Henry James, dalam buku Sungai yang Mengalir tulisan Paulo Coelho, mengibaratkan pengalaman sebagai semacam jaring laba-laba raksasa yang tergantung-gantung di alam sadar kita. Jaring-jaring ini tak hanya mampu memerangkap apa yang perlu, melainkan juga setiap partikel.
Seringkali yang kita sebut “pengalaman” sesungguhnya hanyalah kekalahan-kekalahan yang pernah kita alami. Dengan demikian, kita memandang ke depan dengan perasaan takut. Orang yang telah membuat banyak kesalahan dalam hidupnya, tak punya banyak keberanian untuk mengambil langkah berikutnya.
Barangkali kita semua memang cenderung percaya pada “Hukum Murphy”: bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, hasilnya pasti salah. Tapi mungkin juga tidak demikian. Pasalnya, masih banyak orang yang begitu percaya dengan apa yang dilakukan.
Pada saat-saat demikian, saya teringat ucapan Lord Salisbury, “Kalau Anda percaya dokter, maka tidak ada yang sehat; kalau Anda percaya para ahli teologi; maka tidak ada yang tidak bersalah; kalau Anda percaya para tentara, maka tidak ada yang aman.”
***
Dari rangkaian tiga paragraf di atas, ada sosok yang “berpengalaman” tapi tak takut “mengambil langkah berikutnya”—karena saya pikir pengalamannya tak lahir dari kekalahan-kekalahan.
Dan sosok ini barangkali juga tak percaya dengan Hukum Murphy. Ia, sosok inspirasi, kepala desa muda, Dewa Komang Yudi.
Seandainya ada yang bertanya kepada saya, “Siapa kepala desa terbaik?”, maka saya tak akan berpikir lama untuk menjawab: Dewa Komang Yudi. Setahu saya dan menurut saya, Pak Mekel (panggilan akrab beliau), adalah kepala desa terbaik—paling tidak di wilayah Provinsi Bali. Di Bali kepala desa dsebut juga dengan istilah Perbekel, atau disingkat jadi Mekel, sehingga semua perbekel di Bali biasa dipanggil Pak Mekel.
Dewa Komang Yudi adalah Perbekel atau Kepala Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng-Bali. Kepala desa muda yang memiliki visi pembangunan desa berbasis sosial-masyarakat dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di desanya.
Pria kelahiran 27 Juli 1986 ini telah melakukan banyak hal untuk desanya. Dari tahun pertama sampai tahun ketiga pemerintahannya, ia fokus untuk membenahi infrastruktur desa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Tembok. Penyediaan air bersih, menjadi fokus utama programnya.
Pada tahun 2015, katanya, beberapa banjar di Desa Tembok masih kesulitan mengakses air bersih. Tahun 2016, setelah sah menjadi kepala desa, ia fokus mempermudah akses air bersih; dan sekarang hampir 96 % masyarakat Tembok telah menikmati kerja kerasnya. Sekarang, di Tembok, “Air bersih su dekat, kaka”.
Selanjutnya, ia membangun akses jalan raya; pelayanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan); juga perlindungan sosial. Pada tahun keempat, ia fokus kepada pemberdayaan SDM dan pengelolaan-pemanfaatan SDA (potensi alam desa) juga membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup tetap lestari, sampai sekarang.
Pencapaian-pencapaian itu bukan tanpa hambatan. Menurut pengakuannya, SDM dan jaringan (relasi) menjadi hambatan atau kendala yang sering dihadapi. Masyarakat sebagai faktor utama dalam mendukung pembangunan memang harus memiliki kompetensi atau keahlian-keahlian—atau hal mendasar yang harus dimiliki paling tidak adalah: “kesadaran”. Ketidaksadaran masyarakat akan potensi desa inilah yang menjadi kendala dalam proses pembangunan Desa Tembok. Tetapi, Pak Mekel tetap optimis bisa menjadikan Tembok jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Sampai saat ia mampu mengubah lilin itu menjadi obor yang menerangi Tembok dan masyarakatnya—yang sinarnya sampai pada sudut-sudut sempit sekalipun.
***
Suatu kali saat Pak Mekel berdiskusi dengan saya dan ia pernah mengatakan, “Jas, untuk mencapai visi membangun budaya baru yang lebih baik di Tembok, saya menggunakan pendekatan 4 M.”
“Apa itu, Pak?” tanya saya penasaran.
“4 M: Menggagas, menjalankan, mengevaluasi, dan melanjutkan. Merencanakan berdasarkan masalah, pendekatan ke masyarakat, kolektif, dan membuat aturan atau regulasinya. Sejauh ini pendekatan-pendekatan ini cukup efektif diterapkan, Jas.”
Saya mengangguk. Benar, buktinya hampir semua gagasan-gagasan beliau bisa dijalankan dengan sangat baik. Kepala desa yang sangat mengispirasi.
Saya semakin kagum saat di masa pandemi beliau seperti sangat siap menghadapinya. Ah, rasanya tak sanggup saya menguraikan gagasan-gagasan beliau dalam membangun Desa Tembok. Yang jelas, desa memang membutuhkan sosok pemimpin seperti ini: kreatif, inovatif, berwawasan, terbuka, transparan, dan demokratis. Bukan kepala desa yang hanya bisa membangun infrastruktur non-produktif saja.
Sampai di sini saya sadar bahwa orang memang perlu menerima gelora-geloranya yang kuat, dan tidak kehilangan semangatnya untuk menaklukkan. Ini bagian dari hidup, dan membawa suka cita pada mereka yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Terima kasih, Pak Komang Yudi. Saya banyak belajar dari Anda. Salam dari Tuban, Jawa Timur. [T]