajaran dan konteks filsafat kepanditaan, tersedia berlimpah di Gedong Kirtya, meliputi lontar-lontar yang berisi: (a) Parwa disusun dalam bentuk prosa; (b) Kakawin — tembang dalam metrum India Kuno dan Jawa Kuno; (c) Kidung — kesusastraan yang disusun dengan Tembang Tengahan (Sekar Madya) dengan bahasa Kawi atau Jawa Kuno Tengahan; (d) Geguritan — kesusastraan yang disusun dengan tembang macapat seperti Sinom, Pangkur, Dandanggula dan sebagainya, mempergunakan bahasa Kawi dan Bali.
7. Sebenarnya PEDOMAN BACAAN WAJIB KEPENDETAAN HINDU BALI sangat lengkap tersedia di Bali. Tergantung kita, sekarang, sebenarnya apakah kita mau benar?