Sabtu 10 Oktober 2020 ini kita semua merayakan hari kesehatan jiwa sedunia, Tema perayaan tahun ini adalah “Kesehatan Jiwa untuk Semua, Investasi Lebih Besar – Akses Lebih Luas“. Slogan ini sangat nyaman terdengar dan sangat penting diwujudkan, karena sebenarnya kesehatan jiwa masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar di Indonesia khususnya juga di Bali.
Bali saat ini menjadi provinsi dengan angka mengalami skizofrenia tertinggi di Indonesia, berdasarkan riset kesehatan dasar 2018. Angka skizofrenia di Bali yakni 11 per 1000 rumah tangga yang tentu membutuhkan pengobatan teratur.
Belum lagi, PR besar lain terkait kesehatan jiwa di Indonesia adalah tingkat pengobatan terhadap depresi hanyalah 9 persen yang menunjukkan indikator kesehatan terburuk dalam hal jangkauan pengobatan.
Di masa pandemi ini tentu saja keadaan kesehatan jiwa di masyarakat Indonesia akan menurun taraf kualitasnya. Hal itu tentu saja harus mendapatkan perhatian yang cukup besar. Selama ini banyak orang berpikir soal bantuan-bantuan yang sifatnya fisik misalnya ekonomi dan pengobatan.
Investasi Negara
Kedua hal di atas penting sekali, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah menjaga tingkat kesehatan jiwa masyarakat tetap terjaga. Karena, tanpa kesehatan jiwa sesungguhnya produktivitas dan kualitas hidup kita untuk mampu bekerja, berkeluarga dan belajar tentu juga akan terganggu. Di tahun ini, pembicaraan atau wacana yang berkembang yakni bagaimana mendesak negara untuk berinvestasi lebih besar dalam hal kesehatan jiwa. Istilah yang kini dipakai adalah investasi, karena pandangan bahwa sebenarnya memperbaiki kesehatan jiwa itu hanyalah charity atau derma dari negara pada masyarakat ingin diubah.
Pandangan ini tentu keliru. Angka produktivitas kerja di masyarakat, juga tingkat kekerasan di masyarakat, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam masa pacaran atau stigma dalam pekerjaan dan penyalahgunaan narkoba itu sangat terkait dengan kesehatan jiwa masyarakat. Tentunya, untuk beberapa hal di atas penting bagi negara untuk berinvestasi lebih banyak terutama dalam hal mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan kejiwaan, sehingga masyarakat bisa tetap produkti dalam hal berkeluarga, bekerja, dan belajar.
Kesehatan jiwa bisa terbentuk dengan baik dimulai dari keluarga. Bagaimana misalnya anak-anak tumbuh dengan baik di keluarga yang penuh perhatian, saling berkomunikasi terbuka sehingga setiap orang di dalam keluarga menyadari potensi-potensi dan keunggulan di dalam pribadinya. Dan tentu saja juga mengenali hal-hal yang kurang dalam dirinya sehingga bisa diperbaiki.
Stigma Masyarakat
Stigma di masyarakat tentang kesehatan jiwa juga menjadi PR besar, dimana kesulitan mengakses layanan kesehatan jiwa karena dihalang-halangi oleh stigma salah di masyarakat. Salah satu stigma misalnya mereka yang mengalami gangguan jiwa adalah orang-orang kurang iman, kurang sembahyang, terkena black magic atau itu hanya dalam pikiran orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) saja dan dalam kehidupan nyata tidak ada hal seperti yang dipikirkan.
Tentu saja anggapan dan stigma terkait kesehatan mental itu salah. Orang-orang yang mencari pertolongan terhadap gangguan yang dialami adalah hal yang sangat baik. Sementara, kesehatan jiwa sangat dipengaruhi juga oleh kesehatan otak kita. Ketika terjadi gangguan jiwa tentu saja ada gangguan di dalam keseimbangan otak kita.
Investasi oleh negara harus lebih banyak diarahkan dalam hal meningkatkan layanan kesehatan jiwa. Menurut saya, saat ini investasi negara sangat tidak mencukupi. Sebagai bahan pertimbangan misalnya, obat untuk skizofrenia dalam bentuk suntikan berkala setiap sebulan sekali harganya hanyalah Rp 60.000 dan itu dalam aturan BPJS harus ditanggungkan di fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas atau praktik dokter umum.
Tetapi pada kenyataannya, sebagian besar Puskesmas tidak menyediakan ini, padahal Rp 60.000 per bulan itu setara dengan Rp 2000 per hari. Kalau untuk itu saja negara tidak berani berinvestasi, tentu saja cita-cita hari kesehatan jiwa sedunia tahun ini masih jauh dari harapan kita.
Sedangkan resikonya ketika seseorang misalnya mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia dan tidak berobat secara rutin bisa menyebabkan penderitaan pada keluarga seperti kemiskinan dalam keluarga terjadi. Dan, biaya negara juga keluar untuk mengobati hal ini. Harus datang opname berulang-ulang, belum lagi biaya transportasi dan biaya pengobatannya tentu jauh lebih mahal daripada ketika kita mencegah kekambuhan mereka hanya dengan obat-obatnya sederhana, tetapi tersedia tingkat paling bawah.
Kelompok Dukungan
Hal lain, penting juga membentuk kelompok-kelompok dukungan sebaya entah itu di lingkungan sekolah atau di tempat kerja sehingga masalah psikologi apa pun segera bisa tertangani di unit terkecil.
Ini perlu segera menjadi sebuah gerakan di dalam masyarakat. Bisa juga diinisiasi misalnya di tingkat keluarga lewat PKK, sehingga paradigma mencegah gangguan kesehatan jiwa bisa juga lebih diutamakan.
Selain menangani kelompok masyarakat yang sudah memerlukan bantuan terapi kesehatan jiwa. Tentunya, guna mewujudkan kesehatan jiwa untuk semua juga harus diusahakan oleh semua orang. Adanya investasi dari negara, tenaga kesehatan yang mencukupi dan juga stigma masyarakat yang mulai memudar dengan bantuan tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Sehingga penanganan kesehatan jiwa bisa dilakukan secara holistik, terutama menghadapi musim pandemi dan resesi yang bisa datang secepatnya. Tentunya kita harus bisa mengantisipasi supaya kita semua senantiasa dalam keadaan mantap jiwa dan raga.
Mudah-mudahan kesehatan jiwa untuk semua orang dimanapun berada bisa segera terwujud. Kalau tidak, tentu saya khawatir masyarakat berpikir perayaan-perayaan terkait kesehatan jiwa tidak diperlukan lagi karena tidak mengubah keadaan. Semoga kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, ramah kesehatan jiwa bagi anak-anak dan cucu kita. Salam mantap jiwa.