“Pikiranku menjadi ucapan,
Ucapanku menuntun laksana,
Laksanaku adalah nasibku,
Maka, bukan orang lain, Tuhan pun tak menciptakan takdirku.”
Meski sudah dipahami sejak dulu, pikiran atau mental adalah penyusun penting kesehatan tubuh manusia, namun di tahun 2021 ini sepertinya pikiran akan berperan lebih besar. Sebagian besar dari kita memang sering menyepelekan pikiran. Ia tertutupi oleh tubuh yang lebih menggoda meski itu berkat polesan make up atau operasi plastik.
Coba perhatikan, yang populer di dunia kan lomba kecantikan, turnamen bina raga, audisi foto model dan sebagainya yang fisikal banget. Pernahkan anda mendengar atau menonton lomba pikiran sehat, kompetisi ikhlas atau audisi perasaan empati? Pasti tidak. Kalaupun toh ada, saya pastikan bakal kurang pemirsa karena sangat tidak menarik jika disejajarkan dengan daya tarik lomba ratu kecantikan, apalagi pada sesi pakaian renang misalnya.
Pikiran memang penuh misteri, satu rahasia antara yang punya dan Tuhan semata. Mungkin itulah misterinya, berkat dekatnya dengan Tuhan, ia sudah sepantasnya menentukan takdir manusia.
Saya sangat tertarik dengan ungkapan yang cukup populer di dalam masyarakat, terutama masyarakat media sosial. Ungkapan itu adalah, “Biaya hidup sebetulnya murah saja, yang mahal adalah ongkos gaya hidup.” Ini mengingatkan kita pada untaian kata-kata dari seorang sastrawan besar tanah air, mendiang Pramoedya Ananta Toer. “Hidup ini sederhana, yang rumit adalah persepsinya.”
Meski Pram mengatakannya dalam ungkapan yang tak selugas yang pertama, namun keduanya sebetulnya memiliki pesan moral yang hampir sama. Tubuh kita yang sebetulnya dungu ini, primitif dan juga masa bodo, telah kita sandera dan jejali dengan produk pikiran yang kadang terlampau pongah. Sejujurnya tubuh fisik kita cuma butuh udara, makan, tidur dan buang air saja. Sisanya pastilah sekadar aksesoris. Kita pasti masih ingat bagaimana hidung dan dagu sang legenda king of pop mendiang Michael Jackson yang meleleh karena jaringannya yang rapuh lantaran operasi plastik yang berulang. Pikirannya telah menyanderanya dalam tuntutan untuk tampil lebih sempurna dalam nuansa feminim ketimbang paras aslinya yang khas lelaki negro berhidung pesek dan berdagu tumpul.
Pikiran kita yang lain misalnya, memaksa tubuh kita menjadi cerdas untuk dapat merasakan beda duduk di dalam mobil seharga 250 juta rupiah dengan mobil bernilai dua setengah miliar rupiah. Meski untuk itu seseorang harus menilep dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Covid-19 misalnya. Untuk ini, seorang inspirator bernama Gaur Gopal Das telah mengupasnya dengan sangat baik, “Saat duduk di kelas ekonomi atau di kelas bisnis sebuah penerbangan, pada akhirnya kita akan sampai pada tujuan yang sama.
Maka, kita sering kali meningkatkan standar hidup, bukannya nilai kehidupan itu sendiri.” Ini pun mudah dipahami, karena dalam filsafat Hindu, dalam Sarasamuscaya disebutkan, “Tak ada yang lebih sulit dilakukan di dunia ini dari pada bersedekah, akibat dari lekatnya hati manusia pada harta benda yang telah diraihnya dengan bersusah payah.” Jelas sudah, tak bisa diragukan lagi, hati dan pikiran manusia menuntunnya kepada takdir. Entah ia akan tertangkap tangan karena korupsi atau kelak memetik bahagia berkat sedekah yang telah disemainya.
Dalam dunia medis, tak sedikit orang mengalami apa yang disebut sebagai gangguan psikosomatis. Keluhan fisik yang datang dari pikiran cemas, resah, galau, panik atau depresi. Entah itu disadarinya atau tidak. Sayang sekali, dengan realitas fisiknya yang tak mengalami kelainan apapun seseorang dengan gangguan psikosomatis harus bolak-balik ke dokter. Kadang sampai perlu dirawat inap saking berat keluhannya.
Di tempat lain, ada kenyataan seseorang mengalami gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu sepanjang sisa hidupnya, dapat tersenyum lepas berkat ikhlasnya. Ini yang saya sering sebut sebagai kesembuhan dalam bentuk yang lain. Pandemi Covid-19 yang tak juga jelas ujungnya, kian menyudutkan kita semua pada ruang sempit dan pengap keputusasaan. Apalagi saat kita telah tersandera oleh kebutuhan hidup konsumtif yang liar dan merajalela.
Gaya hidup yang telah mengkhianati tubuh kita yang polos dan masa bodo. Hanya pikiran yang cemerlang dapat melepaskan kita dari siksa udara pengap meski kita masih terkurung di dalam ruangnya. Sekali lagi, pikiran. [T]