Bagai sayur tanpa garam. Bagai malam tanpa bintang. Bagai aku tanpa kamu. Bagai siswa tanpa guru. Kita ketahui pandemi Covid-19 telah merampas banyak hal. Salah satu di antaranya adalah merampas hak kita sebagai manusia untuk menunaikan kodrat kita, yaitu sebagai makhluk sosial. Aturan itu terpaksa dilakukuan oleh semua orang. Tak lain tak bukan agar kita terhindar dari Covid-19.
Beranjak dari aturan yang melarang manusia melakukan pertemuan dalam jumlah massa yang besar, proses belajar mengajar pun jadi serba terbatas. Jadi semacam, ada, namun tiada. Selama ini belajar memang tetap dilaksanakan, namun tanpa ruang kelas dan tanpa pertemuan. Anak-anak atau siswa diimbau belajar dari rumah. Guru pun sama demikian, mengajar dari rumah juga. Jadi, tak ada yang namanya belajar tatap muka. Loh kan, ternyata bukan cuma sepasang kekasih saja ya, yang LDRan. Di zaman now, guru dan siswa juga LDRan. Kondisi ini jelas masih terasa awam untuk dilewati oleh guru dan siswa. Sebab, yang kita tahu bahwa selama ini proses belajar mengajar pasti dilakukan secara tatap muka. Tapi mau tak mau, suka tak suka, kondisi awam ini harus dihadapi sehingga guru dan siswa jadi terbiasa dan tak merasa aneh lagi. Memang kita harus berdamai dengan semua keterbatasan ini.
Belajar di rumah selama hampir setahun penuh membuat hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas di lingkungan sekolah sangat dirindu oleh siswa dan guru. Mulai dari rindu akan hal-hal kecil, seperti rindu pakai seragam sekolah, rindu bermain di halaman sekolah saat jam istirahat, rindu pada ruang kelas, rindu makanan-makanan kantin yang tak bisa ditemukan di warung lain, rindu mengobrol untuk membahas hal remeh temeh kehidupan sampai rundu pada hal-hal serius semacam belajar, mengerjakan tugas proyek sekolah, presentasi, atau membahas isu-isu pendidikan baru yang muncul di Indonesia. Atau mungkin, masih ada rindu-rindu lainnya yang luput dari pikiran saya.
Lebih-lebih pada hari ini. Bertepatan dengan Hari Guru Nasional ini. Saya yang juga seorang guru, sangat rindu bertemu siswa. Ya meskipun tak selamanya bertemu siswa dapat membuat hati lega. Sebab sewaktu-waktu, saya mesti menghadapi kenakalan-kenakalan mereka yang tiada pernah habisnya. Tapi tak apalah. Ya namanya saja anak-anak yg bertumbuh remaja. Saya tak bisa menghindar dari masalah-masalah remaja mereka. Maka biarlah itu menjadi tantangan buat saya sebagai guru mereka agar pelan-pelan mampu mendidik mereka. Tapi dibalik kenakalan-kenakalan itu, mereka jugalah yang lambat laun mendewasakan saya.
Sama seperti proses belajar mengajar. perayaan Hari Guru di tahun ini mungkin akan terasa sedikit berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mungkin saja di tahun ini tak saya dapatkan kartu ucapan menarik, kreatif, buatan tangan-tangan para siswa. Atau, tak saya temukan pemandangan siswa yang mengendap-ngendap datang ke kantor membawakan guru favoritnya sebuah cokelat, bunga mawar, atau kue, tanda terima kasih mereka.
Tapi, rasanya tak perlu sedih dulu. Meskipun terasa sepi, perayaan Hari Guru tetap bisa dilakukan. Hanya saja dirayakan dengan cara yang agak berbeda. Semisal, Hari Guru tahun ini dirayakan oleh sesama guru. Ya walau tak ada keterlibatan siswa. Tak apa. Dalam hal ini, yang biasanya siswa datang memberi semangat kepada gurunya sambil membawakan hadiah, kali ini tak ada salahnya jika sesama gurulah yang saling menguatkan dan memberi semangat.
Selamat Hari Guru untuk guru-guru Indonesia.