Masih di bulan Oktober, bulan awareness kesehatan jiwa, saya ingin menulis atau berbagi cerita tentang perjuangan pemenuhan hak-hak pada orang dengan gangguan jiwa. Saya menyebutnya begitu sesuai undang-undang kesehatan jiwa yang meniadakan kata “gila” tetapi menyebut teman-teman yang mengalami gangguan otak berupa gangguan jiwa sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Pemasungan
Dalam undang-undang disabilitas teman-teman yang mengalami gangguan jiwa terutama gangguan jiwa berat, dimasukkan ke dalam disabilitas psikososial. Tapi itu hanya sebatas undang-undang. Saya ingin berbagi cerita keadaan di Bali yang notabena provinsi dengan angka pengidap skizofrenia tertinggi di seluruh Indonesia. Menurut data pemerintah, seperempat diantaranya pernah mengalami pemasungan. Pemasungan ini bisa berupa dikurung, disel, dirantai ataupun dibelenggu tangan dan kaki.
Sebagian masyarakat merasa hal ini wajar dilakukan karena ketidakpahaman bahwa sebenarnya gangguan ini adalah gangguan otak yang bisa dipulihkan. Sering kita dengar atau lihat berita-berita yang diekspos media tentang beberapa tempat di Bali yang masih terjadi praktek-praktek pemasungan.
Terakhir, data dari Human Rights Watch, dalam video mereka di YouTube dan juga dirilis oleh media internasional bagaimana di Bali masih banyak terjadi hal-hal seperti ini. Yang diperlihatkan adalah contoh kasus di kabupaten Badung. Disebutkan oleh mereka, Badung adalah kabupaten terkaya di Indonesia, bukan hanya di Bali, tetapi pemasungan terhadap ODGJ masih terjadi di sana.
Ini membuktikan bahwa sebenarnya pemasungan bukan hanya soal status ekonomi, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya di antaranya ketidak pahaman, ketidakpedulian, dan konflik-konflik di dalam keluarga juga ikut mempengaruhi hal itu.
Juga, belum banyak edukasi soal ilmu pengetahuan ini masuk dalam bidang budaya dan sistem religi yang ada di Bali. Sehingga, jatuhlah mereka untuk lebih mudah atau lebih senang mengatakan keluarganya terkena ilmu hitam atau black magic, karena salahang bhatara ataupun kutukan daripada mengalami gangguan otak yang bisa disembuhkan.
Program ‘Bali Bebas Pasung’ sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, dimulai dari tahun 2005 kemudian mundur menjadi 2010 lalu 2015 dan kini tidak terdengar lagi. Sebenarnya, permasalahan penanganan ODGJ ini bukan hanya soal membebaskan dari pasung. Banyak kisah-kisah heroik membebaskan dari pasung ini lalu membawa pengobatan, tapi setelah itu kemudian kembali ke rumah dan terjadi lagi pemasungan. Bahkan saya ragu data-data ini akan masih disimpan oleh orang-orang yang pernah menyelamatkan ODGJ dari pemasungan. Beberapa kali saya temui kasus seperti ini.
Melakukan pembebasan pasung tidak serta-merta membuat ODGJ menjadi berdaya. Ada permasalahan yang lebih besar yaitu ODGJ terlantar. Beberapa hari terakhir saya memantau di media sosial Facebook, teman-teman saya; Arif, Putu Dox Yudhana dan kawan-kawannya di Komunitas Anom Peduli membagikan pangan berupa nasi bungkus gratis salah satunya kepada teman-teman ODGJ yang terlantar.
Hal itu sangat baik, tetapi baik sebagai awal. Menurut hemat saya, sudah semestinya kita mengubah cara pandang pemberdayaan orang dengan gangguan jiwa dari sistem derma atau charity, atapun juga dari sistem kebutuhan (needs) beralih kepada sistem dimana penyandang disabilitas psikososial mempunyai hak sebagai warga negara.
