Teeeeeet…teeeeeet….teeeeeet……teeeeeeet……teeeeeeet …..
(maaf pembaca, sekiranya beginilah bunyi bel sekolah saya dulu)
Bel berbunyi, tanda kami semua harus masuk kelas. Kami memilih tempat duduk kesukaan, saya tentu saja dekat jendela agar bisa melihat hal-hal yang terjadi di luar. Suma duduk di pojok belakang, dia suka mencatat tapi tidak suka berhadapan dengan guru, lain dengan Dedek Surya, yang paling rajin di antara kami, duduk di depan, tepat berhadapan dengan meja guru.
Iin dan Devy satu bangku (harus satu bangku) sebab mereka berdualah yang sering mengurus kami, jika sedang menjalankan suatu peristiwa produksi, mereka berdekatan agar mudah diskusi. Jecko masih sendiri memainkan tangannya di atas meja, sambil menunggu Agus yang kita tahu semua, pasti ketiduran dan lupa bangun pagi. Agus suka tidur mendekati pagi. Aguk sedang duduk sambil memainkan gadgetnya, nyecrolin jualan sepatu yang lagi diskon di awal tahun, dan Manik sedang asik di depan laptop, belajar teknik editing termuktahir zaman ini.
Guru itu masuk kelas
“Selamat pagi, apakah pagi selalu mendahului, sebelum kopi itu kami hidangkan?” kami bersembilan mengucapkan salam, sembari menunjuk segelas kopi di meja guru yang tengah mengepulkan asap.
“Terimakasih, ini buatan siapa?” tanya Guru itu
“Saya!” Manik angkat tangan
“Waaaah, kopi hitam tanpa gula, dicampur waktu yang bersembunyi di balik daun dadap ya, Nik?”
“Kira kira begitu, Guru!”
Seseorang masuk kelas, tergesa-gesa, sambil meminta maaf kepada Guru itu. Ia menjelaskan keterlambatannya karena mampir ke Dapur Prima, membeli kado untuk pacarnya. Di tangannya ia membawa bungkusan warna-warni, dari tempat ku duduk tampak kado itu dihiasi sepucuk bunga berwarna merah di bagian atasnya.
Yup, itu Agus.
“Aiiiiih Gus, masih saja kau itu membeli kado, realistis sedikitlah, itu hanya kesenangan yang tercecer di jalan-jalan lalu pulang terlupakan,” kata Suma setengah berteriak di bangku belakang, sembari mengorat-ngoret catatan di buku saku kesayangannya.
Kemudian Guru itu memulai pelajarannya, Biologi. Mengenai macam-macam bunga yang tumbuh di halaman sekolah, daun-daun yang bisa digunakan sebagai obat, serta tentang bagaimana tumbuhan hidup dan mempertahankan dirinya di alam liar. Guru itu panjang lebar menjelaskan bagaimana manusia sejatinya memiliki ego yang tinggi dalam mendomestifikasikan binatang dan tumbuhan.
Sebut saja Monstera yang belakangan ini ngetop di kalangan anak muda kita, akibat Pandemi, jenis tanaman ini menjadi primadona sebagai hobi yang cukup mahal. Monstera yang awalnya hidup di hutan, lalu karena keinginan manusia agar tumbuhan itu ada di rumahnya, di bawa pulang lah, lalu dikembangbiakan, bahkan disilangkan melalui berbagai eksperimen.
“Guru, saya ini hendak belajar teater, apa hubungannya dengan biologi, tidak ada gunanya menghafal nama bunga di halaman sekolah, belajar tubuh Butoh saja lah,” hardik Aguk ketika Guru itu sedang menjelaskan di depan kelas.
“Kau itu terlalu mengecilkan proyeksi Teater Guk, teater yang kau amini itu perlu dipertanyakan ulang, perlu digali lebih dalam,” sahut Suma dengan logat sok-sok bergaya teater.
“Iyaaaa Guuuuuuuuuuk, kitaaaa beluuuuuum sampai di manaaaa-manaaaa, jangan jumawaaaaaaaa, bulaaaan masiiiiiiiih jauh, guuuuuk,“ kata Agus yang beberapa waktu lalu usai menonton The Science of Fiction garapan Mas Yosep Anggi Noen
Sementara itu terlihat Jecko sudang menggambar daun Monstera di dinding kelas, dengan cat berwarna hitam, dengan ornamen sulur-sulur memanjang,, di antara belahan daun monstera. Ornamen khasnya itu menembus jendela, kemudian menggeliat ke dinding lainnya, secara beraturan namun tampak acak, gambar itu menjelma seorang lelaki yang menari di atas daun Monstera.
“Di daun ini, coba kamu perhatikan banyak sekali gurat-gurat yang menuju satu hilir. Guratan ini kemungkinan besar bisa kubentuk jadi partitur tubuhku saat menari, aku hendak menyimpan memori guratan itu ke dalam otot-otot tubuhku,” kata Jecko sembari menari patah-patah di atas meja.
“Kak Jecko, bisakah gerakan tubuhmu itu, aku rekam. Aku ingin mencatat kecenderungannya, lalu mengkatalogisasinya menjadi satuan ukuran dalam bangunan panggung yang ingin aku buat” kata Dedek yang ternyata dari tadi memperhatikan gerakan Jecko dengan seksama, sembari mencatata kemungkinan ruang yang bisa ia wujudkan.
