I Klana, seorang pemuda asal desa Banjar, Bali Utara, nekad membunuh seorang misionaris Kristen bernama Jacob de Vroom. Peristwa itu terjadi tanggal 8 Juni 1881 jam 19.30, I Klana memukul kepala de Vroom dalam perjalanan sepulang dari rumah asisten residen di Buleleng. De Vroom mengalami dua luka parah di kepala. Ia langsung tidak sadar seketika dikapluk oleh I Klana. De Vroom tewas pada tanggal 9 Juni 1881 jam 03 dini hari.
C. Lekkerkerker, dalam bukunya “De Geschiedenis der Christelijke Zending onder de Baliërs” (1919), sebuah buku yang mengupas sejarah Kristenisasi di Bali, menyebutkan kemungkinan I Klana adalah pemuda yang memendam kebencian pada Belanda dari masa kecilnya. Lekkerkerker menilai latar belakang I Klana yang berasal dari Desa Banjar — yang terkenal dengan Perang Banjar (1868) yang habis-habisan berperang melawan pemerintah kolonial Belanda — sehingga kebencian itu yang menyulut menghabisi de Vroom; sekalipun di persidangan terungkap bahwa ia diupah oleh Oedin, dan Oedin diupah oleh I Gusti Wayan Karangasem untuk menghabisi nyawa de Vroom.
Lekkerkerker menyampaikan bahwa ada niatan dari misionaris Belanda menjadikan Bali sebagai Ambon kedua. Di Ambon misionaris telah berhasil mengkristenkan kawasan kepulauan Ambon, tidakkah Bali selanjutkan “diambonkan” saja? Bali dirancang untuk menjadi pulau yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Lekkerkerker menjelaskan dalam bukunya:
“Gagasan pertama tentang pekerjaan misionaris di Bali bermula dari tahun 1683. Orang Bali mulai menjadi bagian yang paling banyak dari populasi Batavia; lalu lintas Batavia dengan Bali tidaklah sepele dan oleh karena itu tidak mengherankan jika pada saat itu, ketika Kompeni memikirkan lebih lanjut tentang Kristenisasi penduduk, muncul pertanyaan apakah Bali tidak dapat diubah menjadi Ambon yang kedua.”
Lekkerkerker menilai peristiwa terbunuhnya de Vroom adalah kisah kegagalan yang perlu ditulis sebagai cerminan kesalahan misionaris di Bali. Dalam halaman depan bukunya terlihat ia menulis “De Geschiedenis der Christelijke Zending onder de Baliërs” sebagai “catatan kegagalan” misionaris di Bali akibat kurangnya pengetahuan misionaris tentang agama dan kepercayaan orang Bali. Misionaris dijelaskan panjang lebar oleh Lekkerkerker telah terlalu bersemangat mau mengkristenkan Bali dengan pikiran bahwa Bali kalau mau mencapai kehidupan keimanan yang lebih baik lambat-laun akan pindah agama Islam atau Kristen. Oleh karena itu mereka berasumsi Kristen harus masuk terlebih dahulu sebelum Bali diislamkan.
Tentang kekurangan pemahaman misionaris Kristen terhadap kultur Bali disampaikan sebagai berikut:
“Sejarah misi di Bali adalah salah satu kegagalan dan kekecewaan, kisah upaya dengan hasil negatif. Tetapi bahkan cerita seperti itu bisa berguna. Ini dapat berfungsi untuk menjadi cerminan dari mereka yang, tanpa pengetahuan menyeluruh tentang melakukan mentalitas, yang berbahaya, berpikir dan perasaan seseorang, ingin mencoba mengubah perasaan ini dalam pekerjaan lain [misionaris?]. Secara khusus, dalam kaitannya dengan keadaan pikiran orang Bali, asumsi yang samar-samar telah dijadikan sebagai fakta yang pasti…. orang Bali hanya dipandang sebagai pagan (berhala) yang buta, hanya berdasar dari asumsi samar-samar bahwa Bali bagian dari penyembah berhala yang bersifat animistik di bagian lain Nusantara. Raffles dan Crawfurd mengakui mereka sebagai penganut agama Hindu, sebagai pewaris mantan Hindu Jawa, tetapi masih sangat sedikit pengetahuan (kita) tentang kepercayaan agama dan pranata sosial terkait.”