Investasi Negara
Selama ini, yang terjadi adalah praktek-praktek derma, bahwa negara ikut memperbaiki keadaan hanyalah sebagai rasa kasihan, sebagai derma. Bahwa hal itu mesti dilakukan. Itulah yang membuat kemudian alokasi dana untuk hal-hal semacam ini seringkali hanya ala kadarnya, dan sering kali yang hanya menjadi pencitraan, bahwa hal-hal ini sudah ditangani.
Sedangkan, ketika kita menggunakan cara pandang kebutuhan di mana “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, lagi-lagi pemenuhan kebutuhan terhadap ODGJ hanyalah bersifat temporer dan kasus per kasus; di mana ada kasus yang kita temukan kita tangani, di tempat lain kita temukan kasus kita tangani. Apa yang dilakukan belum menjadi sebuah sistem. Perlu kita mendorong negara untuk memberikan investasi pada kesehatan jiwa, tidak hanya penanganan ODGJ berat, tetapi juga antisipasi dan pencegahan agar taraf kesehatan jiwa masyarakat tetap terjaga, apalagi di masa pandemi seperti sekarang.
Sistem penanganan ODGJ harus diperbaiki, mulai dari promosi dan edukasi kesehatan jiwa; bahwa kesehatan jiwa bukan berarti hanya soal “gila”, pemasungan dan penelantaran tetapi juga hal-hal yang mengganggu kualitas hidup dalam keluarga. Hal lainnya, pemenuhan pengobatan. Bagaimana pengobatan-pengobatan standar pada kesehatan jiwa juga disediakan pada taraf layanan kesehatan terkecil dan ada tersedia sepanjang tahun.
Masyarakat juga perlu mengarahkan kepeduliannya dengan baik. Kepedulian yang baik bukanlah memasukkan ODGJ ke media sosial dalam bentuk prank, menertawakan cara bicaranya apalagi seperti fenomena akhir-akhir ini dimana ODGJ yang berada di panti dimasukkan acara podcast lucu-lucuan. Apakah kita manusia yang gemar menertawakan kondisi disabilitas seseorang?
Panti Bina Laras
Perlu juga pemberdayaan dan rehabilitasi, seperti misalnya Rumah Berdaya atau apapun sebutannya. Dimana seseorang ODGJ bisa mendapatkan rehabilitasi psikososial di dekat tempat pemukimannya. Bagi ODGJ terlantar, sudah waktunya negara berinvestasi untuk membangun panti-panti sosial Bina Laras. Mungkin dimulai dari satu provinsi dulu. Di Bali kita belum mempunyai panti Bina Laras. Bisa Anda bayangkan, ketika ada razia terhadap ODGJ yang terlantar di kota-kota atau kabupaten, ke mana mereka akan ditampung dan disalurkan.
Benar, mereka bisa mendapatkan pengobatan di rumah sakit jiwa. Tetapi, setelah itu bagaimana? Tempat mereka bukanlah sepanjang usia berada di rumah sakit jiwa. Terkadang kita kesulitan mencari informasi dimana tempat tinggal asal ODGJ terlantar atau adakah keluarganya.
Tiada pun keluarga sebenarnya mereka tetaplah warga negara Indonesia yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri, hak atas identitas dan hak atas pemenuhan kebutuhan. Marilah kita dorong negara untuk tampil membuat panti Bina Laras, misalnya di Bali. Sehingga kawan-kawan saya; Arif dan Putu Dox Yudhana dari Komunitas Anom Peduli tidak perlu setiap hari membagikan pangan untuk selama-lamanya.
Hal itu baik, tapi kita perlu proses berkelanjutan.Sehingga teman-teman yang bergerak di komunitas sosial seperti ini bisa juga mengalihkan fokus pada hal-hal yang lain, mengisi ruang-ruang kosong yang belum diambil oleh negara. Saya pikir pengabaian gila-gilaan pada orang dengan gangguan jiwa harus disudahi. Skizofrenia atau gangguan jiwa berat bukanlah gila tetapi butuh orang-orang “gila” seperti kita yang peduli pada mereka. Salam mantap jiwa.