Di negeri ini, di mana semangat demokrasinya lagi on fire, apapun dapat dibakar menjadi kontrovensi. Asapnya seakan-akan telah memberi efek adiksi untuk masyarakat kita, dan itu bukan kecil proporsinya. Adiksi selalu tak baik untuk kesehatan karena ia sebetulnya tak diperlukan namun kita selalu nagih. Ia nagih semata-mata buat ngilangin perasaan gelisah dan hampa. Jelas ini tak produktif apalagi konstruktif.
Adiksi adalah penyakit yang telah kita buat sendiri lalu itu menyusahkan. Namun kita pun salut kepada sebagain kecil masyarakat yang justru dapat menangkap setiap dinamika sosial yang sedang terjadi menjadi peluang bisnis. Mereka mungkin tetap kritis, namun tak ikut terserat pusaran kontroversi. Bagaimana mereka bisa demikian? Sudah pasti karena mereka tak cuma cerdas, namun jelas ada bibit-bibit kemandirian di sana. Mandiri saat menganalisa dengan baik dan teliti setiap fenomena yang ada, bukannya ikut-ikutan cara berpikir menurut siapa yang ngetop dan populer.
Salah satu isu paling panas dalam drama wabah Covid-19 ini, apalagi kalau bukan persoalan masker. Bahkan presiden sampai harus mengeluarkan inpres terkait denda bagi yang tidak memakai masker saat bepergian ke tempat umum. Masker yang saat ini semestinya menjadi kebutuhan bahkan boleh disebut merupakan hak setiap orang, justru oleh sebagian masyarakat dirasakan sebagai kewajiban yang berat. Tentu saja sikap skeptis dan kontradiktif ini tak terjadi secara tiba-tiba. Terdapat rangkaian dinamika yang melibatkan banyak elemen, terutama pemerintah yang terkesan tak punya skema yang efektif dan dapat mengayomi masyarakat luas. Lalu masyarakat kecewa. Walaupun jika kita mau mengambil perbandingan, Indonesia sesungguhnya tidaklah jelek-jelek amat dalam hal ini.
Sebutlah Inggris misalnya. Negara yang lebih maju daripada negeri kita dalam segala hal, ekonomi, edukasi dan fasilitas kesehatan, dengan jumlah penduduk seperlima jumlah penduduk Indonesia namun jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai angka 45 ribu jiwa. Angka ini hampir 4x dari jumlah kematian yang terjadi di Indonesia. Jika bicara dampak ekonomi pun, badai pandemi ini sesungguhnya menyapu rata kekuatn ekonomi secara global di seluruh belahan dunia. Kita semua, tanpa kecuali, secara simbolik dipaksa bernafas lebih pelan dan membuang jauh-jauh segala kesombongan kita.
Tak cuma bernafas lebih pelan, kita pun dipaksa memakai masker setiap saat untuk mengurangi risiko tertular Covid-19. Dapat dibayangkan, keduanya telah memberi dampak kekurangan oksigen yang menyesakkan sekaligus mengagetkan dan menghasut kita menjadi lebih sensitif dan mudah terbakar. Itulah kenapa anggapan Bill Gates, bahwa kita tak pernah siap menghadapi wabah sesungguhnya benar. Walaupun atas ucapannya itu, Gates dituduh salah satu pihak yang berdiri di belakang konspirasi pandemi Covid-19 yang diteorikan tak segelintir orang.
Di awal pandemi, akibat kepanikan yang luar biasa, masyarakat berebut masker bedah hingga tenaga kesehatan (nakes) yang sebetulnya lebih membutuhkan karena risiko pekerjaan mereka, justru kesulitan mendapatkannya. Saat itu, memang masker bedahlah yang paling umum diketahui oleh kita semua, disamping masker N-95 dan masker kain yang kemudian ikut populer mengikuti dinamika yang terjadi. Masker bedah, struktur desainnya memang dirancang untuk dapat menghalangi invasi mikroorganisme yang terkandung di dalam droplet, melalui saluran nafas pemakainya. Sebagian besar kuman penyebab infeksi saluran nafas ditularkan dengan perantara droplet. Hanya sebagaian yang memerlukan masker dengan pori-pori lebih kecil yaitu kuman yang ditularkan melalui airborne, kuman TBC misalnya. Maka untuk mencegah penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis, penyebab TBC, kita memerlukan masker N-95.
Virus SARS-CoV-2, yang pada awalnya diyakini hanya ditularkan secara droplet, telah membuat ilmuwan sangat ragu-ragu lantaran penyebarannya yang sedemikian masif dan progresif. Jangan-jangan virus ini pun dengan cepat telah beradaptasi dapat menular secara airborne. Beberapa riset pun telah menemukan indikasi ke arah sana. Maka sesuai protokol, nakes di ruang isolasi dan yang dinilai akan kontak erat dengan penderita Covid-19 wajib memakai masker N-95. Pun dari sana akhirnya WHO mengharuskan semua orang, bukan hanya nakes, untuk memakai masker jika berkunjung ke tempat-tempat umum atau kantor. Seperti kita ketahui, seharusnya minimal masker bedahlah yang cukup efektif.
Namun karena stok masker jenis ini belum mungkin disediakan untuk masyarakat umum maka masker kain tiga lapis dinilai cukup memberi proteksi. Ini didasarkan pula pada pemikiran bahwa daya infeksi (virulesnsi) dan jumlah kuman yang lebih kecil pada penderita tanpa gejala. Masker kain tiga lapis yang dimaksud adalah dengan desain seperti ini, lapisan pertama di bagian paling dalam (menyentuh mulut dan hidung) adalah material katun atau cotton blends. Lapisan kedua di bagian terluar adalah material polypropylene, polyester, atau gabungan keduanya dan lapisan tengah adalah material polypropylene atau katun. Struktur berlapis ini dapat menahan minimal 70 persen partikel solid atau droplet.
Masker N-95 dan masker bedah tentu hanya bisa diproduksi oleh perusahaan-perusahaan farmasi. Namun masker kain telah memberikan peluang bisnis untuk masyarakat luas meski dengan modal finansial terbatas. Bahkan disamping pada aspek fungsionalnya, banyak di antara mereka yang telah menonjolkan sisi artistik desain-desain masker kain tersebut. Sepertinya mereka telah sampai pada fase bertumbuh dalam perjalanan hidup kita berhadapan dengan wabah. Saat mana mereka bisa beradaptasi, berdamai bahkan produktif dari situasi sulit ini. Ini jauh lebih baik ketimbang kita masih berada pada fase panik, takut apalagi skeptis yang takkan memberi apapun untuk kita dan lingkungan. Dampak wabah telah nyata di depan mata, meski asal-muasal lepasnya mutan virus Corona jenis baru ini ke udara masih terus menjadi kontroversi. Maka tak ada pilihan lain untuk kita selain tetap bertumbuh, dengan menjadi insan yang cerdik dan realistis.