Pasar Banyuasri berdiri kokoh nan megah dan mewah. Mimpi hebat dirancang untuk menghidupkan denyut nadi pasar. Mimpi itu, di sisi lain tampaknya juga membuat pedagang pasar gundah gulana.
Pasar Banyuasri bernuansa modern, megah, dan mewah dibangun sejak akhir 2019. Pembangunanya menelan biaya sebesar Rp 180 miliar. Baru saja tiang pancang mulai ditancapkan, pandemi Covid-19 melanda dunia, Bali Utara juga tentunya terimbas. Namun, pembangunan jalan mulus hingga tuntas dalam setahun.
Sejak proses pembangunan berakhir, euforia hingar bingar penyambutan dilakukan. Sekadar peluncuran air mancur di depan pasar pun “dirayakan” dengan gempita.
Euforia seolah-olah melanda seisi kota Singaraja yang menjadi ibu Kota Bali Utara. Pusat euforia ada di dalam bangunan pasar. Beragam kegiatan dilakukan untuk menambah euforia, yang hulunya berasal dari pusat pemerintahan.
Pasar Banyuasri telah disematkan beragam, seperti pasar yang serasa mall, hingga pasar tradisional bernuansa modern.
Ya, bupati berulangkali hadir dalam acara obrolan tentang revitalisasi Pasar Banyuasri. Diskusi yang juga menghadirkan para ahli dan praktisi untuk menggambarkan masing-masing impiannya tentang apa dan bagaimana mengelola Pasar Banyuasri.
Mereka berbicara tentang kebudayaan pasar, arsitektur pasar, hasil pertanian unggulan yang akan menjadi ikon pasar, hingga investasi di pasar tradisional modern ini. Segala mimpi beserta rencana eksekusi dicurahkan untuk menghidupkan pasar termegah, termewah, terbesar, serta pastinya menelan biaya terbesar di Bali Utara.
Segala upaya tentu akan dikerahkan untuk membuat pasar ini sebagai pusat denyut nadi Buleleng. Seolah-olah, tidak boleh ada kata gagal dalam menjalankan roda ekonomi pasar termegah ini. Pasar mewah dan megah ini diibaratkan menjadi semacam kartu terakhir bagi sang Bupati, yang kini mulai memasuki akhir masa dua periodenya. “Pasar ini menjadi pertaruhan reputasi,” ujar salah satu ahli.
Mimpi dimulai dengan menjadikan Pasar Banyuasri sebagai pusat produk unggulan Buleleng. Telah dicatat, bahwa Buleleng memiliki ratusan produk unggulan, mulai dari pertanian hingga kerajinan. “300 lebih produk sobean ada di Buleleng,” imbuh ahli lainnya.
Buah misalnya. Buah yang dijual haruslah kualitas terbaik. Mangga yang terbaik, manggis terbaik, ceroring terbaik, durian terbaik, sayur mayur terbaik, bahkan wani terbaik se-nusantara yang berasal dari Bali Utara juga wajib akan dijadikan sebagai unggulan primadona pasar.
Produk unggulan UMKM juga akan diwajibkan menjadi barang wajib yang ada di pasar ini. Songket hingga bokor terbaik akan diupayakan menghiasi etalase los-los pasar. Tak terlupakan, kuliner terbaik pun akan disajikan di pasar yang dibanggakan sebagai pasar terindah, tercanggih, termodern di Buleleng. “Pasar ini akan menjadi pusat industri kreatif UMKM,” ujar “host” diskusi.
Pasar Banyuasri juga digambarkan akan menjadi pusat kebudayaan di Buleleng. Menampung kreativitas anak-anak muda Buleleng. Yang suka musik bisa memeriahkan pasar. Yang suka seni tari bisa tampil di sini. Yang gemar diskusi bisa nongkrong sambil nutur di rooftop pasar. Orang-orang sukses dari Buleleng bila perlu “dipanggil” berdiskusi di dalam pasar. “Akan menjadi pusat interaksi ekonomi dan sosial,” celetuk sang ahli.
Impian Bupati dan para ahli dan praktisi tersebut diyakini semakin membawa harapan besar kemakmuran ekonomi Buleleng. Pasar ini akan dapat menaikkan derajat para pelaku dan pegiat ekonomi Buleleng. Pasar ini akan meningkatkan perekonomian Bali Utara. Pasar ini akan bisa mengubah nasib masyarakat Buleleng menjadi jauh lebih sejahtera.
