Yang fana adalah waktu, kita abadi.
Selamat jalan, Pak Sapardi.
Demikianlah. Penggalan demi penggalan puisi karya Sapardi Djoko Damono melintas pada dinding facebook, feed story instagram, dan cuitan twitter sejak 19 Juli lalu. Belum habis mengenang sosok penyair aku ingin mencintaimu dengan sederhana ini, sepekan setelahnya, 29 Juli lalu, kembali kita dilimpahkan berita duka. Sastrawan Ajip Rosidi juga diberitakan telah berpulang. Juli tahun ini seolah menjadi bulan kita kehilangan.
Tak ada hujan di bulan Juni ini. Ada hanya gerimis acara tribute mengenang Sapardi yang melintas tipis-tipis di bulan Juli. Jika sampai tahun 2020 ini kita masih dapat menikmati suka cita para sastrawan bahasa daerah merayakan Penghargaan Sastra Rancage, entahlah tahun depan. Adakah acara yang khusus memberikan penghargan bagi sastra daerah ini akan tetap terselenggara? Setelah berpulangnya Ajip Rosidi yang notabene menjadi salah satu tokoh penting atas berdirinya Yayasan Kebudayaan Rancage selaku penyelenggara, adakah acara tahun depan tetap diteruskan? Atau mungkin akan hilang begitu saja mengikuti kepergian Ajip.
Sapardi dan Ajip, meski tak sempat mengenal secara langsung, nama mereka seperti medan magnet yang mau tak mau, langsung tak langsung, senantiasa menempel kuat khususnya bagi mereka yang membaca sastra, kuliah sastra, atau jatuh bangun dalam lingkungan pergaulan sastra. Sama kualitasnya seperti mendengar nama Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer yang tak asing di telinga kawan-kawan teater, sekalipun tak pernah benar-benar menonton pentas mereka. Dari sini kemudian saya pribadi menyadari, bahwa pintu masuk menuju segala hal, bisa bermula dari segala hal.
Masuk mengenal Sapardi misalnya, bukan pada puisi saya berjumpa pertama kali. Melainkan dari mendengar rekaman musikalisasi puisi ‘Aku Ingin’ aransemen Nanoq da Kansas dan Kelompok Musik Penyanyi Sakit Jiwa (Pesaji) yang diputar kawan-kawan teater waktu SMA. Dari musikalisasi puisi satu, bertemu lagi dengan musikalisasi puisi lainnya. Bertemulah dengan rekaman Ari Reda yang aransemennya hampir semua menyajikan puisi-puisi karya Sapardi. Barulah kemudian meniatkan diri membeli buku puisi, lalu membacanya, lalu berangan-angan menulis puisi bak Sapardi. Sampai sini saya tahu, jalan panjang untuk sampai mendekati puisi Sapardi ternyata tak sependek bait-bait dalam karyanya.
Setali tiga uang dengan Sapardi. Nama Ajip Rosidi, meski santer tercatat pada buku paket sekolah, pada modul dan bacaan kuliah bahasa, sastra dan jurnalistik sebagai refrensi, saya justru dibuat tertarik pertama kali karena acara Penghargaan Sastra Rancage yang diinisiasi Ajip. Satu momen yang selalu mengingatkan saya dengan Ajip dan Rancage adalah pada tahun 2018, saat di Bali sedang marak-maraknya menggelar hari berbahasa Bali yang dicanangkan setiap hari Kamis. Pula dengan bulan bahasa Bali yang rencananya digelar setiap bulan Februari.
Betapa saat itu sebagian besar masyarakat di Bali merayakannya penuh suka cita. Seperti anak TK yang baru masuk SD, berbondong-bondong memakai seragam dan alat tulis baru. Menggunggah foto berpakaian adat bali, status berbahasa Bali, bahkan sampai menggunjingkan mana pasang aksara dan kosakata yang tepat dan benar untuk digunakan. Atas fenomena ini, sastrawan Made Adnyana Ole sempat menulis di dinding facebooknya.
Yen sube mebaju adat bali jak mebasa bali, mai imbuhin memace buku-buku sastra mebasa bali. Liu timpal cang nerbitang buku pupulan puisi, satua cutet (cerpen) jak novel mebasa bali, jeg care sing ade nak rungu. Nerbitang buku 100, nak ngomongang 500, nak nakonang 200, nak meli 20, nak mace 5. Sisane sumbangan ke perpustakaan, tetep nyangklek di rak paling bucu sing ade nak ngusud.
Nak demen sing dadi kudiang. Agetne, ade yayasan di Bandung, sebilang atiban ngemaang penghargaan ke pengarang sastra bali modern jak lembaga ane rungu teken sastra bali. Catet, ento di Bandung!
Begitulah kehadiran sosok Ajip. Meski sosoknya jauh dari Bali, meski namanya tak ada disebut saat itu, meski tak ada kaitan sama sekali dengan apa yang terjadi antara Ajip dan perayaan bahasa Bali, namun hal-hal yang dilakukan Ajip—meski kecil dan sederhana buat sebagian orang—menjadi begitu berarti kehadirannya bagi orang-orang yang mengerti niat, semangat, dan gagasan yang dibangunnya. Ajip Rosidi, meski jauh di sana namun tetap terasa dekat di sekitar kita. Pun demikian dengan Sapardi.
