PUISI-PUISI LOMBA BACA PUISI KOMUNITAS MAHIMA 2020 – KATAGORI SMA/SMK
—–
Manik Sukadana
PERNYATAAN KEPADA PEREMPUAN PENGAGUM WARNA
Mengatakan cinta kepadamu seperti memotong nadi,
mencari-cari permata air yang terendap-terhempas di sana.
Laku gila: mirah bang atau luka akan tersisa.
Seketika usia cintaku kepadamu berhenti.
Kita memang tidak pernah sepaham mencampur warna pada diri.
Segurat luka itu membeku.
Tidak tertutup atau terbuka menganga.
Seperti yang kau katakan,
tidak ada luka yang benar-benar sembuh
meski dengan bantuan cinta.
Usia cintaku kepadamu berhenti setelah pertemuan abu-abu itu.
Angin serat-serat waktu yang mengantarku ke lautmu berbalik arah.
Pelayaran ditunda.
Sampai kapan?
Tidak ada yang tahu.
Waktu serupa laut yang tiap mula dan akhir ada pada kita,
persis seperti yang kau katakan.
Kita memang tidak pernah saling bertanya, berkata
tentang arah dan tujuan pelayaran.
Yang pasti hanya jalan pulang,
rumah masing-masing.
Hujan datang,
kita berteduh di simpang terdekat rumahmu
dan berharap segalanya reda.
Saling menunggu penjemput tiba
menuju impian masa depan
yang kita rencanakan secara terpisah.
Kita saling memutus waktu
ketika pernyataan ini telah kaubaca dengan cermat
dan (mungkin) tidak akan pernah dibuka lagi
untuk selamanya.
Olehmu, olehku.
.
Wayan Esa Bhaskara
SAJAK AKHIR TAHUN
sejak kapan kau jadi ahli patah hati
menerka tiap lembar kalender
ada garis takdir, memelukku hingga lembar terakhir
hati kian melapang, raga ini sajak rindu
kata demi kata menunggu hingga pilu
angka-angka kini terlihat abu
kita usai, kupilih diam
sedang bulan terus membesar
hari-hari makin mekar
kau, ialah usia tak utuh
berkali-kali di mataku tanggal merah main prosotan
jiwaku jalan asam garam
menurutku cukup, dada ini medan perang
angka-angka kusam lahir tiap pekan
kalender halaman terakhir terlanjur kutelan
.
AA Ayu Rahatri Ningrat
JENGGALA
Jenggala, Aku tak perlu pertemuan
karena berbagi kisah tak selalu dengan pertemuan
Akan kususun satu persatu serpihan bayangmu, yang kadang melukai
Sel-sel imajiku meng-ada-kanmu,
Walau tak me-nyata-kanmu
Tapi kita punya banyak cerita
Tentang wanginya kamboja, nada minor,
dan hijaunya rumput yang menari di jemarimu
Apakah kau ingat tentang pekat di balik jendela?
Kau lukis langit, kuwarnai dengan bintang
Kita juga menggil karena subuh
Jenggala,
Kita adalah fatamorgana
Penghubung kita hanyalah hujan
dan satu-satunya penghalang kita adalah kenyataan
.
Jong Santiasa Putra
DI PANTAI UTARA
Celukan Bawang
Tiga nelayan menatap laut
matahari bias di matanya.
Ikan-ikan mengeram sunyi
mengenyam sebagian rahasia
saat buih paling tua
melibas kaki mungil si bungsu.
Karang jauh,
ayah belum berlabuh
Bilik bambu ditetak angin
satu ketapang tumbang
dari mana datang petaka
sebab muasal kita tak terpeta.
Datanglah, datanglah
bulan Sampar, akhir tahun
api unggun, tikar pandan,
ikan bakar, sayur lodehbuatan istri
malam bertamu, duduk bersila
dua gelas tuak, satu batang
mimpi-mimpi penuh dirajam
hal-hal telah diterjemahkan.
Jangkar berkarat di pasir,
rumpon kering ditenggat
Barakuda terjebak di jaring
doa-doa berlayar ke seberang.
Seekor ikan melompat
tubuhnya jadi tanah
matanya jadi benih
tumbuhlah-tumbuhlah.
Laut hanyalah kita
menyamar kemungkinan
batas-batas cahaya.
.
