“Karya seni terdiri dari Materi yang dikenai bentuk tertentu oleh seniman. –Dalam metafisika ini disebut substansi, yakni objek tetap yang siap diamati dan dikalkulasi oleh subjek.” – Martin Suryajaya menjelaskan konsep Heidegger tentang Karya Seni dan Persoalan Ada, dalam bukunya Sejarah Estetika (2016: 698-705)
Bagaimana karya seni rupa melampaui ruang dan waktu?
Bersorak-sorak gembiralah karena hari ini kita sedang hidup dalam era dimana segala proses dapat dipercepat. Seringkas mungkin. Sepadat mungkin. Hal ini dipicu oleh ketergesa-gesaan, kemendesakan, dan kemendadakan yang akhirnya memaksa teknologi informasi terus berkembang dan semakin menubuh dalam tiap lini aktivitas manusia. Mulai dari berinteraksi, berkomunikasi, bertransaksi, belajar, hingga berdoa, kini dapat terakses bebas melalui layar mini gawai kita dan teknologi lainnnya. Hampir tidak ada fitur yang tidak disediakan oleh teknologi hari ini. Boleh jadi suatu hari akan ada yang menemukan rumus untuk benar-benar menyumbat rasa lapar lewat ekstasi internet.
Kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh dunia saat ini atas ketidakmampuan kita, kemudian merubah pola berprilaku manusia kebanyakan. Tidak lagi ada pembatas yang cukup jelas selain finansial misalnya, yang dapat membatasi diri kita untuk bergerak dan beraktivitas. Namun sesungguhnya batasan apapun itu tetaplah ada dan sekaligus tidak ada. Karena pada titik tertentu akhirnya kita dipaksa untuk larut dalam sebuah ketidakjelasan. Kita tidak lagi mampu menimbang antara yang maya dengan yang nyata, sehingga yang sesungguhnya boleh jadi adalah rekayasa, dan begitu juga sebaliknya. Kita dihadapkan pada banyak kebingungan-kebingungan yang akhirnya kita amini sebagai bagian dari kenormalan dunia. Sesuatu yang biasa dan tidak perlu diperdebatkan.
Bagaimana kemudian kebudayaan global mengalami persoalan penuh dilema ini ikut mempengaruhi tradisi berkreativitas kita. Secara umum telah mengkonversi medium berkarya konvensional kedalam presentasi ruang dan waktu yang meski semu namun ia tetap objektif. Artinya tidak terhindarkan, tidak terabaikan, dan melekat pada objek-objek material. Artinya wacana-wacana yang terdengar bombastik-puitik, ingin menghadirkan karya-karya seni rupa yang “melampaui” ruang dan waktu akan langsung terbantahkan. Secara filosofis ruang dan waktu seringkali dianggap tidak terhubung dengan keberadaan sebuah materi. Maka upaya “melampaui” ruang dan waktu diduga sama dengan peristiwa melenyapkan suatu materi dari alam semesta. Sebabnya karya seni rupa yang hari ini banyak merayakan persoalan bentuk dan isi hampir tidak mungkin melabeli dirinya “melampaui” apapun karena karya seni rupa baik virtual maupun riil sejatinya tersusun melalui aspek-aspek material itu sendiri.
Persoalan ruang dan waktu yang fundamental ini berkaitan dengan dialektika eksistensi. Memosisikan kesadaran untuk menyatakan keadaan dan ketiadaan. Hanya yang sunyata lah yang mutlak dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu tidak ada yang benar-benar dapat memberitahu kita soal apa yang “ada” atau tidak ada” setelah melampaui ruang dan waktu. Pun tidak ada rumus yang dapat dipakai untuk membahasakan persoalan metafisika ini. Yang tampak hanyalah gejala-gejala, bukan realitas dalam pengertian realitas itu sendiri. Lagipula kita tidak perlu menjadi Superman seperti yang diidealkan oleh Nietzche dalam konsepnya tentang Ubermensch, manusia yang sediakala unggul dan terobsesi untuk selalu melampaui. Hari ini obsesi tersebut rasanya hanyalah kesombongan. Karena kita tengah hidup di era matinya para ahli, tidak ada lagi yang maha tahu dan maha benar. Hari ini kita lebih perlu memfokuskan diri kita untuk memetik nilai-nilai dan makna yang banyak tercecer di sepanjang proses yang kita lalui.
