Suatu malam saya menyaksikan tayangan ulang tentang Public Hearing draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelaporan Keuangan yang dilaksanakan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Sekretariat Jendral Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Acara yang dibuka langsung oleh Sekretaris Jendral Kementrian Keuangan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk menggali aspirasi dan masukan para pihak terhadap draft RUU Pelaporan Keuangan yang nantinya akan dilakukan finalisasi sebelum diajukan serta dilakukan pembahasan di DPR RI.
Walaupun rasanya geger pembahasan draft RUU ini tidak seheboh saat RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebelumnya, namun penting pula rasanya menjadi perhatian serius masyarakat dan dunia usaha terlebih dalam melihat iklim bisnis di masa yang akan datang. Sejujurnya, visi dari draft RUU ini adalah dalam semangat menuju transparansi dan akuntabilitas publik demi terwujudnya produktivitas ekonomi nasional yang stabil dan berdaya saing, sehingga dirasa diperlukan sebuah pengaturan mengenai sistem pelaporan keuangan yang terintegrasi antar seluruh pemangku kepentingan.
1. PELAPORAN DAN LAPORAN
Barangkali Kita sering mendengar kata “laporan” dan “pelaporan” dalam keseharian dunia kerja utamanya bagi bidang pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan perumusan dan penyajian sebuah laporan keuangan. Namun, tak sedikit pula pandangan awam yang menyamakan makna kedua Kata tersebut. Sesungguhnya, laporan dan pelaporan dalam dunia Akuntansi dan Keuangan merupakan dua hal yang berbeda. Pelaporan Keuangan dikenal dengan istilah financial report dan laporan keuangan disebut dengan financial statement.
Dalam rangka melihat posisi keuangan dan kinerja capaian operasional, sebuah Entitas profit maupun nonprofit, perlu dibuat sebuah Laporan keuangan. Ketentuan dalam penyusunan laporan keuangan di Indonesia diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Pengaturan akan hal ini bertujuan agar penyajian laporan keuangan dapat bertujuan umum sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan sehingga mampu dibandingkan dengan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain yang sejenis. Komponen Laporan Keuangan yang lengkap menurut PSAK No.1 adalah:
- Laporan Posisi Keuangan pada akhir periode,
- Laporan Laba Rugi dan penghasilan komprehensif lain selama periode,
- Laporan Perubahan Ekuitas selama periode,
- Laporan Arus Kas selama periode,
- Catatan atas Laporan Keuangan, berisi kebijakan akuntansi yang signifikan dan informasi penjelasan lain.
Lalu bagaimana dengan penyajian Laporan Keuangan Entitas Non Profit seperti Yayasan????
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indoensia (IAI) telah mengeluarkan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) No. 35 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Non Laba yang berlaku efektif semenjak 1 Januari 2020. Entitas Non Laba yang berada pada sektor swasta dan sektor publik dapat menerapkan penyajian laporan keuangan sesuai interpretasi PSAK 1 tentang penyajian laporan keuangan dan PSAK 45 tentang Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba. ISAK 35 juga memberikan gambaran contoh bentuk penyajian Laporan Keuangan Non Laba yang meliputi:
- Laporan Posisi Keuangan
- Laporan Penghasilan Komprehensif
- Laporan Perubahan Aset Neto
- Laporan Arus Kas
- Catatan Atas Laporan Keuangan
Dari ulasan ketentuan ISAK 35 tersebut, terlihat jelas bahwa Yayasan sebagai Organisasi Non Laba dalam menyajikan laporan keuangannya tidak menampilkan laporan Laba Rugi. Ini dikarenakan memang hakekat organisasi Yayasan tersebut bukan pada konteks mendapatkan Laba yang sebesar besarnya. Walau demikian dalam realitanya acapkali di jalanan sering terdengar pertanyaan khalayak tentang “Berapa Laba Yayasan Tahun ini?”. Mungkin mereka yang bertanya belum menyadari bahwa Yayasan bukanlah entitas profit. Yang kedua, bisa saja pengurus Yayasan belum menerangkan dan menyajikan laporan keuangan sesuai amanat Penyajian Laporan Keuangan Entitas Non Laba, sehingga dalam tampilannya juustru membukukan Akun “Laba/Rugi”.