I GUSTI WAYAN KARANGASEM BALIK MEMBUNUH
I Gusti Wayan Karangasem terhitung sebagai orang Bali penganut Kristen generasi pertama. Kenapa sampai berniat membunuh Jacob de Vroom yang masih menjadi “bapak”-nya dalam keimanan Kristianinya? Kisah ini bisa menjadi pelajaran dan tempat bercermin menarik melihat pergulatan orang Bali dikonversi menjadi Kristen.
Setelah Perang Jagaraga (1848—1849) reda, dan Belanda merasa menguasai Bali Utara, pada tahun 1863, melalui Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV), sebuah kelompok misionaris Kristen Protestan berbasis di Utrecht, dikirim para penginjil ke Bali. Tanpa memahani apa itu penginjil, para penginjil ini diterima di Bali oleh petinggi Bali dan diberikan tempat tinggal dan tanah. Pihak Belanda menganggap ini sebuah sambutan baik. Penginjil dikirim ke Buleleng yaitu R. van Eck bertugas di Buleleng tahun 1868—1875, Jacob de Vroom bertugas di Buleleng tahun 1866—1881, W. van der Jagt bertugas tahun 1864—1866, serta N. Wiggelendam yang menggantikan R. van Eck bertugas tahun 1880—1881.
Pada tahun 1873 terjadi peristiwa sejarah penting dalam dunia penginjilan dan Kristenisasi di Bali. R. van Eck berhasil membaptis orang Bali I Gusti Wayan Karangasem dengan nama Nikodemus. Tempat pembaptisan di desa Jagaraga, Buleleng, Bali Utara. Pembaptisan pertama orang Bali itu adalah hasil kerja keras selama tujuh tahun zending Kristen Protestan pertama dilakukan di Bali.
Keberhasilan Rutger van Eck membaptis orang Bali masuk dalam koran Belanda De Standaard, 9 Juli 1877. Disebutkan kilas balik sejarah misionaris dan diskripsi singkat tentang pulau Bali, yang telah 1596 dikunjungi oleh orang-orang Belanda, tetapi baru kemudian mengirimkan misionaris 1866. Bali disebut sebagai ‘Belanda Muda’, seperti ‘Sisilia dari Timur’. Keindahan Bali digambarkan dari berbagai sisi. Religiusitas orang Bali disoroti dengan tajam sebagai masyarakat religius yang tidak memiliki kedamaian.
