Pendekatan Dialogis Sokola. Itu judul ilustrasi dalam tulisan ini yang diambil saat pameran seni yang diadakan di Kulidan Kitchen and Space tanggal 12 Februari 2020. Ilustrasi yang dibuat oleh Oceu Apristawijaya ini menggambarkan Pendekatan dialogis pendidikan dimana sejatinya harus bermanfaat bagi komunitas dan mau berhadapan langsung dengan permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh komunitas. Pada deskripsi tersebut tergambar seorang dari Sokola Institute sedang memberi pendidikan pada murid dan komunitas dimana mereka bermata pencaharian sebagai penggembala kerbau. Guru dan murid sedang duduk bersama di padang rumput beristirahat untuk berdialog mengenai materi pendidikan. Para pendidik ikut terjun dalam keseharian masyarakat sekitar.
Kritik atas Pendidikan yang Berlangsung
Jika berkaca dengan situasi pendidikan yang diterima oleh mayoritas anak anak dan remaja di Indonesia termasuk Bali ada hal yang harus dipertanyakan mengenai proses pendidikan saat ini. Pendidikan formal hanya mengarahkan anak anak jadi sekrup atau suku cadang untuk ditempatkan ke dalam mesin industri. Ivan Illich menyebut sekolah sebagai pencetak tukang tukang yang diperintah dan mengejarkan instruksi dari atasan.
Di sekolah atasan ini adalah guru. Paulo Freire menyebut pendidikan demikian sebagai pendidikan sistem bank dimana guru merupakan subjek yang memiliki pengetahuan dan dalam proses belajar murid jadi objek. Di sini tidak ada dialog sejati. Dialog harus bersandar pada cinta kasih, kerendahan hati dan semangat peduli. Pendidikan yang bersifat dialog berasaskan pada pengharapan yang berakar di dalam kesadaran bahwa manusia itu mahluk yang belum selesai.
Pendidikan anti dialogis ditandai dengan usaha membuat siswa tunduk , pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan. Pendidikan dialogis untuk mambangun struktur baru yang membebaskan hanya mungkin terwujud dengan pemahaman situasi menyeluruh masyarakat. Pendidikan anti dialogis memanipulasi dengan menghambat masyarakat untuk berpikir secara kritis dengan menciptakan mitos mitos yang disebarkan oleh sistem status quo dalam hal ini sekolah formal. Contoh mitos yang disebarkan adalah pembangunan infrastruktur oleh negara itu hampir selalu baik. Menurut Paulo Freire , dunia ini bukanlah suatu tatanan yang statis dan pasti dimana seseorang harus menerima dan menyesuaikan diri melainkan dunia ini adalah suatu masalah yang harus diselesaikan
Manusia saling mendidik satu sama lain dengan perantara dunia. Tidak ada proses pendidikan yang netral. Pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yang sedang berlaku dan menghasilkan kesesuaian atau menjadi praktik pembebasan yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif dengan realitas serta menemukan bagaimana cara berperan serta untuk mengubah dunia mereka(1).
Peran Sokola Institute Mendidik Orang Rimba
Ada sebuah kisah dimana Butet Manurung menjadi sukarelawan mengajar anak anak rimba tentang ilmu pengetahuan alam. Temanya adalah terjadinya siang dan malam. Orang rimba menganggapnya tidak cocok karena menurut mereka malam terjadi ketika raksasa menelan matahari dan memuntahkannya lagi di pagi hari. Pendidikan bukan semata mengenalkan pengetahuan sebagai fakta tapi harus memperhatikan nilai nilai yang dianut masyarakat setempat. Pendidkan harus menjawab persoalan yang dihadapi sebuah komunitas. Pendidikan yang dijalankan sokola berprinsip pada setiap tempat adalah sekolah , setiap orang adalah guru. Tidak hanya di gedung, tapi juga di hutan, kebun, pasar, sawah, sungai dan laut.
Memutus mater ajar dengan aspek aspek utama kehidupan itu sama dengan mengisolasi anak didik dari kehidupan sesungguhnya. Ruang Kelas sekolah menjadi penjara. Ini sering buat anak jenuh dan tertekan. Pendidikan bukan hanya sekedar baca tulis dan memahami isi buku materi pelajaran. Pengetahuan dan kearifan lahir dari pengalaman kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sekolah harus jadi pusat kegiatan komunitas dan terhubung dengan permasalahan mereka sehari hari.