Dalam konteks seni rupa, ruang dan waktu adalah stimulan yang penting untuk membentuk persepsi dan intuisi atas suatu karya. Karena itu tanpa adanya ruang dan waktu maka tak ada pula materi dalam karya yang akan terbaca. Garis, warna, bentuk, tekstur, dan aspek formal lainnya yang ditumpahkan diatas permukaan medium apapun adalah elaborasi-elaborasi yang kemudian menghadirkan ruang dan waktunya sendiri. Pameran dengan format virtual “Darurart: Tidak Ingin Melampaui Apa-Apa” ini,ingin menegaskan hal tersebut.
Pameran ini merupakan sikap yang diambil oleh kaum perupa muda yang tinggal dan berkarya di Bali, untuk menghadirkan persepsi serta pandangan mereka terhadap konvensi lingkungannya yang penuh ketidakjelasan dan ambiguitas. Para perupa muda ini diantaranya yaitu Dewa Made Johana, Dwymabim, Surya Subratha, Piki Suyersa, Suyudana Sudewa, Putra Wali Aco, Setiadi Nolep, Ida Bagus Eka Sutha Harunika, Cupsalah, I Gusti Lanang Agung Ari Saputra, I Kadek Wiradinata, dan I Made Arya Septyasa. Dalam karya-karya dua dimensional yang mereka tampilkan dapat teramati bagaimana hubungan-hubungan antar tiap unsur visual tidak mungkin tidak menghadirkan ekstensi dan durasi. Bahkan dalam ruang kosong sekalipun ruang dan waktu itu akan tetap ada.
Karya grafis Dewa Made Johana adalah satu dari banyak karya dalam pameran ini yang memperkarakan waktu. Dalam karyanya, Johana berupaya mereproduksi portrait gadis-gadis Tenganan di masa lampau menggunakan karya fotografi yang ia pinjam sebagai acuan. Karyanya menunjukkan fakta bahwa waktu yang dibekukan dalam sebuah medium atau material sekalipun tidak akan pernah menemukan titik hentinya. Bahwa benar sebagai sebuah momen, ia tidak akan pernah dapat terulangi. Namun sebagai sebuah medium, ia akan tetap bergerak, menghadapi perubahan-perubahan serta penyempurnaan tanpa ujung. Hal ini yang kemudian teramati sebagai durasi dalam karya Johana dan hadir melalui representasi warna-warna monochrome serta efek usang, rusak, dan berjamur. Selain sebagai pilihan artistik yang hendak ia tonjolkan, efek-efek tadi dapat terbaca sebagai upaya Johana dalam memaknai durasi itu sendiri. Efek-efek dalam karyanya mampu menjelaskan konsep tentang kesementaraan, yang fana, yang tak abadi.
I Gusti Lanang Agung Ari Saputra dalam karyanya yang berjudul “Heroism vs Narcissism” juga melakukan hal serupa. Ari membekukan peristiwaj yang membenturkan dikotomi sosial antara aksi kepahlawanan dengan aksi narsistik. Ia mencoba memanfaatkan potensi medium fotografi untuk meminiaturisasi realita atau apa yang tampak menjadi sebuah informasi baru yang tidak terbantahkan atau faktual (koresponden). Namun sebetulnya yang lebih dominan tampak dalam karya Ari adalah persoalan tentang ruang, yang secara teknis merupakan elemen utama dari karya seni fotografi. Dalam rangka menyampaikan gagasannya, maka ia perlu menguasai ruang untuk menghasilkan komposisi yang kuat agar dapat langsung mengarahkan audiens pada subjek utama dalam karyanya. Maka mengenai ruang, karya-karya Ari tak akan ada habis-habisnya untuk dibahas.