Kembali pada Laporan Keuangan sebagai sebuah media pengambilan keputusan internal maupun ekternal, sesungguhnhya diatur dalam sebuah keputusan Standar yang berlaku umum di Indonesia. Dalam satu dekade belakangan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan empat Standar Akuntansi Keuangan yaitu: a.) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang terdiri dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), b) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) ETAP bagi entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan dan menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum, c). Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Syariah bagi entitas yang menjalankan transaksi Syariah dan d). Standar Akuntansi Keuangan (SAK) EMKM bagi entitas Mikro, Kecil dan Menengah. Jadi setiap entitas di Indonesia yang berbadan hukum serta bergerak di sektor profit maupun non profit wajib mengimplementasi SAK tersebut dalam kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan transaksi keuangan.
Lalu dimana posisi “pelaporan keuangan” dalam draft RUU ini?
Pelaporan Keuangan dalam ketentuan umum RUU tersebut dijelaskan sebagai segala aspek yang berkaitan dengan penyusunan, pertanggungjawaban, penyampaian, penggunaan, penyaluran dan distribusi, serta penyampaian Laporan Keuangan. Melalui definisi tersebut, draft RUU ini memandang pengaturan pelaporan keuangan kedepan sebagai sebuah proses penyelenggaran pelaporan keuangan menuju pada peningkatan kualitas laporan keuanagan, menyederhanakan sistem penyampaian, mewujudkan ekosistem pelaporan keuangan yang mendukung tata Kelola perusahaan, mewujudkan data dan informasi laporan keuangan yang terintegrasi & terpercaya demi terselenggaranya pelaporan keuangan yang teratur, transparan, akuntabel serta dapat diandalkan.
Selanjutnya dimana korelasi pelaporan keuangan dan laporan keuangan (LK) dalam draft RUU ini?
Pelaksanaan Pelaporan Keuangan dalam draft RUU ini terdiri dari pengaturan terhadap penyusunan LK, pertanggungjawaban LK, penyampaian LK, penggunaan LK, penyaluran dan distribusi LK, serta penyimpanan LK. Keunikan dari draft RUU tersebut juga terletak pada Sistem Pelaporan terhubung secara langsung dan otomatis pada setiap Kementrian dan/atau Lembaga yang memiliki kewenangan menerima laporan keuangan sesuai ketentuan undang-undang. Misalkan satu laporan keuangan entitas akan terkases dalam satu format tampilan di beberapa Kementrian dan Lembaga. Jika di masa lalu Pembukuan dan Laporan Keuangan dibuat berganda untuk keperluan yang berbeda baik untuk kebutuhan Bank dan Perpajakan, maka semangat Undang-Undang baru ini menuju pada segala informasi keuangan menjadi satu pintu dan dapat diakses bersama oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Yang paling menarik lagi ialah masyarakat diperkenankan mendapatkan akses secara langsung atas Laporan keuangan Entitas melalui penyelenggara Sistem Pelaporan yang selanjutnya akan dibentuk melalui Peraturan Pemerintah.
2. ENTITAS
Lalu Siapa saja yang wajib tunduk pada Undang-Undang ini?
Draft RUU menyebutnya dengan istilah “Entitas”. Memang selain dalam pembahasan draft RUU, istilah entitas telah hadir lama di telinga para penggiat akuntansi. Organisasi baik profit maupun nonprofit yang berbadan hukum serta menyajikan laporan keuangan dikenal dengan istilah “entitas”. Kata entitas dalam Standar Akuntansi keuangan yang dikeluarkan oleh Dewan Standar, mengatur tentang SAK pada entitas publik, SAK pada entitas privat (yg rencana akan efektif berlaku 1 Januari 2025), SAK pada entitas MKM, dan SAK padan entitas Syariah. Berbeda dengan itu, dalam draft RUU ini istilah “entitas” dibagi menjadi dua, yaitu: Entitas Pelapor dan Entitas Pelapor Tertentu.