Saat proses pendidikan baca tulis berlangsung, muncul pertanyaan? Apa gunanya dapat membaca dan menulis kalau hutan hancur juga? Apa gunanya pintar kalau dipaksa oleh aturan Taman Nasional untuk keluar dari hutan? Pendidikan kontekstual berbasis persoalan komunitas yaitu sebuah periode dimana pengajaran yang dijalankan didasarkan pada kebutuhan pihak yang menerimanya. Penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan konteks kehidupan komunitas termasuk konteks budayanya agar proses pendidikan terintegrasi dengan ritme kehidupan harian.
Ada kasus seorang guru mengajari anak anak rimba matematika berapa hasilnya dua pertiga ditambah satu pertiga. Seorang murid tak mengerti. Guru menganalogikan bahwa satu kue dibagi kepada tiga orang, tiap orang dapat satu per tiga. Anak rimba bilang “itu salah , tetap dapat satu tapi lebih kecil. Sang murid protes: itu tidak berguna bagi kami yang belanja kebutuhan ke pasar, tidak ada yang namanya beli sepertiga atau dua pertiga kilogram. Yang ada beli setengah kilo, satu kilo, satu setengah kilo, atau dua kilo.”
Dalam proses pengajaran yang dilakukan oleh Sokola terdapat tiga tahap untuk memberdayakan warga Rimba supaya mempertahankan hak haknya dan memanfaatkan fasilitas dunia modern untuk keberlangsungan hidupnya seperti obat obatan .
Pada tahap pertama ,dalam proses belajar mengajar, kosa kata yang dipakai dalam pengajaran harus sesuai dengan kehidupan sehari hari. Kata kata hutan, rusa, ladang, konservasi, taman nasional , pasar dan desa lebih sesuai dengan konteks kehidupan daripada kulkas, salju dan boneka. Ini membuat komunitas rimba senang karena tidak terasa asing. Di sinilah penerapan gagasan Ivan Illich bahwa murid harus belajar dari dunia dia tinggal bukan tentang dunia yang begitu jauh dari tempat dimana ia berada.
Tahap kedua adalah literas terapan. Proses ini berisi beragam materi ajar tematis yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan serta situasi dan kondisi di lokasi. Diarahkan pada fungsionalisasi dalam mengatasi perosalan kehidupan harian dan menguatkan identitas kultural. Murid murid diajarkan cara membaca petunjuk minum obat yang tertulis dibungkus atau label. Kemudian berhitung tematis dengan pendekatan soal cerita berlatar kasus belanja di pasar. Literasi terapan mencakup materi wawasan kerimbaan berupa dongeng, aturan adat, sejarah kawasan , pengaturan hutan dan lain lain yang diajarkan dengan megikutsertakan tokoh adat setempat.
Tahap ketiga adalah pengorganisasian dimana proses pembelajaran didorong untuk kemandirian, mampu mengorganisasi diri dalam menyelenggarakan proses pendidikan dan tahu cara menyelesaikan persoalan di kehidupannya. Kader Sokola Rimba yang awalnya jadi asisten mengajar di fasilitas berperan untuk mengadvokasi komunitas sebagai respon atas diberlakukannya zonasi taman nasional bukit dua belas yang mengabaikan orang Rimba.
Gerakan Pendidikan di Komunitas Kajang
Sokola institute melalukan gerakan pendidikan dialogis di pulau Sulawesi. Sokola menemukan permasalahan pendidikan pada orang kajang yang hidup di desa Tana Toa, kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Wilayah orang Kajang menyempit karena perkebunan korporasi mengepung tanah adat. Dulu mereka menggembala melampaui kecamatan Kajang sekarang lahan penggembalaan menyusut karena eksklusi oleh korporasi. Sekolah dibangun di luar kawasan adat. Murid murid yang bersekolah tidak diajari bahasa Konjo tapi bahasa Indonesia, Makassar dan Inggris. Sekolah tidak pernah mengajari pelajaran kontekstual yang berkaitan dengan menanam jagung atau menggembala kerbau. Sekolah formal membuat kebanyakan anak anak sering membolos karena menggembala ternak atau menenun pakaian tope leleng dengan gunakan bahan pewarna alami daun tarung dan digasak dengan bilalu ( cangkang siput laut). Orang Kajang yang bersekolah formal meninggalkan kampung halaman dan pindah ke kota.