Menuju 5 tahun saya belajar di Teater Kalangan, merupakan suatu pencapaian yang cukup mengejutkan. jika diibaratkan Teater Kalangan adalah suatu ilmu, kami sedang menyusun kurikulum, sampai saat ini pun belum ketemu bagaimana cara menyampaikannya secara lugas dan sistematis, sebab ilmu ini sedang kami raba-raba bersama dengan berbagai cara pandang yang kami amini. Jika diibaratkan Teater Kalangan adalah sebuah warung kami sedang sibuk di dapur, memilih bahan premium, memilih alat-alat yang ideal, menata letak kompor, piring, dan lain sebagainya agar kerja kami ergonomis dan efisien.
Kami juga sedang bertengkar menyusun menu, serta bagaimana cara menyajikannya ke pelanggan. Pengibaratan yang saya katakan bukan berarti semua anggota Kalangan adalah orang yang baru belajar, sekali lagi bukan. Justru kawan-kawan saya ini sudah memiliki pisaunya masing-masing dalam estetikanya berkesenian. Maka dari itu susah sekali menyatukan pisau ini, eh atau jangan-jangan tidak perlu di satukan ya ?.
“Guru, lalu bagaimana misalnya jika suatu tumbuhan tidak mampu beradaptasi, apa yang terjadi?” tanya Iin yang sedari tadi asik mencatat apa yang dikatakan Guru itu.
Guru itu menjelaskan bahwa tumbuhan itu sama saja dengan tubuh kita, yang sedang memakai pakaian. Pakaian itu ialah ruang tumbuh si tumbuhan, jika tubuh tumbuh maka pakaian yang digunakan harus sesuai dengan ruang gerak tumbuhan itu. Maka dari itu pakaian haruslah menyesuaikan bila perlu memiliki berbagai kemungkinan yang tidak bisa ditebak, atau pakaian itu mempunyai support sistem yang bagus, dengan segala juangnya untuk menjaga tubuh agar tetap tumbuh dengan leluasa. Namun jika pakaian tidak mendukung, lingkungan yang tidak selaras dengan apa yang diperlukan tumbuhan, Maka tumbuhan akan mati, depresi.
“Lalu berapa biaya yang dibutuhkan untuk membuat baju yang serba siaga itu,” kata Devy yang sudah mulai menghitung biaya gono-gininya
Jika diibaratkan Teater Kalangan sebagai sebuah ruang, seperti baju itu, kami tengah berinvestasi jor-joran untuk menciptakan ruangan yang baik, bagi masa tumbuh yang menjanjikan. Investasi tenaga, waktu, uang dan juga segala upaya yang melingkupinya. Ruangan yang saya maksud bukan ruangan imajiner ya, melainkan sistem yang berjalan agar segala komponen dalam ruang itu terjaga ketahanannya.
Berangkat dari premis itu, kami pun sepakat untuk membangun nyata ruang yang kami inginkan itu, salah satunya membentuk badan usaha jualan. Sebab roda produksi tidak akan bergerak jika aliran dana masih bergantung pada pihak ketiga, Tahun 2021 ini kami menatap teater sebagai dunia nyata, dunia yang bisa menghidupi kami secara batin maupun lahiriah
Tidak dinyana Manik sudah menyodorkan desain baju Teater Kalangan, untuk dijual secara massive kepada publik. Ia presentasi ke depan kelas menggantikan Guru itu.
“Ini logo kalangan dengan sebuah pohon yang tumbuh, desain ini berdasarkan interpretasiku terhadap pelajarannya Guru itu. Betul juga, kita semua ini pohon-pohon kecil yang ingin tumbuh berlebih, tapi semua butuh waktu, butuh ruang sendiri yang mapan, kita mulai dengan jualan baju ini ya” kata Manik menggebu.
“Kuang warnain dik don ne, Nik, jang di pinggir desain ne, logone kuang gede,” komentar Suma
“Siaaaaaaaap, Kak Maniiiiik,” kata Aguk sambil mengacungkan jempol berkali-kali.
“Inilaaaaah Manik, penyaiiiiir kitaa,” kata Agus.
“Aku ngikut aja, bagus!” kata Jecko
“Nanti dicetak di stella aja, Nik, pasti dapet diskon,” saran Devy
“Sistem ordernya aku yang urus,” ujar Iin
“Oooo gitu, kerjaanku apa dong,” sergah Dedek
Kira-kira begitulah kami bersembilan belajar dalam kurun waktu yang tidak ditentukan, ya namanya juga kelas, pasti ada yang naik kelas, ketinggalan kelas, pindah kelas, dispen dan lain sebagainya. itu wajar
Pada 2021 yang kita harapkan baik-baik saja ini, tidak ada resolusi yang tercatat di desktop, tidak ada juga note-note muluk kinerja untuk ke depan, yang ada adalah kerja nyata, kerja dalam batasan realitas. Teater bukan lagi semacam hobi yang bisa ditinggalkan jika masanya usai, lalu dimainkan lagi ketika musimnya datang. Bukan hobi melayangan yang muncul karena perhitungan musim angin. Teaterlah yang menggerakkan musim. [T]