Terjemahan dari kutipan berita De Standaard, 9 Juli 1877 sebagai berikut:
“… 800.000 orang Bali yang mendiami pulau Bali menyebut [sejarah] diri mereka dari ingatan yang tidak pasti akan keemasan masa lalu, menunjukkan para dewa, dan sebenarnya juga, seperti yang kita ketahui, tentang silsilah [ajaran] ke-Tuhan-an, mereka telah menyimpang begitu jauh dari asalnya sehingga hanya tersisa mata keimananannya [dapat] menemukan bayangan samar dari citra ilahi di dalamnya. Bukan berarti mereka bisa disebut tidak beragama. Jauh dari sana.. [bahkan] berani mengatakan, orang Bali lebih saleh dari kita, yang penegasannya didukung oleh contoh. Tetapi menjadi religius tidak berarti bahwa seseorang memiliki kedamaian. Dan orang Bali tidak damai. Di tengah ribuan pura yang berdiri di pulau itu, juga terdapat altar [pelinggih] dengan tulisannya; “Untuk Tuhan yang tidak dikenal” (“Aan den onbekenden God”). Tuhan yang tidak dikenal itu harus diberitakan kepada mereka. Kami para Nederluuders seharusnya melakukan itu selama berabad-abad, tetapi kami telah mengabaikan tugas kami….. Seperti yang telah dikatakan, baru pada tahun 1866 orang Evangelis pertama kami tiba di Bali…. ketika pada Hari Paskah tahun 1873 [adalah menjadi hari] pembaptisan pertama orang Bali oleh orang-orang kudus ini dibawa ke dalam jemaat Kristen…”
Sejarah Kristenisasi di Bali mencatat keluarga asal orang yang berhasil dibaptis beragam. Bukan hanya I Gusti Wayan Karangasem (alias I Gusti Wayan Noerat) dengan menjadi Nikodemus, ada juga Ida Putu Sideman dan istrinya Srumbung. Keberhasilan Van Eck kontraversial. Karena ternyata Ida Putu Sideman disinyalir masuk Kristen untuk menghindari hukuman. Ia adalah seorang pemadat. Ia menikah dengan Srumbung pun atas motivasi candu. Srumbung adalah seorang wanita Bali yang disebutkan kaya berkat usahanya menjadi memasok candu di Bali. Kalangan penginjil meragukan kadar kekristenan dari Ida Putu Sidemen. Motivasinya tidak murni. Ancaman sebagai pemadat dan beristri saudagar candu dinilai sebagai motivasi mencari aman dengan masuk Kristen.
Pada tahunn 1875 van Eck dilaporkan ke raja Buleleng dan kontrolir oleh seorang brahmana dari Buleleng karena dinilai kelakuan dan sepak terjangnya sombong dan melecehkan Brahmana. Karena kontraversi tersebut akhirnya van Eck dipulangkan dan diganti oleh van Eck selanjutnya oleh K. Wiggelendam pada tahun 1877. K. Wiggelendam pun punya arogansi serupa kabarnya pernah menendang seorang brahmana (?)
I Gusti Wayan Karangasem alias I Gusti Wayan Noerat alias Nikodemus pada tahun 1874 ia meninggalkan Bali Utara menuju Mengwi. Ketika itu van Eck belum dipulangkan. Van Eck mendukung Nikodemus (I Gusti Wayan Karangasem) untuk membeli tanah dan menanam kopi di Grana. Tapi malang, Nikodemus dan istrinya bukan petani dan pedagang ulung. Istrinya dikabarkan berhutang banyak dan ditahan Tjokorda Mengwi. Sementara itu I Gusti Wayan Karangasem alias Nikodemus diberikan kesempatan menggarap sawah dan kerja sebagai petani dengan hasil diserahkan setengah untuk membayar/nyicil hutang, tidak boleh kemana-mana hanya menetap di Grana. Selama di Grana ia tetap menjadi orang Kristen, disebutkan ia tidak ikut dalam kegiatan keagamaan Hindu.
Di tengah hidupnya yang berhutang banyak ia pergi ke Banjar, Bali Utara, untuk sebuah kepentingan. Peristiwa itu terjadi sekitar Agustus 1880, I Gusti Wayan Karangasem ke Banjar, Bali Utara. Tanggal 8 Agustus sore, disebutkan, secara tidak terduga ia bertemu de Vroom di tengah jalan. De Vroom adalah penginjil lain selain van Eck yang ditugaskan secara bersamaan di Bali. Mereka berdua yang disebutkan sebagai dua penginjil Kristen yang punya misi mengkristenkan pulau Bali secara gigih mulai tahun 1866 di Bali Utara.