Bangunan mewah dan megah, serta obrolan visioner Bupati dan para ahli tentang pasar jauh melampaui alam mimpi para pedagang Pasar Banyuasri. Para pedagang yang kebanyakan dari kalangan marjinal, seperti ibu-ibu muda, pria dan wanita setengah baya, hingga lanjutnya usia yang telah menjadi penghuni pasar induk dan pasar tumpah, tak menyangka disuguhi mimpi besar.
Mereka justru waswas ketika membayangkan mimpi besar Bupati dan para ahli. Kekhawatiran yang sangat sederhana bagi sebagian besar pedagang pasar.
Mereka justru sekarang tengah khawatir. Cemas dengan sistem rekolasi penempatan para pedagang. Perasaan gundah menghinggapi benak pedagang mengenang cerita-cerita yang telah berlalu serta sering dialami pedagang kecil, yakni sistem relokasi pasar yang baru selesai dibangun. “Bagaimana dengan tempat kami, kami khawatir dan waswas dengan penempatan nanti,” ujar pedagang.
Mereka juga khawatir dengan ukuran los pedagang yang menyusut luasannya. Jika pedagang untuk berjualan sayur mayur, daging babi, daging ayam, telur, atau buah-buahan membutuhkan luas 2 x 3 meter, maka kini luas los yang disediakan di Pasar Banyuasri yang telah berubah menjadi mewah ini, justru mengecil menjadi 1,5 x 2 meter. “Menaruh barang dagangan saja susah, bagaimana dengan barang kami akan laku terjual,” ujar pedagang.
Kekhawatiran pedagang pasar paling mendasar yang menggelayut di benak mereka adalah berapa besar biaya kontribusi atau sewa yang akan dibebankan kepada para pedagang. Mereka khawatir beban itu akan semakin menambah berat biaya operasional sehingga mengurangi keuntunganya setiap hari. “Kami justru khawatir dengan Pasar Banyuasri yang sekarang menjadi megah dan mewah. Wah, berapa ya biaya konstribusi yang akan dibebankan kepada para pedagang. Berapa biaya yang akan kami keluarkan untuk konstribusi pasar,” ujar pedagang lirih.
Namun rupanya kekhawatiran itu belum terjawab tuntas dalam diskusi.
Obrolan Bupati dan ahli tentang impian besar tentang Pasar Banyuasri jauh dari mimpi para pedagang pasar. Kekhawatiran pedagang kecil itu belum terlintas di tengah obrolan Bupati dan para ahli.
Itu menjadi kekhawatiran bahwa ada kemungkinan terjadi kapitalisasi dalam pengelolaan Pasar Banyuasri. Kemungkinan akan dirancang skema baru biaya sewa atau restribusi yang akan dibebankan kepada para pedagang, baik pedagang lama ataupun pedagang baru yang akan menjadi penghuni pasar.
Jika memang dibangun impian besar bahwa Pasar Banyuasri akan menjadi pusat perekonomian yang bisa menyejaterakan para pedagang dan masyarakat Buleleng maka tak perlu susah memikirkan skema baru sewa atau restribusi. Tak juga butuh ahli ekonom untuk membuat mekanismenya.
Jika Bupati akan menjadikan Pasar Banyuasri sebagai pertaruhan karier di akhir masa pengabdiannya, maka skema yang diluncurkan semestinya sangat sederhana. Bebaskan restribusi dan biaya sewa bagi semua pedagang selama satu sampai tiga tahun, hingga semua pedagang merasa nyaman dan tenang berjualan. Setelah skema ini berjalan, maka Bupati akan lebih mudah menwujudkan mimpi besarnya untuk menjadikan Pasar Banyuasri sebagai pusat ekonomi, pariwisata, dan kreatif Buleleng.
Pertimbangannya pun bisa disampaikan kepada pedagang dan publik tentunya dengan sederhana, “Di tengah keprihatinan ekonomi akibat pandemi Covid-19, maka biaya sewa dan restribusi Pasar Banyuasri akan dibebaskan paling lama tiga tahun,”.
Rasanya mimpi sederhana ini lebih pas diberikan lebih awal kepada pedagang, sebagai sebuah mimpi indah di pagi hari yang menjadi realitas kehidupan sehari-hari pedagang pasar. [T]