Sore cuaca lumayan cerah, saya mengiyakan saat diajak mampir oleh seorang kawan menuju rumah kenalannya. Hari itu kami berdua melakukan perjalanan ke beberapa desa untuk sejumlah urusan, mulai dari kondangan, survey dan juga sekedar anjang sana ke beberapa kenalan karena lama tak jumpa.
Sekitar Pukul 17.00 Wita kami kembali bergerak menyusuri jalan aspal sempit berhotmix yang membuat perjalanan kami lumayan lancar. Di kiri dan kanan jalan nampak pemandangan desa yang khas, hijau pepohonan nan hening perkebunan penduduk diselingi terasiring sawah yang indah. Itu adalah Desa Manikyang di Selemadeg, Tabanan.
Tak lama kami tiba di alamat yang dituju. Kami langsung disapa oleh Pak Rista pemilik rumah sembari mempersilahkan masuk. Setelah tolah toleh sejenak dekat gerbang, kami berdua bergerak masuk ke halaman, saat itulah mata langsung tertuju dengan puluhan ikat “jukut paku” (sayur paku/pakis) yang berjejer rapi dengan ikatan tali mambu.
Ketika saya tanya, satu ikatan besar disebut satu “gabung” yang terdiri dari 14 pesel/cekel. Sore itu tidak kurang 100-an lebih gabung jukut paku terkumpul, berjejer rapi membentuk pola lingkaran di teras rumah. Kondisinya masih segar karena baru dipetik warga di kebun masing-masing. Rupanya teman saya mengajak berkunjung ke salah satu warga yang berprofesi sebagai “tengkulak” atau saudagar jukut paku. Tak lama dialog mengalir akrab, lengkap dengan suguhan kopi bali khas desa.
Sambil memegang gelas kopi saya berdiri dengan langkah kecil melihat situasi dengan seksama. Sesekali saya cekrak, cekrek dengan HP sambil mengatur posisi ala wartawan. Sore itu begantian warga desa datang menjingjing tas atau memikul keranjang berisi paku/pakis. Ada yang berjalan kaki ada juga naik sepeda motor. Warga yang datang seperti sudah akrab dengan jadwal termasuk ukuran dan jenis jukut paku yang harus dibawa.
Dengan wajah polos warga yang datang bergegas menaruh keranjang atau bakul sambil berucap “dasa” (sepuluh), “molas” (lima belas) dan seterusnya. Dengan cepat Pan Rista mengeluarkan paku dari keranjang, lalu mencelupkan pangkal tangkainya ke dalam air yang ada di baskom. Lanjut jukut paku itu ditaruh berjejer di teras rumah sehingga teras rumah nampak hijau rimbun oleh ratusan ikat paku segar yang siap dikirim ke pelanggan di Pasar Dauh Pala atau Pasar Pesiapan Tabanan.
Jukut paku atau dikenal dengan bahasa latin Diplazium esculentum merupakan salah satu jenis sayur favorit masyarakat Tabanan, Bali bahkan Indonesia. Pan Rista menjelaskan, rutinitas jual beli jukut paku rutin berlangsung setiap sore. Ia mengaku sudah melakoninya sejak 4 tahun silam. Mendengar hal itu benak saya langsung berhitung, jika satu hari rata-rata ada 100 gabung saja yang terdiri dari 14 pesel/cekel dan 1 pesel berisi antara 12-15 batang ental paku , maka jika 3 bulan atau 90 hari ada sekitar 1,5 juta lebih ental paku yang dipanen. Sementara harga di tingkat petani sekitar Rp. 7000,- hingga Rp. 10.000,- per gabung tergantung situasi pasaran.
Konon jukut paku merupakan komuditas unggulan Banjar Cempaka, Desa Manikyang, Kecamatan Selemadeg, Jukut paku juga bisa dijumpai di wilayah desa sekitar seperti desa Gunung Salak (Kecamatan Selemadeg Timur). Tetapi paling banyak berasal di Banjar Cempaka Desa Manikyang.