Lain lagi usaha Surya Subratha dalam menggelar ruang dan waktu di dalam karyanya. Ruang dalam persepsi Surya berangkat dari akar kulturalnya sebagai orang Bali. Semisal dalam lukisannya yang berjudul “A Thousand Hopes (Tribute to Farmer)”. Kita dapat mencermati bagaimana Surya secara sadar mengadopsi kecenderungan gaya lukis Batuan sebagai strategi visualnya melalui penyajian ruang dengan bidang gambar yang penuh, tanpa perspektif, dan hampir tidak menyisakan ruang kosong. Akibatnya ruang yang hadir dalam karyanya cenderung datar dan padat. Dalam karyanya pun Surya banyak menggunakan ikon, atribut, serta setting untuk menerjemahkan pemahamannya pada budaya agraris di tanah kelahirannya.
Dibandingkan karya-karya lainnya, karya abstrak Piki Suyersa dan Cupsalah (Ucup) akan lebih banyak membahas unsur intrinsik yang membentuk karya mereka. Salah satu unsur yang bagi mereka paling dominan beperan dalam sebuah karya yakni warna. Dalam kasus Piki “Blue Reflection” misalnya, gejala yang tampak hadir mengisi ruang kosong kanvasnya adalah dominasi warna-warna biru, hitam dan warna lembut/kasar dengan intensitas ritmis yang ia hadirkan lewat sapuan, tumpahan, jipratan, lelehan-lelehan, serta pengulangan titik-titik. Sementara oleh Ucup dalam karyanya “Universal Text”, susunan warna-warna dalam bentuk garis tebal-tipis dan acak-adut yang ia olah dengan medium digital hadir secara lebih datar atau rata. Keputusan Piki dan Ucup memilih kecenderungan abstrak sebagai bahasa ungkap mereka terbaca lewat kesadaran mereka ketika berhadapan dengan ruang-ruang kosong. Mereka seolah-olah menemukan ruang untuk melepas luapan-luapan emosi sambil menyelami layer-layer dimensi kosmos masing-masing. Dalam proses inilah kemudian dalam diri mereka muncul kesadaran lain untuk mengontrol diri yang akhirnya dapat termaknai pula sebagai upaya kontemplatif.
Luapan-luapan dalam bentuk lainnya tampak dalam karya Setiadi Nolep. Bagaimana Nolep memanjakan diri, dan memamerkan fantasi virilitasnya terhadap benda-benda, (coba) ia rumuskan dalam gagasannya yakni “Fetis-foria”. Bentuk kesenian semacam ini agaknya selalu menyangkut pemaknaan soal ketubuhan. Namun rasanya bukan diskursus soal tubuh (terutama tubuh perempuan), yang benar-benar ingin Nolep kemukakan lewat karyanya ini. Terlebih tentang terpuaskannya hasrat dan birahi, boleh jadi hanya merupakan efek samping dari aktivitas fetis itu sendiri. Yang akhirnya lebih jelas terbaca adalah bagaimana melalui iringan fantasi-fantasi fetisnya, Nolep dapat menciptakan dan memasuki ruang rekaan realitas-realitas (simulakrum) yang ia harapkan terpenuhi. Perwujudan fantasi seksualitas dalam ruang rekaan atau ruang imajinya ini kemudian menjadi tampak dan tersuguhkan akibat perfomance singkat masturbasinya. Karena menurutnya persoalan fantasi seksualitas nya tidak cukup dengan dihadirkan dalam medium yang konvensional.
Karya-karya yang ditampilkan oleh perupa-perupa dalam kelompok ini turut serta menawarkan gagasan-gagasan dengan beragam pokok karya dan bahasa ungkap yang senantiasa tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu. Namun bertimbang pada efektivitas, maka yang disinggung dalam esai sekaligus tulisan pengantar pameran ini hanyalah beberapa karya yang dirasa cukup untuk mewakili pokok persoalan yang ingin diangkat melalui pameran ini. Ihwal benar atau tidaknya, adalah porsi publik atau siapa saja yang tertarik untuk membaca lebih dalam atau menawarkan kemungkinan pembacaan yang lebih kritis perihal pameran ini.