Wayan Sumahardika
EPILOG
Inikah rasanya, berada di rahim bumi
Kembali menjadi benih yang tak pasti
Lahir disambut cium bibir matahari
Atau membiarkan diri gugur
terkikis bisu tanah
Jika sekarang waktunya memilih,
Akan kupilih hidup bagi anakku
Sebab telah kesekian kali
diri lahir kembali
Namun tak pernah sanggup
menanggalkan cemberut
pada bibir anak sendiri
Apalah yang beda dari kematian saat ini
Sedang rumah tinggal berada
di antara palung dan tebing gunung
Hari-hari adalah menanggalkan ketakutan
Buat hidup sampai esok pagi
Nak,
Jika nanti, namaku ada dalam pencarian
Jangan biarkan orang-orang itu
Menggali tanah kita.
Relakan saja tubuh ini terkubur
Menjadi pupuk buat bekal hidupmu kelak
Lupakan saja aku,
Seperti kau melupakan tangis kemarin
Saat menginginkan mainan baru
.
I Putu Agus Phebi Rosadi
PERPISAHAN
Hujan telah reda
Saat kau melambai padaku
Belum sempat kukatakan rindu
Tapi peluit kereta lekas membawamu lalu
Tinggal seorang perempuan yang tiba tiba menghampiriku
menggerutu dan menyeru;
Tak ada bahagia dan cinta di sini
Maka kau harus pergi
Dan perempuan itu berulang meyakinkanku.
Cinta adalah dusta rahasia. Sebab itu kita tak mesti percaya.
Sesekali mesti menduga atau berumpama ; Ia adalah perempuan ingkar janji;
semisal enggan berbagi ranjang di hari petang
Ada benarnya barangkali
Tak ada bahagia di sini
Maka kubalas lambaian tanganmu
Selamat tinggal
.
Julio Saputra
SENJA DI DHAMMADESA
Aku menaruh hati
Pada sayur mayur menebar sapa
Buah jambu mengharap senyum
Rumput hijau teramat ramah
Juga batas timur, memeluk
Memberi salam hangat
Sang Buddha menggenggam doa
Yang datang bersama wangi dan asap dupa
Di dalam pondok berdiri menepis hujan
Aku menyentuh dingin yang terbang
Hinggap dan merayap
Merasuk dalam diri
Menemui sepi, memintanya bahagia lagi
Pohon-pohon bersahabat
Pucuk dan kembang mengucap semangat
Seorang pelepas duduk, membawa cerita
Yang sederhana, yang bermakna
Bersama alam, kekasih hidup
Tiba-tiba, kabut putih menghampiri
Berjalan pelan-pelan
Menjelma selimut bumi
Menutup setiap sudut ruang
Ke mana aku harus berlabuh?
Sementara jalanku terlihat samar-samar
Sayup-sayup, ada yang berbisik
Ke alamlah, kau harus kembali
.
Wulan Dewi Saraswati
SURAT LENA
Sudah lama kau tak pulang
Kau pun belum tuntas menikmati sejuk halamanku
tempat untuk membisikan cerita
bila surat ini terbaca
maka sudah habis perjalanan rindu
yang kususun rapi di antara anyir airmata
dan waktu sudah berpulang
menjemput segala rahasia senja
sebentar lagi, kau akan pulang
kau pun boleh menitipkan isyarat
pada cemara depan rumah
atau pada kucing di pantai utara
katakan, kau masih ingin menyebutku
katakan saja tanpa ragu
dan harihari kita selipkan
bersama peluk ombak
meluluhkan pasir
yang akan mengajakmu pulang
.
Gede Gita Wiastra
SUARA YANG HILANG
Hari itu
aku kembali ke tanah rahim
menyapa masa kanak-kanak
sudah lama aku tak berjumpa lelakut
Kesetiaan dan keringatnya mengalir ke sawah-sawah
Menjelma mekar bunga padi
Sambil mengusir burung-burung itu
Ia selalu mendongengiku
: dongeng tentang kesedihan I Cetrung
Dongeng tentang nyanyian Kedis Kurkuak
Atau bercerita tentang Tuan Tani
Yang lahannya hilang
Entah ke mana
Seuntai kabar tak pernah kusampaikan padanya
Tentang diriku di tanah pengembaraan
Bukan karena lupa
Hanya ingin memupuk kerinduan
Tapi, di manakah dia
Aku tak mendengar lagi suara-suaranya
Mungkinkah hilang dimakan hari?
Sebab tak ada lagi yang dijaga