—Catatan Hari Sugi Lanus, 19 Oktober 2020
.
Sebuah brosur pariwisata terbit tahun 1914, berjudul: “ILLUSTRATED TOURIST GUIDE TO EAST JAVA, BALI AND LOMBOK” isinya berupa panduan perjalanan wisata ke Jawa Timur, Bali dan Lombok.
Saya perhatikan rutenya bagaimana memulai perjalanan di Bali di tahun 1914. Dari mana dan kemana saja mobil wisata bisa menjangkau?
Terbentang:
— Tahun 1914 jalan tembus SINGARAJA—BEDUGUL tidak ada.
— Rute perjalanan pariwisata periode itu dimuai dari Pelabuhan Buleleng berputar di Singaraja dan kalau ke Bali Selatan harus melalui Kintamani dan Bangli, lalu ke Ubud, atau ke Karangasem. Itupun setelah sebelum tahun itu dibangun jembatan besi oleh Belanda sebagai usaha peningkatan transportasi mobil antar wilayah.
— Para pegawai Belanda jika kepanasan di Singaraja berpelesir ke Moendoek ke Pasangrahan yang memang dibangun oleh mereka sebagai “rumah musim panas” mereka mencari udara dingin. Jalan yang telah terbuka untuk mobil adalah Singaradja, Boeboenan lalu naik sampai Moendoek.
— Jika ke Denpasar lewat Moendoek harus jalan kaki dari Moendoek atau naik kuda, menyusur jalan setapak utara Tamblingan dan Buyan, turun ke danau Beratan, baru ada jalan di Baturiti.
Jika dibandingkan dengan catatan perjalanan Rabindranath Tagore keliling Bali di tahun 1927, ketika rombongan kembali dari Denpasar lewat Batoeriti, Tagore dan rombongan hanya bermobil sampai Batoeriti. Selanjutnya naik kuda. Disediaan oleh petugas yang mengurus kunjungan Tagore. Dari Batoeriti ke Pura Ulun Danu Beratan Tagore berjalan kaki dan berkuda, kemudian menyusuri setapak Wanagiri, di atas Pancasari atau Bedugul, menuju Moendok.
Kapan dibangun SHORT-CUT SINGARAJA—BEDUGUL? Tepatnya: Kapan jalan tembus ini dibangun?
Sebelum ada short-cut Singaraja—Bedugul, jika opsir Belanda yang tinggal di Singaraja ingin berlibur di Pesanggrahan Danau Beratan, mereka harus lewat jalan Seririt—Pupuan, lalu Tabanan, Mengwi dan naik ke Baturiti, dari sana berlanjut ke Danau Beratan.
Kakek saya bercerita jalan tembus Singaraja—Bedugul dibangun bertahap. Kalau tidak saya ingat, kakek cerita itu terjadi tahun 1930, mungkin sekitar tahun 1938 ketika kakek pernah melintas ke sana menuju Denpasar. Itu berdasarkan ingatan saya di masa SD kakek bercerita tentang perjalananya ke Badung. Belakangan, sambil saya belajar bahasa Belanda, saya baca-baca koran tahun 1920—1940 untuk menguji kebenaran informasi kakek kalau 1930-an adalah tahun tembus jalan Singaraja-Bedugul, seperti yang dikisahkan kakek.
Ternyata Singaraja—Gigit lebih awal dibangun untuk memberi akses pariwisata bisa melihat AIR TERJUN GIGIT! Cerita kakek saya dikonfirmasi oleh berita KORAN SINPO yang berbahasa Melayu dimuat kisah wisatawan China yang plesir ke Air Terjun Gitgit. Jalan dari kota Singaraja mentok sampai di sana. Diceritakan dalam jika ke Denpasar ya harus balik ke Singaraja lanjut ke Kubutambahan ke Pura Bedji lalu ke Pesanggrahan Kitamani istirahat dan lanjut ke Bali Selatan.
Dalam Sinpo, Saptoe 14 October 1933 itu sang tamu yang menulis perjalanannya ke Gigit berkisah dan memotret Air Terjun Gigit. Artinya, tahun 1933 sudah dibuka jalan Singaradja ke Gitgit. Jadi saya pikir yang dikisahkan kakek ke saya tahun 1938 itu jangan-jangan perbaikan jalan atau jalan tembus GITGIT—BEDUGUL?