Keunikan tanaman Paku adalah tidak pernah di tanam atau dibudidayakan warga, tanaman paku tumbuh liar di tepi sungai, pangkung atau kebun-kebun penduduk. Warga tinggal memetik atau panen saja. Biasanya ental Paku tumbuh subur saat musim hujan. Ada dua jenis paku yang biasa disayur yaitu paku nasi dan paku kedis. Paku nasi teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih enak sehingga pasarannya lebih laris, sore itu warga sebagian besar datang membawa Paku Nasi.
Sebagaimana kata Men Rista (istri Pan Rista), konon konsumen/pelanggan sudah tahu membedakan paku nasi khas Desa Manikyang atau bukan. Tetapi di kalangan konsumen banyak juga yang menyebut “Paku Kemetug” yaitu nama banjar di Desa Gunung Salak Selemadeg Timur, padahal jukut paku itu berasal dari Desa Manikyang.
Paku Nasi akan tumbuh subur selama musim hujan, musim kemarau tetap ada tapi sedikit. Rentang musim panen berlangsung 2 hingga 3 bulan saat musim hujan mulai bulan Oktober hingga bulan Januari. Sebelum Pandemi Covid-19 awal tahun 2020, setiap harinya Pan Rista mengirim jukut paku ke Pasar Dauh Pala dan Pasar Pesiapan rata-rata 200 gabung, kini di masa pandemi serapan pasar menurun, kini per harinya rata-rata 80-100 gabung saja.
TENGKULAK BUDIMAN
Tak terasa 1 jam berada di rumah Pan Rista melihat aktivitas desa yang begitu bersahaja. Terasa suasana sore itu memancarkan makna yang beda ketika puluhan warga datang secara bergantian, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lanjut usia. Mereka datang menjinjing atau menjungjung keranjang yang dipenuhi jukut paku. Langkah dan wajah mereka begitu polos, tidak banyak gurau yang terdengar, ketika warga datang keranjangnya langsung diambil, Paku diturunkan untuk dihitung, di bayar, warga pun langsung pulang. Tak sampai 5 menit transaski sudah selesai.
“Prosesi” sore itu memancarkan keakraban, hening mengalir dalam interkasi sosial warga desa yang penuh kesederhanaan. Hal itu menunjukan jual beli Jukut Paku sudah rutin dan berlangsung lama. Semua sudah paham “SOP” dan tingkat harga yang berlaku.
Jika kita selami lebih jauh, profesi jasa jual-beli produk pertanian (bahasa lainnya pengepul atau tengkulak) telah memicu perputaran ekonomi rakyat minimal bagi warga sekitar. Usaha kerakyatan seperti ini tentu sangat membantu ketahanan ekonomi, sosial dan budaya terebih di masa pandemi covid-19 ini. Jika kita coba utak-atik dengan kalkulator usaha yang terlihat sederhana ini mampu memutar perekonomian desa dengan nilai puluhan juta per bulannya, melibatkan banyak orang, sebuah usaha yang setia merawat rasa persaudaraan dan budaya lokal (sosio agraris). Semua itu patut disyukuri dan di pertahankan keberlanjutannya.
Ketika ditanya, Pan Riska mengaku menjadi “tengkulak” jukut paku karena tuntutan ekonomi keluarga. Ia merintisnya dari nol bersama istrinya, lalu berkembang secara alami bermodalkan semangat dan ketekunan. Ia pun harus rela bangun pagi-pagi sekitar pukul 04.00 Wita menempuh jarak sekitar 18 Km dengan sepeda motor untuk mengirim sayur paku kepada pelanggan setianya di Pasar Dauh Pala dan Pasar Pesiapan Tabanan.
Berjualan di pasar tantangannya juga banyak, kadang harus kehujanan di jalan, terlambat bangun sehingga ditinggal pelanggan dan tentunya juga ada persaingan produk sejenis dari pengepul lain. Semua tantangan itu Ia jalani dengan sabar, semua usaha pasti ada resikonya, Ia meyakini bahwa rejeki itu sudah diatur oleh Nya.