Dalam pertemuan itu Nikodemus alias I Gusti Wayan Karangasem diundang bertemu oleh de Vroom. Konon setiap de Vroom bertemu I Gusti Wayan Karangasem, ia menguji kesetiaan I Gusti Wayan Karangasem dalam keimanan Kristenya. Ada kemungkinan ia curiga kalau Nikodemus kembali menjadi I Gusti Wayan Karangasem, alias balik kembali Hindu Bali. Ia dikabarkan diuji oleh van Vroom untuk mengucapkan 10 Hukum Allah, Doa Bapa Kami, dan Pengakuan Iman Rasuli. Singkat cerita ia tersinggung. Marah. Dari kabar cerita yang beredar disebutkan bahwa ia berniat menghabisi de Vroom yang semestinya menjadi tuannya dalam keimanan barunya.
I Gusti Wayan Karangasem alias Nikodemus menghasut Oedin. Oedin meminta I Klana untuk membunuh de Vroom. Oedin dan I Klana adalah dua orang pembantu de Vroom. Nikodemus memakai tangan orang, Oedin dan I Klana, menghabisi de Vroom.
Peristiwa pembunuhan misionaris yang didalangi I Gusti Wayan Karangasem, lewat Oedin, dengan eksekutor I Klana tersingkap. Mereka ditangkap, dikirim dan diadili di Batavia. Dihukum gantung!
Peristiwa ini masuk dalam berbagai koran dan berita menyebar ke seantero India Belanda dan tanah Belanda. Bukan hanya masuk koran ketika pembunuhan terungkap, tapi setelah pelaku disidang di Batavia dan diesksekusi menjadi berita besar sampai ke Belanda. Dalam koran tersebut ada yang menyebut nama I Klana sebagai I Soeklana. Nama I Gusti Wayan Karangasem tidak disebut dalam koran tersebut namun nama aslinya I Gosti Wajan Noerat (I Gusti Wayan Nurat), yang dalam berbagai buku — dalam “De Geschiedenis der Christelijke Zending onder de Baliërs” oleh C. LEKKERKERKER, dan buku “De Strijd over Bali en de Zending”, oleh Dr H. KRAEMER — disebut sebagai I Goesti Wajan Karangasem. Oedin dalam koran terungkap sebagai Bantammer — berasal dari Banten.
Bertahun-tahun kisah pembunuhan ini diceritakan kembali dan dimuat dalam koran atau dalam berita zending atau misi di Bali yang perlu dijadikan cerminan bagaimana Kristenisasi dinilai gagal dan pernah menjadi peristiwa berdarah. Soerabaiasch Handelsblad, 8 April 1882, mengisahkan dengan sangat detail peristiwa berdarah tersebut sebagai “prahara zending”. Demikian juga liputan koran lain sampai Indonesia merdeka masih juga banyak yang mengungkit peristiwa tersebut ketika menulis topik Kristenisasi di Bali.
BALI MENOLAK KRISTENISASI
Kisah konversi agama atau peralihan agama (religious conversion) di tahun 1873 di Jagaraga dan tewasnya de Vroom di tangan orang Bali Kristen pertama I Gusti Wayan Karangasem alias Nikodemus dan dia pembantunya — Oedin dan I Klana — menjadi semacam “pabalik“. Pabalik adalah jenis babad (sastra tradisional berbasis sejarah) yang isinya bagaimana sebuah pemberontakan atau yang semestinya menjadi kawan berbalik (mabalik) menjadi musuh. Peristiwa pemberontakan ini dalam genre khazanah manuskrip lontar Bali disebut sebagai pabalik.
Pabalik I Gusti Wayan Karangasem ini menjadi evaluasi dari pihak penginjil dan para tokoh Kristen di Belanda. Pemerintah Belanda pun mengumumkan tidak lama setelah peristiwa I Gusti Wayan Karangasem, Oedin dan I Klana dihukum gantung di Batavia sebuah pengumuman: Bahwa untuk selanjutnya kalau mau mengirimkan misi Kristen ke Bali harus seijin pemerintah Belanda. Para guru agama, imam, dan pendeta harus seizin gubernur jendral kalau bekerja di wilayah Hindia Belanda.
Penolakan Kristenisasi di Bali secara beruntun terjadi setelah “pabalik I Gusti Wayan Karangsem”.