Dalam tulisan Sinpo tersebut ditulis:
“Kita sampe di Boeleleng kira-kira djam 4 sore dan besokannja, tanggal 17 kita soeda moesti balik lagi dengen kapal Van Lansberge jang brangkat djam 12 siang, hingga kita tida mempoenjai banjak tempo. Atas advies dari K. P. M. kita sewa autonja Mah Patimah dengen bajar lima gobang per kilometer. Ini tarief menoeroet agent K. P. M. dan Mah Patimah ada jang paling „baek”,tapi apa ini matjem baja- ran ada jang paling moerah si tourist boleh timbang sendiri……… Kita pertama koendjoengin Gitgit jang letaknja tjoema 11 K.M. dari Boeleleng dengen liwatin Singaradja. Pemandangan di sepandjang djalan ada sanget indah dan dari Gitgit orang bisa liat laoetan dengen njata sekali….”
“Kita sampe di Boeleleng kira-kira djam 4 sore dan besokannja, tanggal 17 kita soeda moesti balik lagi dengen kapal Van Lansberge jang brangkat djam 12 siang, hingga kita tida mempoenjai banjak tempo. Atas advies dari K. P. M. kita sewa autonja Mah Patimah dengen bajar lima gobang per kilometer. Ini tarief menoeroet agent K. P. M. dan Mah Patimah ada jang paling „baek”,tapi apa ini matjem baja- ran ada jang paling moerah si tourist boleh timbang sendiri……… Kita pertama koendjoengin Gitgit jang letaknja tjoema 11 K.M. dari Boeleleng dengen liwatin Singaradja. Pemandangan di sepandjang djalan ada sanget indah dan dari Gitgit orang bisa liat laoetan dengen njata sekali….”
Dari Sinpo ini saya mendapat informasi kalau tahun 1933 jalan Gigit—Bedugul belum tembus.
Sampai bulan April 1937 belum saya dapat kejelasan SHORT-CUT Gitgit-Bedugul. Oudheidkundig Verslag 1919 saya buka belum ada rencana pembangunan jalan tembus itu. Demikian juga Oudheidkundig Verslag 1930.
Sebuah berita berbahasa Belanda memberitakan PESANGGRAHAN DI DANAU BRATAN, isinya: “Diputuskan di bawah Resident Caron untuk membangun jalan penghubung dari Gitgit di sepanjang danau atas ke Batoeriti, yang akan mengurangi koneksi Singaradja-Denpasar menjadi sekitar 2 jam berkendara.”
Berita lengkapnya, di sini saya kutip dan terjemahkan:
PASSANGGRAHAN DI DANAU BRATAN.
“Seperti yang akan beritakan ke pembaca, diputuskan di bawah Resident Caron untuk membangun jalan penghubung dari Gitgit di sepanjang danau atas ke Batoeriti, yang akan mengurangi koneksi Singaradja-Denpasar menjadi sekitar 2 jam berkendaraan. Selama kunjungan ke Danau Bratan, yang membuat kesan begitu tenang dan megah pada pelancong karena hutannya berlembah curam dan terjal, Residen Caron mematangkan rencana untuk membangun pasanggrahan yang sangat sederhana, di mana wisatawan dan penduduk Bali yang hanyut melayang berplesir berkesempatan ditawarkan untuk jangka waktu yang lebih pendek atau lebih lama untuk menikmati alam dan ketenangan, jauh dari kekacauan duniawi. Dukungan diterima dari semua sisi dan Inspektur Schafer Tabanan dapat berhasil mendapat harga yang sangat wajar £1500.- pasanggrahan kayu solid tetapi sederhana yang terdiri dari 2 kamar, masing-masing dengan galeri depan tertutup yang berdekatan, dekat dengan danau.”
“Minggu, 20 April, pembukaan resmi berlangsung di hadapan sekitar 20 orang yang berminat. Berenang, mendayung, memancing menawarkan penumpang yang menyenangkan di siang hari, sementara lingkungan bagi kami tampaknya sangat cocok dan produktif untuk sifat reseptif agar menjadi lebih padat dan konkret; bahkan sebagai bulan madu menginap, rumah peristirahatan ini tampaknya sangat berarti bagi kami rekomendasikan. Perabotan yang sederhana namun solid, juru masak yang baik, yang lulus ujian pertamanya, api unggun, dan banyak hal baik lainnya, menjamin pengunjung mendapatkan masa menginap yang menyenangkan. Sang pembangun, Inspektur Schftfer, yang, sebagaimana disebutkan di atas, memiliki sumber daya yang sangat terbatas untuknya, telah mencapai kesuksesan nyata dengan “hobi” ini. Untuk saat ini, pesanggrahan ini dapat dijangkau dari Batoeriti, dari mana jaraknya 6 KM; diperkirakan bahwa jalan penghubung baru akan siap untuk sekitar 2 tahun, ketika kunjungan rutin tidak diragukan lagi akan diharapkan.”