Pendidikan di sekolah formal membenarkan alih fungsi lahan yang dilakukan atas alasan pembangunan dan modernitas . Sistem di situ mulai dari fasilitas fisik tidak menghormati adat istiadat orang Kajang yang pantang gunakan bata dan semen tapi gunakan keduanya. Anak anak dianggap membolos karena menggembala kerbau dan diberi sanksi. Sekolah lebih mengajarkan siswa untuk melayani tamu daripada melayani kebutuhan sehari hari komunitas di sekitarnya.
Tenaga pendidikan di Kajang adalah pendatang yang ditempatkan di desa tersebut. Komunitas tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam merencanakan materi ajar maupun saat pengajaran. Sistem sekolah formal merawat stigma negatif seperti budaya terbelakang sehingga orang Kajang memilih ke kota untuk menghapus kesan itu dan pendidikan formal gagal membongkar stigma dan memberikan posisi tawar lebih baik untuk komunitas.
Paulo Freire menyebut unsur utama dialog adalah praksis. Praksis merupakan sebuah aksi yang bersumber dari refleksi kritis yang dilakukan bersama sama dan mengarah pada perubahan sosial. Pendidikan dialogis akan membangkitkan kesadaran kritis. Proses pendidikan harus merespon kondisi yang aktual dan merefleksikan aspirasi komunitas yang akan tersinergi bersama di tataran pemikiran dan aksi nyata. Proses ini harus melahirkan aksi konstruktif dan rekontruktif. Pendidikan aktual tidak semata mata konkret tapi mengandung aspirasi dari orang orang yang berada di dalamnya.
Program sekolah di kecamatan Kajang berbeda dengan di komunias orang orang rimba karena lingkungan geografis, cara hidup dan permasalahan. Di Kajang, Sokola mengajarkan pertanian organic menjawab masalah komunitas yang terdesak oleh perkebunan swasta dan pertanian modern.
Komunitas sebagai Rekan Pendidikan
Realitas adalah proses transformasi yang tidak statis .Komunitas adat rentan terhadap proses proses hegemoni yang kerap mengisi dan menguasai kehidupan mereka. Program pendidikan yang melibatkan komunitas dalam tahap perencanaan , pelaksaan maupun evaluasi akan memberikan keberanian bagi komunitas untuk merekontruksi kondisi yang ada. Proses yang ditempuh Sokola untuk menjalankan program pendidikan di dalami dengan pencarian data yang lebih detail dengan kajian pustaka kemudian dikonfirmasi langsng di lokasi.
Tujuannya untuk mengenal komunitas lebih jauh termasuk memahami permasalahan yang dihadapi lalu mendiskusikan pendidikan seperti apa yang mereka butuhkan kemudian menyusun rencana program materi belajar apa yang dibutuhkan, apa saja isinya, dimana lokasi berlangsungnya pembelajaran, waktu yang cocok untuk proses pembelajaran , sampai seperti apa rencana tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Di luar kegiatan pembelajaran para relawan terlibat aktif dalam komunitas untuk terus berdialog baik dengan murid, orangtua siswa dan anggota komunitas lainnya. Modal dasar yang dimiliki pengajar adalah membumi, keyakinan pada komunitas menjadi modal kuat dalam proses pelibatan komunitas sebagai mitra. Membangun aksi dan melakukan refleksi terhadap masalah dan program pendidikan yang akan dilakukan.
Rasa kasih adalah rasa yang mendorong keberpihakan pada komunitas, mencegahnya dari sikap mendominasi dan manipulatif , memberikan dorongan untuk terus bersikap menghargai dan yakin pada keberdayaan komunitas dalam mentransformasi kehidupannya. Di Sokola anak anak tidak dikenali melalui kepintaran kepintaran nilai. Mereka dibimbing berdasarkan kemampuan yang mereka miliki dan pendidikan yang mereka kuasai sesuai kemampuan mereka. Murid yang senang menggambar tidak pernah dipaksa untuk tetap dapat mengerjakan soal bahasa atau matematika misalnya(2).
Sumber
- Freire, Paulo.2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. Pustaka LP3ES
- Manurung, Butet, dkk. 2019. Melawan Setan Bermata Runcing. Jakarta. Sokola Institute