—Catatan Harian Sugi Lanus, 4 Desember 2020
Masyarakat awam kadang berpikir kalau lontar-lontar isinya melulu black magic atau ajaran kuno. Kenyataan banyak yang tidak seperti itu.
Ada beragam lontar yang sangat “modern” seperti catatan absensi atau list anggota kelompok arisan atau pinjaman keuangan sebuah kampung. Lontar ini bisa disebut “lontar sekaa”. Selain “lontar sekaa” ada “lontar ayahan” yang berisi kewajiban yang dikenakan pada krama. “Lontar kekenen” lain lagi, ini lontar berisi “kekenan” (apa yang dikenakan/diwajibkan untuk disumbang) ketika karya/odalan atau perayaan pura. Lontar “paling modern” adalah “lontar pajak tanah”, temasuk di dalamnya pilpil.
Lontar pajak tanah adalah bukti pembayaran pajak tanah yang dinilai ‘paling bernilai tinggi”. Lontar ini ditandai dengan stempel kerajaan pada ujungnya, lalu berisi keterangan luasan dan lokasi tanah, dengan nama pemiliknya. Batas-batas tanah umumnya disebutkan. Dari bukti pembayaran pajak ini aset keluarga yang dulunya hanya berupa pipil bisa diproses menjadi sertifikat hak milik (SHM). Lontar-lontar ini berguna sebagai pelengkap dalam proses mengurus pipil menjadi sertifikat. Ini juga bisa menjadi bukti aset jika berurusan dengan pinjam-meminjam di masa lalu.
Lontar-lontar pajak tanah sangat diperlukan di zaman land reform masa kolonial. Banyak tanah diambil penguasa ketika itu kalau tidak bisa bayar pajak, kata para tetua. Kalau mampu membayar pajak dan bisa mengurus pipil, apalagi punya posisi sebagai pejabat kolonial, dan mahir berbahasa Belanda, yang bersangkutan akan sangat diuntungkan. Banyak “tanah gege” bisa dijadikan bagian dari “tanah milik” bila dekat dengan penguasa ketika itu. Jangan tanya kekuasaan para raja ketika itu. Ini sebab sampai kini — kalau tidak habis terjual — lingkar keturunan para raja dan sekitarnya masih berlimpah tanah waris. Umumnya juga lokasinya di titik-titik paling strategis dan punya harga jual tinggi.
Sekarang, yang terpenting dari keberadaan dari Lontar Pajak Tanah adalah tanahnya juga masih di tangan pewaris lontar. Ada pernah bahkan cukup sering terjadi, begitu sebuah keluarga ketemu lontar-lontar pembayaran pajak, mereka lantas mencari tanah leluhurnya itu, lalu mengklaim bahwa tanah itu milik keluarga mereka. Tentu tidak semudah itu. Lontar-lontar pajak tanah bukan sertifikat tanah. Bisa jadi tanahnya sendiri telah dijual, tinggal lontar-lontar disimpan di rumah. Lontar-lontar bukti pajak ini bernilai tinggi, tentunya, kalau tanahnya masih sampai sekarang belum dijual ke investor atau belum sempat pindah tangan.
Banyak lontar pembayaran pajak tinggal lontarnya saja, tanahnya telah dijual karena judi atau berbagai alasan. Yang tertinggal hanya lontar-lontar pajak berserak di rumah pewarisnya, sementara itu tanahnya entah milik siapa sekarang. [T]