Bagaimana pameran ini dihadirkan
Ketika ekosistem kesenirupaan di tiap wilayah saat ini diberi jarak dari ruang fisik, disaat yang bersamaan teknologi dengan bangga menawarkan ide tentang ruang virtual yang ternyata berhasil mendominasi aktivitas pameran seni rupa di dunia. Walau gagasan tentang ruang virtual bukanlah inovasi baru untuk peradaban kita hari ini. Ia telah lebih dulu menjadi solusi untuk mempermudah pekerjaan para arsitektur. Cukup dengan membangun ruang virtual yang dilengkapi dengan tiruan lingkungan dan kendali gestural, maka seolah-olah manusia dapat memasuki realitas baru bahkan tanpa memindahkan tubuh dan bokong berat mereka dari atas kasur sekalipun.
Persepsi kita atas ruang(an) nyata selama ini hanya sebatas sebuah tempat dan wadah yang sempit/luas, yang tercipta oleh batasan sekat-sekat tembok, oleh bahan material riil. Wujud ruang konvensional tersebut lalu hanya diadopsi secara cuma-cuma kedalam medium virtual agar kebutuhan menghadirkan ruang yang serepresentatif mungkin ditengah penjarakan ekstrim ini dapat terpenuhi. Padahal dengan perkembangan teknologi yang semakin menjadi-jadi, saat seperti ini adalah momentum yang tepat untuk kita menampilkan karya-karya seni rupa di tengah ruang yang selama ini sulit kita wujudkan di dunia nyata. Presentasi serupa inilah yang dipilih oleh para peserta pameran karena dirasa lebih layak untuk menghargai jasa para teknologi yang telah banyak memberikan kemudahan kepada umat manusia. “Masak uda online, masih aja di ruangan kotak”, Begitu kami tidak habis pikir.
Medium presentasi semacam ini adalah pilihan, sekaligus upaya para peserta dalam memaknai ulang fungsi-fungsi ruang dan waktu. Kaum anak muda ini ingin memperluas seluas-luasnya kemungkinan-kemungkinan untuk mengolah ruang dan waktu dalam karya-karya mereka. Ada yang memajang karyanya di tengah ruangan presiden, di tengah ekspedisi bulan, ditempel pada billboard jalanan, terjual di balai lelang, di tengah kuburan, di tembok-tembok kota, diperlakukan seperti layangan, disisipkan dalam adegan sinetron khas Indonesia, adegan film sci-fi, hingga film hentai. Semua karya-karya ini kemudian dikompilasi dan ditampilkan dalam bentuk video berdurasi cukup singkat, sekitar 9-10 menit.
Tentunya menampilkan masing-masing karya dengan batasan durasi pun tidak akan mengurangi intensitas apresiasi para pembaca karya. Karena dengan mudah saja kita dapat membekukan waktu, memutar kembali waktu, bahkan mempercepat waktu hanya dengan satu-dua-tiga gerakan jari. Dalam proses pembacaan karya-karya pun, keadaan ruang virtual dalam gengaman kita ini sama sekali tidak terpengaruh oleh realitas yang sedang kita alami. Oleh karenanya bentuk presentasi ini menghadirkan pengalaman menikmati karya seni rupa yang lebih intertekstual. Ada unsur saling tarik menarik, silang menyilang, dan keterhubungan, antara satu karya dengan karya lainnya yang kemudian hadir baik secara natural maupun disengaja.
Akhirnya, apabila yang lebih dulu tampak dalam usaha pameran ini hanya ketidakjelasan, ketidakteraturan, dan ketumpang-tindihan isu, maka boleh itulah cerminan atas hiperrealitas. Sebaliknya apabila tidak tertangkap gejolak dalam bentuk apapun, maka boleh jadi begitulah tradisi berkesenian kita hari ini. Ia tidak cukup intens tercipta lewat proses-proses yang banyak melibatkan pemikiran kritis terhadap kondisi kebudayaan yang kontekstual. Ia lebih banyak bertebaran, mengambang, dan membosankan.
Batubulan, Oktober 2020