“Seperti yang kita ketahui, penggantian tentara di Bali dan Lombok oleh polisi lapangan mungkin akan terjadi pada bulan Juli. Izin diberikan untuk membangun pegadaian baru di Denpasar; mantan pasanggrahan yang sekarang melayani seperti itu awalnya akan dipulihkan seperti itu, dan kemudian hanya untuk pegawai negeri sipil, yang rencananya sangat disambut baik. Namun, kekurangan perumahan yang konstan di Denpasar akhirnya membuat rencana ini sejalan; gedung ini sekarang akan dibangun kembali secara menyeluruh sebagai tempat tinggal resmi bagi Kepala Urusan Pertanahan di Denpasar.”
Demikian diberitakan 29 April 1930.
Dari berita tersebut (tahun 1930) Resident Caron sedang membuat perencanaan dan pematangan target dalam 2 tahun selesai membuat SHORT-CUT BATURITI—BEDUGUL sepanjang 6 kilometer dan koneksi atau kita sebut saja SHORT-CUT BEDUGUL—SINGARAJA yang mana yang belum tembus bagian atas Gigit sampai ke Pura Yeh Ketipat dan Pura Ulun Danu Buyan yang diperkirakan jarak ini Singaraja Bedugul kala itu bisa ditempuh dengan 2 jam berkendaraan.
UPACARA PEMBUKAAN JALAN TEMBUS DENPASAR-BEDUGUL-SINGARAJA
Akhirnya saya mendapat koran terbitan Surabaya berbahasa Belanda —Soerabaijasch handelsblad 21-10-1936—seperti membenarkan kisah kakek saya yang mengatakan kurang lebih tahun 1938 telah terbuka akses Singaraja ke Bedugul. Konon kakek ketika itu sempat ke Denpasar naik dokar, mungkin setelah jalan terbuka. Katanya, perjalanan kurang lebih 3 hari. Entah PP atau nginap-nginap di jalan, saya juga kurang jelas menanyakan. Sepertinya memang lewat jalur Gitgit-Bedugul-Baturiti telah tembus dengan kendaraan dokar di masa ayah saya belum lahir.
Berita tembusnya Gitgit—Bedugul dalam Soerabaijasch handelsblad, tanggal 21 Oktober tahun 1936 saya terjemahkan:
“Senin upacara penting berlangsung di Bali: pembukaan resmi jalan dari Singaraja ke Bedugul. Rencana untuk jalan ini dimulai pada tahun 1908. Mereka menyerah lagi karena alasan keuangan, tetapi kemudian gubernur Caron yang mengambilnya kembali. Sekitar tahun 1930 rencana tersebut dihentikan lagi, tetapi oleh penduduk sekarang, Tn. De Haze Winkelman, rencana itu kembali disusun dan dilaksanakan.”
Ternyata, pernah makrak sementara rencana short-cut tersebut. Karena alasan keuangan. Berita itu menyebutkan bagaimana pentingnya tembusan GITGIT-BEDUGUL itu adalah SHORT-CUT BARU untuk menggantikan JALUR LAMA Singaraja—Moendok—Begudul dan terus ke Denpasar, juga sekaligus sebagai SHORT-CUT untuk tidak terlalu panjang lewat Singaraja—Kintamani—Denpasar.
Lanjut berita itu:
“Jalan ini mengarah ke selatan dari Singaradja ke Gitgit, yang berada 540 meter di atas permukaan laut. Kemudian dia menyeberangi DAS ke Bedoegul di Danau Bratan, dimana ada pasanggrahan. Dulu, untuk pergi dari Singaraja ke Bedugul harus menempuh jarak 125 KM, sekarang ini menjadi 30 KM di dengan adanya jalan baru ini. Rute jalan tua melewati Seririt ke Tabanan dan kemudian ke utara lagi ke Bedoegul. Sambungan dari Singaradja ke Den Pasar juga sangat diperpendek dengan jalan baru: sepanjang jalan lama melalui Danau Kintamani jaraknya 118 km, sedangkan jalan baru lebih pendek 40 km. Dua jalan tua di atas adalah penghubung utama. Jadi satu arah pergi ke barat dari Singaradja, lalu berbelok ke selatan dan melewati punggung gunung, lalu berbelok lagi ke timur. Jalan lama lainnya pergi dari Singaraja ke Timur dan dengan demikian membuat jalan memutar ke sisi lain. Koneksi baru, secara umum, langsung.”
Berita ini mempertegas kembali kalau dulu orang Singaraja mau ke Bedugul dengan mobil harus ke Pupuan dan Tabanan lalu ke Baturiti dan ke Bedugul. Jika lewat Moendok ke Bedugul masih jalan kaki di antara tebing Danau Tambingan dan Buyan, atau kita kenal sebagai desa bentukan baru bernama Desa Wanagiri sekarang — sebelumnya tidak ada desa tersebut, yang ada adalah bagian dari Desa Ambengan dan Gobleg.