Entitas Pelapor merupakan seluruh entitas yang diwajibkan oleh UU ini untuk menyusun Laporan Keuangan. Sedangkan Entitas Pelapor Tertentu ialah entitas Pelapor yang laporan keuangannya wajib diaudit dalam UU tersebut.
Entitas pelapor dan pelapor tertentu yang dipersiapkan untuk mengikuti UU ini nantinya adalah seluruh entitas diluar pemerintahan. Entitas Pelapor terdiri dari: badan usaha berbadan hukum, badan usaha tidak bebadan hukum, Yayasan, perusahaan perorangan dengan kriteria tertentu dan entitas lainnya yang diwajibkan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Entitas Pelapor Tertentu yang wajib diaudit yaitu: BUMN, BUMD, entitas dengan akuntabilitas publik, entitas bank umum dan BPR, Lembaga keuangan bukan Bank, Yayasan, koperasi, entitas dengan peredaran bruto atau asset tertentu dan entitas tertentu lainnya yang wajib diaudit menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. MELESATNYA PEMBANGUNAN SDM DIBIDANG AKUNTANSI
Perlu disadari bahwa draft RUU Pelaporan Keuangan ini disusun dalam upaya membangun regulasi sistem pelaporan yang terintegrasi dengan seluruh pemangku kepentingan sehingga mengandung asas kemanfaatan, transparansi, keutuhan, kehandalan, kemudahan, dan akuntabilitas. Selain semangat yang tinggi dalam mewujudkan cita-cita RUU ini kepada jalan menuju kestabilan ekonomi nasional, RUU ini juga membuka peluang yang sangat besar bagi pengembangan dunia profesi dibidang akuntansi.
Seperti kita ketahui bahwa beberapa profesi yang nantinya akan turut berperan aktif menjalankan UU ini adalah para akuntan, akuntan publik, konsultan pajak, akuntan manajemen dan juga para pemikir akuntansi yang diletakkan sebagai Komite Standar Laporan Keuangan serta Aparatur Pemerintahan yang menyelenggarakan Sistem Pelaporan Keuangan Terpadu Satu Pintu. Dalam skala yang terkecil, semua entitas dipastikan memerlukan pekerja-pekerja handal dibidang akuntansi yang mampu menyusun laporan keuangan.
Lalu dalam mengadopsi Standar Laporan yang sesuai dengan Keputusan Komite Standar, Entitas juga diprediksi akan memerlukan pertimbangan dari akuntan eksternal. Sebut saja mereka yang membuka Jasa Kompilasi melalui Kantor Jasa Akuntansi (KJA). Lalu dalam mentaati amanat UU sebagai sebuah Entitas Pelapor Tertentu yang wajib audit, maka dihadapkan pula pada terbukanya kesempatan untuk belajar sebagai junior auditor, senior auditor, dan syukur-syukur bisa lulus sertifikasi Akuntan Publik. Karena sepertinya profesi ini semakin dibutuhkan jika RUU ini telah sah menjadi sebuah sebuah Undang-Undang.
LALU BAGAIMANA DENGAN PERSIAPAN “UBUD” DALAM MELIHAT ARAH RUU INI???
Saya tidak akan detail membedah pasal per pasal dalam draft RUU ini yang statusnya juga masih dalam public hearing. Terlebih dalam perjalanan pembentukan perundang-undangan pun juga tampaknya masih terlihat cukup panjang menuju pada tanggal efektif diberlakukannya. Namun perlu juga rasanya “Ubud” sebagai sebuah Desa yang padat akan hingar bingar geliat bisnis, merespon serta menangkap pesan draft RUU ini.