Ajip Sapardi, meski lahir berbeda, hidup berbeda, keduanya sama-sama punya nasib yang sama yakni dikenang sebagai sosok maestro sastra. Sebagai tokoh sastra, secara kebetulan Sapardi dan Ajip sempat kami, sebagai mahasiswa mengusungnya sebagai tema Festival Sastra di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha, Singaraja. Tahun 2015 adalah tahun Sapardi, sementara 2016 adalah Ajip Rosidi. Saya pribadi—serta kawan-kawan mahasiswa—tentu bersyukur dapat mengikuti acara ini. Sebab dalam acara Festival Sastra Undiksha inilah, kami berkesempatan untuk mengenal sosok dan karya mereka, mengapresiasi sekaligus menelaahnya dalam berbagai bentuk kegiatan semacam membaca puisi, musikalisasi puisi, diskusi sastra, dan sebagainya.
Pada kecenderungan estetika, ciri khas dan karakternya masing-masing, Sapardi dan Ajip sama-sama memberikan pelajaran setidaknya bagi kami kala itu, bahwa dimanapun kita berada, siapapun kita, kau tetap bisa membawa sastra bagaimanapun caranya. Sapardi dan Ajip, sama-sama menulis puisi, sama-sama menulis cerpen, sama-sama menulis novel, bahkan sama-sama pula pernah menjadi dosen. Sapardi adalah guru besar di Universitas Indonesia, Ajip Rosidi, meski tak menamatkan pendidikan SMP, tetap mampu menjadi dosen di perguruan tinggi Indonesia, bahkan dipercaya mengajar sampai ke Jepang.
Tak ada pengkotakan bagi keduanya, antara akademisi dan sastrawan, kampus dan jalanan. Sapardi dan Ajip bergerak di antaranya, atau bahkan boleh dikata bertempat di manapun mereka suka. Ajip, selain pernah menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku, mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku dan Tenri Daigaku. Ia juga pernah menjadi editor, pimpinan redaksi di majalah Suluh Pelajar, Mingguan Sunda, dan majalah kebudayaan Budaya Jaya. Pula menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1972-1981 dan masih banyak lagi pekerjaan yang sempat ditekuni. Sedang Sapardi, yang meski telah jadi guru besar di Universitas Indonesia, juga sempat menjadi redaktur di sejumlah majalah seperti Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, dan Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. Dalam berjibun kesibukannya, Ajip Sapardi tetap produktif menghasilkan karya sastra.
Perihal karya, Ajip dan Sapardi meski lebih dikenal dengan puisi dan prosa, juga punya perhatian lebih pada bidang teater, khususnya naskah drama. Ajip pernah membuat drama berbahasa Sunda yang berjudul ‘Masyitoh’, diterbitkan pertama kali pada 1962. Yang menarik dari drama ini adalah gagasannya yang berangkat dari kisah Siti Masyitoh di zaman Firaun. Ajip mencoba menggali nilai kemanusiaan dan religiusitas Masyitoh yang pada masa penjajahan dimaknai sebagai perempuan yang gila agama. Penggalian gagasan semacam ini boleh jadi jarang dilakukan menggunakan media bahasa daerah mungkin dalam sastra daerah hari ini.
Sementara Sapardi, sampai di usia senjanya sempat menerbitkan buku kumpulan esai yang menelaah perkembangan naskah drama di Indonesia berjudul ‘Drama di Indonesia’. Meski tak sepopuler buku puisinya, catatan drama Sapardi sejatinya cukup penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana perkembangan naskah drama Indonesia. Ketika teater kontemporer hari ini cenderung lebih banyak membicarakan perihal teater, tubuh, panggunggung dengan segala aspek dramaturgi dan gagasan lintas disiplin, ketika dalam sastra sendiri, drama begitu jarang ditelaah dibandingkan dengan telaah puisi dan prosa, buku ‘Drama di Indonesia’ Sapardi tentulah menjadi bahan penting untuk sumber telaah naskah drama dalam konteks sastra.
Maka, apa-apa yang dilakukan oleh Sapardi dan Ajip dalam konteks ini dapat dibaca sebagai usaha untuk menggenapi hal-hal yang belum tergenapi dalam khasanah kesastraan kita. Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, bahwa pintu masuk menuju segala hal, bisa bermula dari segala hal. Membaca Sapardi tak melulu perihal puisi, pun dengan Ajip Rosidi tak melulu perihal karya-karyanya. Antara sosok, karya, dan lingkungan sosial sesungguhnya saling berhubungan satu sama lain. Memberi pengaruh pada siapapun di kejauhan. Selamanya. Meski Sapardi dan Ajip telah tak ada, akan tetap ada begitu banyak pintu untuk masuk mengabadikannya. Sebab yang fana adalah waktu, kita abadi.
Denpasar, 2020