—Catatan Harian Sugi Lanus, 21 Desember 2020.
Banyak yang bertanya: Apakah ada lontar tentang Keris?
Ada.
Apakah lontar tersebut berisi tentang Keris Bali?
Saya bukan ahli keris. Membedakan Keris Jawa dan Bali itu buat awam tentu sama sulitnya dengan membedakan wajah orang Jawa dan orang Bali. Apalagi saya juga kurang punya ketertarikan pada keris sungguh-sungguh. Pengalaman saya hanya terbatas soal keris: Saya diberikan secara khusus 2 keris sewaktu saya masih kelas 5 SD oleh kakek, katanya itu warisan buyut. Sebagai pewaris saya hanya sebatas pewaris yang kagum pada pamornya. Dari kecil saya perhatikan, saya kagum tapi tidak berlanjut kepincut, malah aneh, lama-lama saya malah kagum dengan sejarah pedang dan metalurgi Jepang yang sangat rapi pencatatannya. Saya tidak mendapat catatan dan warisan cerita tentang sejarah keris serapi pencatatan dan pewarisan keluarga Samurai, para maestro pedang di Jepang yang membubuhkan tanda tangan dan namanya pada tangkai pedang Jepang, disembunyikan di ujung bawah pedang masuk handle-nya.
Apakah memang benar tidak rapi pencatatan keris dalam manuskrip-manuskrip Nusantara?
Lontar SIKUT KERIS bisa dikatakan kunci masuk informasi ke dalam perihal keris Bali. Lontar ini ada di Bali. Cukup memberikan informasi tentang keris di Bali, soal pamor dan perhitungan dan peruntungan yang membawanya.
Versi lainnya di Bali ada lontar berjudul: “Ukuring Kris”. Lontar ini milik Gdong Kirtya tapi dipinjam oleh Pusat Dokumentasi Bali dan belum dikembalikan. Nomor lontar bertanda No III c 847/12 ᭚ᬉᬓᬸᬭᬶᬂᬓ᭄ᬭᬶᬲ᭄᭟ ᭚ᬤ᭄ᬭᬸᬯᬾᬦ᭄ᬕ᭄ᬤᭀᬂᬓᬶᬃᬢ᭄ᬬ᭟
Bertulis pada depannya: “Ukuring keris, toeroenan dari lontarnja I Paseh Madia dari Boesoenglor [Pengastoelan] ditoeroen oleh I Ktoet Kaler, Br Pakisan”
Lontar Ukuring Keris menjelaskan berbagai hal tentang keris, dengan sangat menarik, termasuk soal keris begal atau maling. Bagaimana etika dan penjelasannya.
Di Jawa sendiri ada arsip menarik sekali yang mirip dengan lontar yang menjelaskan soal pamor keris Bali, arsip keris ini disimpan di Senobudoyo Yogyakarta. Menjelaskan tentang pamor keris, yang diselipkan masuk dalam manuskrip bertajuk “Pawukon”. Apakah ini artinya Keris jadi semacam bagian dari ilmu Pawukon?
INLEIDING TOT EEN BESTUDEERING VAN DE JAVAANSCHE KRIS adalah karya W. H. RASSERS yang terbit di AMSTERDAM tahun 1938. Sangat luar biasa isinya membahas keris Jawa. Kita bisa membuka mata tentang dunia Keris Jawa dan Nusantara. Pembaca pasti dibuat ngeh demikian seriusnya pamor keris sebagaimana sedemikian serius pakem dan motif batik, jika mau membandingkan sebagai contoh perbandingan sederhana. Sekalipun tidak bisa disederhanakan seperti itu karena keris bukan hanya soal estetika, tapi relasi “power” dan dunia “imajinasi Jawa” yang sama sekali tidak sederhana.
Di Surakarta ada “Serat Sajarah Para Empu: Gancaran”. Ditulis di Surakarta, akhir abad 19. Berkisah tentang sejarah kronologis senjata dibuat oleh pengrajin keris Jawa bawah perlindungan kerajaan: dari pemerintahan Bathara Guru (Sri Maha Dewabuddha) sebagai raja Jawa (tahun matahari 142) pada masa pemerintahan Sri Mahapunggung di Purwacarita (matahari 1062). Dstnya.
Ada pula manuskrip lain di Surakarta berjudul “Sejarah Serat Empu” ditulis oleh Wijil Kadilangu II, sekitar tahun 1726–1745 Masehi berisi sejarah pengetahuan tentang Keris Jawa, semenjak Empu Ramadi, pandai besi para dewa, hingga Mataram abad ketujuh belas selama masa pemerintahan Sultan Agung. Manuskrip ini dibuka dengan Dhangdhanggula:
“Askacaryan wuryaning mamanis, anarbuka andharaning kondha, para master sejarah.”
Saya tidak ahli keris, bahkan lebih banyak nonton dan lihat-lihat sejarah metalurgi Jepang dibandingkan keris di Nusantara, namun pengetahuan saya yang tidak rapi menjadi lumayan lebih baik ketika membaca lontar “Ukuring Keris” yang singkat tapi mendalam membuka ruang imajinasi. Juga terbantu banyak oleh buku INLEIDING TOT EEN BESTUDEERING VAN DE JAVAANSCHE KRIS karya W. H. RASSERS.
Sekalipun demikian, uraikan dan bacaan di atas saya urai, bukan berarti saya paham keris. Tetap saja saya merasa amatiran dalam soal keris. Dunia “imajinasi keris” di kalangan pencinta keris itu sungguh tidak mudah disederhanakan. Kecintaan dan kegandrungan para pecinta keris itu sungguh tidak mudah “dilerai” sebagaimana imajinasi cinta seorang yang dilanda cinta, sepertinya tidak terbayang kalau tidak pernah jatuh cinta. Para pencinta keris bisa bermalam-malam membahas pamor keris. Ini mungkin tidak masuk akal bagi yang tidak jatuh cinta pada keris. [T]