LEEUWARDER NIEUWSBLAD: goedkoop advertentieblad, tanggal 21-01-1935, memuat penolakan misi kristenisasi di Bali, dengan isi berita sebagai berikut:
Terjemahan:
MISI KE BALI. Batav. Nwsbl. dari 4 Sept. j.l. menginformasikan bahwa Pendeta Jaffrey dari Christian and Missionary Alliance telah ditolak untuk tinggal di Bali dan Pendeta Jaffrey telah diberitahu bahwa dia tidak akan diterima lagi di Bali. Misi ini diketahui telah diterima di Bali untuk pekerjaan di antara orang Tionghoa, tetapi [misinya] juga diperluas di Bali [tidak hanya di kalangan Tionghoa], yang menimbulkan banyak berita dan gesekan dan secara tidak langsung melahirkan banyak sekali kontroversi di Bali akhir-akhir ini. Pemerintah sekarang telah mengambil keputusan dalam semangat mosi Volksraad yang terkenal, melarang masuknya misi ke Bali. Namun demikian, masalah misi secara umum belum diputuskan.
Lima puluh empat tahun sebelum berita tersebut, pada 25 Juli 1881 Asisten Residen di Sukaraja dan utusan pemerintah pusat ke Bali untuk secara khusus menyelidiki perilaku para pendeta termasuk Wiggelendam — yang mengganti posisi penginjil van Eck dipulangkan pada tahun 1877 — yang dinilai telah memancing kebencian dan menyulut emosi masyarakat Bali karena para penginjil Kristen tersebut telah keluar dari kewenangan mereka, yang menyinggung perasaan dan keyakinan orang Bali, hal ini tertulis dalam Soerabajasch Handelsblad, 5 Agustus 1881.
MISI PROTESTAN DIGANTI MISI KATOLIK
Penginjilan di Bali yang dilakukan kelompok misionaris gereja Kristen Protestan Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) yang menjadi bendera van Eck, de Vroom, dan Wiggelendam dinilai gagal. Penginjilan UZV nilai gagal karena tidak mampu bersimbiosis dengan budaya Bali. Sepuluh tahun kemudian, pada tanggal 25 Mei 1891, Belanda sepertinya mencoba menyusun strategi Bali untuk mengantikan misi gereja Protestan yang gagal dengan mengijinkan lembaga misi gereja Katolik untuk melakukan misi penginjilan di Bali.
Strategi ini tampaknya lebih mulus. Kelompok misi Katolik lebih berhasil bersimbiosis di Bali. Lebih adaptif dan mengadopsi berbagai kebiasaan dan kebahasaan di Bali. Injil diterjemahkan dengan bahasa Bali yang sangat baik. Dicetak dengan aksara Bali yang sangat memikat untuk masyarakat Bali untuk dibahas. Tidaklah “terasa jauh” membaca konsepsi lontar-lontar Bali dengan cetakan injil dengan aksara Bali yang dikeluarkan oleh penginjil ini. Ida Sanghyang Jesus diperkenalkan sebagai putra dari Ida Sanghyang Widhi, dstnya.
Beredar juga versi lontar-lontar Bali dengan kandungan injil terjemahan bahasa Bali bercerita tentang Ida Sanghyang Yesus sang juru selamat, yang kalau dibaca mengarah pada pembawa selamat, yang kemungkinan dalam interpretasi orang Bali “juru selamat” disepadankan dengan “awatara”.
Ada juga terbitan penginjilan beraksara berjudul WIDHĪ WUS MASABDHA, sebagai sebuah contoh. Terjemahan judul ini: TUHAN TELAH BERSABDA. Di dalamnya diturunkan sabda Tuhan Yesus dalam bahasa Bali yang sangat elegan. Luar biasa cetakan di London.