Tak terasa sore mulai menuju malam, saya bersama karib permisi pamit, dalam perjalanan pulang saya merasa bersyukur diberi kesempatan melihat aktivitas desa berupa transaksi Jukut Paku. Jujur saya baru pertama kali melihat di Tabanan ada pengepul atau tengkulak jukut paku dalam jumlah yang cukup banyak.
Dari informasi yang terkumpul, bisa dikatakan Banjar Cempaka Desa Manikyang Kecamatan Selemadeg Tabanan merupakan salah satu desa pemasok sayur Paku terbesar untuk kebutuhan pasar tradisonal di Tabanan, mungkin ada juga yang di pasok oleh pengepul dari wilayah Penebel atau Pupuan.
Kabupaten Tabanan dikenal sebagai lumbung pangan. Melihat profesi Pan Rista dan Men Rista di bidang usaha Jukut Paku, saya jadi ingat dengan judul tulisan “Tengkulak Budiman” yang pernah saya tulis bebera tahun silam. Saya masih ingat istilah “Tengkulak Budiman” saya suarakan, ketika mengikuti seminar pemberdayaan desa. Saat itu seorang mentor menjelaskan bahwa petani di desa menjadi “miskin” karena ulah atau masih menjual produk pertaniannya ke tengkulak. Saat itu saya protes kepada mentor, saya bilang tanpa jasa tengkulak maka banyak produk pertanian di plosok-plosok tidak bisa dipasarkan, dimana ada tengkulak maka disana terjadi perputaran ekonomi kerakyatan, tegas saya.
Seperti diketahui bersama, sebutan “tengkulak” sempat menjadi momok sejak era orde baru di jaman Presiden Soeharto. Saat itu di TVRI kerap muncul berita atau himbauan agar petani tidak menjual produk kepada tengkulak. Seiring dengan itu muncul program pemerintah membentuk KUD (Koperasi Unit Desa) atau BUUD (Badan Usaha Unit Desa) di berbagai desa di Indonesia. Sayang kini banyak KUD dan BUUD “senyap” bahkan banyak yang gulung tikar bukan karena bersaing dengan tengkulak saja, tetapi juga karena salah urus bahkan banyak diantaranya “terpapar” korupsi oleh pengurusnya.
Saat itu (tahun 2003) saya melontarkan istilah “tengkulak budiman”, yaitu tengkulak yang menjalankan usahanya dalam koridor kepatutan dan tetap menjungjung norma dan nilai-nilai budaya lokal. Karena saya melihat, banyak ekonomi kerakyatan di desa bisa bertumbuh dan eksis karena tangan-tangan “tengkulak budiman”.
Mereka bekerja tidak hanya mengejar laba atau keuntungan semata, juga tidak mengkondisikan petani kecil agar terjebak dalam transaksi rentenir dengan bunga uang mencekik alias lintah darat dengan tujuan tanahnya bisa dikuasai. Tengkulak Budiman adalah mereka yang memiliki motivasi kerja dalam ranah budaya, mereka tumbuh sesuai potensi desa yang ada, mereka bekerja mengedepankan etika, menjunjung rasa persaudaraan dan masih yakin dengan hukum Karma Pala. Masalah keuntungan hal itu terjadi karena mereka tekun dan mau bekerja keras saja.
Bahkan dibalik kesuksesan “tengkulak budiman” banyak yang tidak tahu ada tetes air mata, bahkan rasa duka yang tak terkira. Nah rasa “tengkulak budiman” itu lah yang tiba-tiba muncul ketika saya berkunjung melihat usaha jukut Paku Pan Riska di Banjar Cempaka, Desa Manikyang, Kecematan Selemadeg, Tabanan Bali. Tidak itu saja potensi jukut paku di Desa Manikyang juga menggambarkan sebuah usaha yang sejalan dengan motto “one village one product” yang sempat ngepop di pangung-panggung seminar. Sejatinya “one village one product” telah berlangsung. Masing-masing desa memiliki potensi berbeda, khususnya hasil produk pertanian yang hingga kini telah menghidupi ribuan masyarakat jelata. [T]