Menurut cerita dari beberapa kawan yang spiritual dan sudah sampai pada tingkatan tinggi, konon semakin orang meningkat tapanya, makin meningkat juga gairah seksnya. Kedua hal itu [tapa dan seks] katanya dengan sangat meyakinkan, didasari oleh satu hal yang sama. Hal itu adalah Kama. Dengan cara yang lebih meyakinkan lagi, para sahabat saya itu berbaik hati menceritakan kepada saya salah satu bagian dari kakawin Arjuna Wiwaha. Tepatnya pada bagian ketika Arjuna digoda oleh tujuh bidadari.
Singkat padat dan jelas cerita itu mengalir ke telinga saya dan ke otak saya. Intinya, Arjuna yang semakin memperteguh tapanya konon juga semakin meninggi juga libidonya. Ketinggian dari libido itulah yang disimbolkan oleh bidadari. Saya tidak bertanya, dan seolah-olah mengerti apa yang mereka maksud dengan libido. Barangkali yang dimaksud dengan libido, adalah Kama.
Di ujung dari cerita itu, mereka dengan mata berbinar menerjemahkan maksud dari cerita epic yang baru saja saya dengar. Katanya, jika kita bisa mengendalikan Kama, maka anugerah Shiwa akan kita dapatkan. Sama seperti Arjuna. Dengan agak ragu saya bertanya, apa anugerahnya? Super tegas jawaban mereka: Manusia Sakti, tingkatan Sadhasiwa!
Begitulah cerita kemenangan Arjuna versi sahabat-sahabat saya. Saya melihat kebahagiaan yang luar biasa ketika mereka menceritakan cerita itu kepada saya. Saya sebagai pendengar, bertugas mendengan dan memikirkan lagi segala cerita itu. Dahulu, sahabat saya yang lain pernah bertanya pada suatu diskusi kepada seseorang. Karena ia adalah orang yang cerdas, pertanyaannya dilandasi oleh suatu pernyataan. Pernyataannya begini.
“Segala hal yang dimenangkan di dalam cerita, sering kali justru kalah dalam dunia nyata. Jadi apa yang dimenangkan oleh pengarang, dan apa yang kalah dari dirinya di dunia nyata?”
Jawabannya masih saya ingat, tapi tidak akan saya ceritakan disini. Jawaban atas pertanyaan itu, ada di dalam konteks lain. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa saya setuju dengan pertanyaan itu. “Jadi, bagaimana jika kita gagal mengendalikan Kama? Bahkan justru sebaliknya, kita yang dikendalikan olehnya?”.
Seks bagi mereka yang telah sah secara tradisi dan agama, tentu saja tidak bermasalah. Tapi bagaimana dengan mereka yang belum menikah, bahkan yang jomblo? Bagaimana caranya?
Pertanyaan itu barangkali dijawab oleh teman saya dalam hatinya masing-masing dengan kata: masturbasi. Kata ini masih tabu untuk dikatakan. Karena tidak sedikit orang yang jijik mengatakannya, tapi mempraktikkannya. Kata itu tidak juga keluar dari bibir manis mereka yang tadi menceritakan segala hal tentang kebaikan. Lalu saya bertanya dengan pelan, “Masturbasi?”. Jika iya, tidakkah itu dosa? Bahkan mengucapkannya saja dilarang oleh consensus masyarakat bermoral tinggi, apalagi melakukannya.
Jika itu dosa, biarlah kita lenyapkan pada malam Shiwa yang datang saban tahun! Begitu pikir saya. Apakah ada jaminan bahwa dosa masturbasi itu bisa dilebur saat malam Shiwa? ADA. Begini bunyinya.
viva (virya) pracyāvakaś caiva linggapradhvaṃsakas tathā
mucyate nātra saṃdehaḥ śivarātryāṃ śivārcanat [39]
[demikian juga laki-laki yang masturbasi dan yang mengudungi kemaluannya: tidak diragukan mereka akan terbebas sebagai hasil pemujaannya pada Shiwa di Malam Shiwa itu] [Palguna, 1998: 73]
Dengan berlindung kepada terjemahan atas sloka di atas, saya menyatakan bahwa masturbasi yang konon adalah dosa itu, bisa dibebaskan belenggunya dari kehidupan kita yang konon super suci ini. Cara pembebasannya adalah dengan terjaga sepanjang malam dan melakukan brata Shiwa. Jadi setelah masturbasi, orang bisa melakukan praktik Shiwaratri. Tapi bagaimana kalau masturbasi dilakukan saat Shiwaratri? [T]