Tahun 1910 Injil Lukas diterjemahkan ke dalam bahasa Bali oleh Goesti Djilantik. Kitab terjemahan Goesti Djilantik ini dipublikasikan oleh “The British and Foreign Bible Society”. Bagian Matius 1:1-25, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali, disana disebutkan seperti ini:
- Puniki babad palelintihan Ida Hyang Yesus Kristus katurunan Daud, katurunan Abraham.
- Abraham maputra Ishak, Ishak maputra Yakub, Yakub maputra Yehuda lan semeton-semeton danene.
- Yehuda maputra Peres miwah Serah (saking rabine Diah Tamar). Peres maputra Hesron, Hesron maputra Ram.
- Ram maputra Aminadab, Aminadab maputra Nahason, Nahason maputra Salmon.
- Salmon maputra Boas (saking rabine Diah Rahab). Boas maputra Obed (saking rabine Diah Rut), Obed maputra Isai,
- Isai maputra Sang Prabu Daud. Daud maputra Salomo (saking rabine sane pecak rabin Dane Uria).
- Salomo maputra Rehabeam, Rehabeam maputra Abia, Abia maputra Asa.
- Asa maputra Yosapat, Yosapat maputra Yoram, Yoram maputra Usia.
- Usia maputra Yotam, Yotam maputra Ahas, Ahas maputra Hiskia.
- Hiskia maputra Manase, Manase maputra Amon, Amon maputra Yosia.
- Yosia maputra Yoyakin lan semetonsemeton danene. Daweg punika bangsa Israel kaselong ka Babel
- Sasampune bangsa Israel maselong ring Babel, Yoyakin maputra Sealtiel, Sealtiel maputra Serubabel.
- Serubabel maputra Abihud, Abihud maputra Elyakim, Elyakim maputra Asor.
- Asor maputra Sadok, Sadok maputra Akim, Akim maputra Eliud.
- Eliud maputra Eleasar, Eleasar maputra Matan, Matan maputra Yakub.
- Yakub maputra Yusup rabin Diah Maria, sane ngembasang Ida Hyang Yesus sane mabiseka Sang Prabu Sane Kajanjiang antuk Ida Sang Hyang Widi Wasa.
- Dadosipun ngawit saking Abraham rauh ring Daud, wenten patbelas turunan. Ngawit saking Daud, rauh ring masane kaselong ka Babel taler patbelas turunan. Tur saking masane maselong ka Babel rauh ring masan embas Ida Sang Prabu Sane Kajanjiang punika, taler patbelas turunan.
- Indik embas Ida Hyang Yesus Kristus katuturanipun sapuniki: Daweg ibun Idane, Diah Maria sampun magegelan sareng Dane Yusup, sadurung dane marabian, Diah Maria jeg sampun mobot. Bobotan danene punika kawitnyane saking Roh Ida Sang Hyang Widi Wasa.
- Gegelan danene, inggih punika Dane Yusup anak sane tansah malaksana patut, nanging dane nenten mapakayunan jaga ngawinang Dane Diah Maria kimud, punika awinanipun Dane Yusup mapakayun megat gegelan danene saking silib.
- Nanging ritatkala dane ngayun-ngayunin indike punika, raris dane karauhin antuk malaekat Ida Sang Hyang Widi Wasa sajeroning panyumpenan. Sang malaekat ngandika ring dane sapuniki: “Yusup sentanan Sang Prabu Daud, edaja takut nyuang Maria nganggon kurenan, sawireh rarene ane kaduta ento, uli Roh Ida Sang Hyang Widi Wasa.
- Maria lakar ngembasang putra lanang, tur kita patut marabin anake alit ento Yesus, sawireh Ida lakar ngrahayuang parakaulan Idane uli sakancan dosannyane.”
- Paindikane punika mula wantah jaga mamargi sakadi asapunika, mangda tegep sabdan Ida Sang Hyang Widi Wasa sane kawarahang antuk nabine, sapuniki
- “Daane ento lakar beling tur nglekadang pianak muani. Pianakne ento lakar kadanin Immanuel” (sane mateges: “Ida Sang Hyang Widi Wasa nyarengin iraga”)
- Sasampun Dane Yusup matangi, raris dane ngambil Diah Maria, kanggen rabi satinut ring pangandikan malaekat Ida Sang Hyang Widi Wasa ring dane.