Sehingga secara dini para stakeholders terkait mampu menganalisa strategi kedepan serta menangkap peluang lebih dini dalam menyusun rencana kerja tahunan. Ubud sebagai sebuah destinasi pariwisata belakangan tampak sepi sepanjang dilanda pandemi Covid-19. Walau demikian satu dua perputaran ekonomi masih terjadi utamanya disektor UMKM. Bank-Bank plat Merah dan Swasta Nasional yang membuka Kantor Cabang di Ubud masih tetap berupaya optimis menatap hari cerah wajah ekonomi Ubud di awal Tahun 2021 ini. Satu dua akomodasi hotel dan restoran sudah mulai membuka jam efektif operasionalnya. Walau memang tamu asing yang datang tak kunjung tampak menggairahkan.
Namun demikian sebagai sebuah Entitas Pelapor dalam draft RUU Pelaporan Keuangan ini wajib untuk mempersiapkan diri utamanya dalam membaca kewajiban Entitas dalam RUU tersebut. Satu yang pasti, pelaku usaha baik perorangan maupun badan di wilayah Kepariwisataan Ubud wajib mulai mengenali Standar Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan, walaupun Standar Laporan Keuangan sendiri akan dilahirkan nantinya jika UU sudah berlaku efektif. Praktik di lapangan kadangkala menunjukkan bahwa Laporan Profit and Loss (Laba Rugi) yang dikeluarkan oleh sistem perusahaan dan dikenali oleh pelaku usaha sudah dipandang sebagai bentuk fisik Laporan Keuangan. Padahal masih ada laporan lainnya yang wajib diketahui, disusun serta disajikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam laporan keuangan.
Selanjutnya adalah yang berhubungan dengan kebijakan rekrutmen Sumber Daya Manusia (SDM) masa depan. Tantangan RUU ini adalah menghadirkan pembuat dan pembaca laporan keuangan pada setiap entitas. Terlebih tanggungjawab atas kebenaran informasi laporan keuangan bukan pada ranah Pemerintah dan pihak eksternal lainnya, namun merupakan tanggung jawab Direksi, Pengurus, Pemilik, dan/atau manajemen. Maka kemudian pada titik ini, perlu dipikirkan dalam menempatkan serta membuka peluang sebesar-besarnya bagi Penekun Akuntansi dan Keuangan dalam mengisi sebuah kebutuhan baru yang sangat diperlukan.
Persiapan selanjutnya adalah menyadari bahwa laporan keuangan Entitas Pelapor Tertentu diUbud wajib diaudit. Saya melihat bahwa kata “audit” seperti belum familiar ditelinga kebanyakan. Bahkan mendengar Kata “diaudit” sudah larinya pada konotasi negatif. Padahal hakekat audit sesungguhnya bukan menemukan benar salah sebuah rantai bisnis, namun mengungkap KEWAJARAN atas penyajian Laporan Keuangan.
Dari beberapa jenis Entitas Pelapor tertentu yang telah Saya ulas sebelumnya, tampaknya di Ubud banyak yang tergolong akan itu. Oleh karenanya patut bersiap menuju pada kewajiban audit dikemudian hari. Tanpa mengabaikan yang lainnya, Saya contohkan saja Yayasan-Yayasan dan Koperasi-Koperasi yang beroperasi di Ubud serta dikategorikan sebagai Entitas wajib audit (pelapor tertentu). Maka sudah saatnya dipikirkan untuk melakukan penjajakan kepada Kantor Akuntan Publik sebagai penyedia Jasa Audit serta sudah mulai memasukkan agenda Audit tersebut pada Rencana Kerja Tahunan. Terlebih Beban fee audit yang wajib dikeluarkan juga patut untuk dianggarkan dan dipersiapkan pada Rencana Kerja Anggaran Tahunan. [T]
Tulisan iniu hanyalan sebuah catatan kecil di saat melihat wajah terang menuju “Akuntabilitas” masa depan. Tentu apa yang tersajikan masih jauh dari sempurna dan disadari masih banyak hal-hal prinsip yang perlu dijadikan wacana kritis menyikapi hadirnya draft RUU Pelaporan Keuangan ini.