Koran tersebut terbit Rabu, 21. Oktober 1936, jadi tanggal tembus SHORT-CUT SINGARAJA—GITGIT—BEDUGUL adalah Senin dua hari sebelumnya, atau 19 Oktober 1936.
Maka tanggal 19 Oktober ini, usia SHORT-CUT SINGARAJA—BEDUGUL berusia 84 tahun.
Hari ini 19 Oktober adalah HARI ULANG TAHUN SHORT-CUT SINGARAJA—BEDUGUL.
Siapa tokoh pelaksana pembuatan jalan tembus Singaraja—Bedugul?
Tokoh pemimpin pengerjaan jalan Giitgit—Bedugul bernama Winkelman? Nama lengkapnya G.A.W.Ch. de Haze Winkelman. G.A.W.Ch. de Haze Winkelman sebagai eksekutor lapangan proyek jalan tembus “SHORT-CUT” SINGARAJA—BEDUGUL, yang sebelumnya telah dicanangkan Resient Caron.
Gerard Albert Willem Christiaan de Haze Winkelman lahit di Batavia, 16 April 1885 meninggal 25 Agustus 1946 (usia 61) di Heemstede, Heemstede, North Holland, Netherlands. Dia dikenal sebagai pekerja lapangan sekaligus konseptor handal pengembangan berbagai infrastruktur di India-Belanda.
Jika Winkelman adalah pelaksana lapangan, sebelumnya LJJ Caron adalah otak di balik perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan jalan tembus Singaraja—Bedugul sebagai short-cut atau jalan terpendek menghubungkan Bali Utara dan Selatan. Siapa LJJ Caron?
LJJ Caron juga dikenal sebagai otak di belakang pendirian Gedong Kirtya. Caron penggagas jalan tembus Singaraja—Bedugul, jembatan, dan pengembangan jalan raya lainnya terpenting di Bali, tapi yang abadi tidak tergantikan adalah peran intelektualnya sebagai negosiator ulung mengumpulkan para pendeta di Bali untuk terlibat dalam pembangunan Gedong Kirtya, menyalin lontar-lontar milik para pendeta kemudian dibuka untuk umum di Gedong Kirtya.
Dalam catatan arsip Belanda, disebutkan Caron meninggalkan catatan penting tentang Bali dan Lombok. Pada lain kesempatan kita mungkin bisa bahas. 231 halaman catatan tulisan tangan Caron memberikan berbagai informasi tentang situasi ketika itu, termasuk kemungkinan kisah pendirian Kirtya — saya belum membacanya, lain kali mungkin bisa saya tulis sebagai catatan.
Ketertarikan saya pada LJJ Caron sebenarnya bukan hanya keterampilannya penyelesaian jalan tembus Bedugul, tapi bagaimana ia terampil mengkoordinasi penyelesaian proyek penyalinan lontar-lontar Bali. Sangat menarik sekiranya bisa mendapat catatan bagaimana ia mengkoordinasi para Pedanda yang dilibatkan dalam pendirian Gedong Kirtya.
JALAN DE HAZE WINKELMAN, SINGARADJA.
Jalan Veteran di Singaraja sekarang dimana berdiri perpustakaan lontar Gedong Kirtya dahulunya dikenal dengan nama Jalan Winkelman. Ada kemungkinan jalan veteran itupun dikembangkan oleh Winkelman. Besar kemungkinan tata kota jalan-jalan besar di Kota Singaraja dibuat dan atau ditata oleh Winkelman. Ketika jalan tembus short-cut Singaraja tembus, Caron telah pindah bertugas ke Sulawesi sebagai Gubernur. Dan sepenuhnya tembusnya Singaraja-Bedugul di bawah komando tangan dingin de Haze Winkelman.
Sebuah koran Belanda memberitakan berita pensiun de Haze Winkelman tanggal 21 Mei 1937. Namanya diabadikan menjadi nama jalan Singaraja. Gedong Kirtya dalam terbitannya tahun 1940 beralamat Jalan de Haze Winkelman, Singaradja, nomor telpon 18. — Het gebouw der stichting staat aan de de Haze Winkelman-laan te Singaradja. Dagelijks geopend van 1—14 uur; telefoon Singaradja 18.
Nama Jalan de Haze Winkelman di Singaraja yang mengabadikan nama pembuat jalan tembus Singaraja—Bedugul 84 tahun lalu tersebut kini tidak kita temui lagi di Singaraja. Jalan tersebut telah diganti namanya menjadi Jln Veteran. Di jalan inilah sampai sekarang Gedong Kirtya tetap berdiri menyimpan ribuan naskha lontar dan berbagai buku-arsip penting Belanda yang dahulunya terkumpulkan di sana.