- Nanging Dane Yusup tan matemu semara ring Diah Maria kantos putrane lanang punika embas. Dane Yusup marabin anake alit punika “Yesus”.
Dengan bekal terjemahan injil, yang sangat memukau bahasa dan peristilahannya, “mengena” ke jantung kebahasaan dan teologi Bali, dinilai sangat sukses mengetuk “suasana batiniah/rohaniah” pembaca berlatar bahasa dan budaya Bali. Kitab terjemahan ini mempopulerkan istilah Ida Sang Hyang Widi Wasa yang dipakai dalam lontar suci kependetaan Bali yang disakralkan. Istilah ini belakangan menjadi terkenal memang ada campur tangan diperkenalkan oleh kitab Injil ini, tapi istilah Ida Sang Hyang Widi Wisesa telah dipakai dalam beberapa lontar kependetaan Hindu di Bali dan Jawa Kuno.
Kitab terjemahan Injil diedarkan di kalangan tokoh-tokoh Hindu di tahun 1920-an. WIDHĪ WUS MASABDHA dicetak 8000 dan tumbuh permintaan pembaca. Seingat saya guru pembimbing sastra saya memiliki koleksi Injil berbahasa Bali ini. Beberapa kitab terjemahan ini masih bisa diakses secara online seperti: https://studylibid.com/doc/976525/alkitab-bahasa-bali juga lengkap dibuat drama audio Alkitab Bahasa Bali.
Berbagai liturgi Katolik di Bali mengadopsi cara “dudonan upakara” dan kegiatan di Gereja Katolik memakai banten sebagaimana layaknya persembahan ke Pura. Melakukan bebantenan atau persembahan “Galungan Kristen”, salah satunya adalah gereja Katolik Saint Joseph Jl. Kepundung No.2 Denpasar, yang masih diingat oleh masyarakat di sana di tahun 1970-an, turut membawa banten ke gereja ketika Natal tiba. Masyarakat Bali di sana, walaupun memeluk Hindu, karena toleransi dan bersimpati, pun ikut membawa aturan atau banten ke gereja tersebut ketika perayaan Natal.
Berkembang di pulau Bali gereja Katolik yang bergaya arsitektur Bali yang bentar dan reliefnya dengan ukiran Bali seperti halnya pura dan puri. Yang terkenal ada di Banjar Palasari, Desa Ekasari, Ekasari, Kec. Melaya, Kabupaten. Jembrana. Di Badung ada di wilayah desa Tuka. Gereja Katolik Saint Joseph, yang terletak Jl. Kepundung No.2 Denpasar, telah dikenal luas sebagai semacam monumen bagaimana estetika Bali diadopsi sebagai gereja dengan sangat elegan. [T]
_______
REFERENSI TULISAN:
— Rujukan utama tulisan ini adalah buku “De Geschiedenis der Christelijke Zending onder de Baliërs” oleh C. LEKKERKERKER, seorang archivaris di Bali-Instituut, terbit 1919. Buku Dr H. KRAEMER berjudul “De Strijd over Bali en de Zending”, terbit 1933, sebagai pembanding karena keduanya punya topik yang sama.
— Tulisan ini dilengkapi beberapa arsip koran-koran Belanda hasil riset penulis.
— Buku WIDHĪ WUS MASABDHA adalah koleksi I Ktoet Soekrata (I Ketut Sukrata) adalah guru, tokoh pendidikan dan budayawan Bali ternama dari Desa Bubunan, Bali Utara, dikenal aktif dalam berbagai kegiatan budaya tahun 1930-an sampai berpulang tahun 1967. Terima kasih untuk keluarga Pastia Inggas yang telah berbagi dengan penulis.